Malam Ke-1
"Masih ingat Danila?"
"Danila siapa?"
"Danila Adtya Arimbi"
"Oh... dia, kenapa dengan dia?"
"Kabarnya dia sakit, sudah 3 hari tak masuk kelas linguistik"
"Biarlah, tak usah dihiraukan, cukup didoakan semoga lekas sembuh!"
"........."
Malam Ke-2
"Don, si Danil katanya sudah masuk rumah sakit"
"Oh gitu?"
"Don, apa kita atau seluruh kepengurusan himpunan tidak akan menjenguknya?"
"Sudah.. kamu tidak usah ribut! Cukup aku yang menjenguknya"
"Tapi aku?"
"Kamu mau jenguk juga?"
"............."
Malam Ke-3
"Darimana kamu sampai selarut ini? Agenda rapat tadi hasilnya zonk. Keberadaan kamu dan Danila seolah jadi sentral. Tak bisalah kami mengambil keputusan sebelah pihak tanpa kehadiran ketua dan sekretaris himpunan?"
"........."
"Aku bertanya lho Dit?"
"Kalau aku jawabnya nanti saja, boleh?"
"Baiklah...."
Malam Ke-4
"Apa kamu sudah tahu jika Danila kritis"
"Tentu saja"
Malam Ke-5
"Aku bener-bener tak menyangka Danila pegi secepat itu!"
"Maut tak pernah ada yang tahu"
"Kamu betul, cuma yang menjadi keheranan Danila sakit keras tanpa aba-aba"
" . . . . . . . . ."
"Sesuai dengan inginnya, pergi di tanggal ganjil"
"Sebentar, kamu sampai tahu ini malam kelima Nila di rumah sakit. Memangnya apa yang terjadi?"
Malam Ke-6
Arak-arakan pengantar jenazah menuju tempat pemakaman. Dua orang lelaki dengan kaca mata hitam saling pandang, sesekali tatapan mereka saling bercerita. Lelaki berkacamata berkemeja panjang memandang jenazah dengan begitu iba. Sementara lelaki berkacamata berkaus pendek hanya menatap dari kejauhan dengan perasaan lega.
Malam Ke-7
"Don, tolong berceritalah! Banyak keganjilan di sini. Memangnya apa yang terjadi?"
(Mengeluarkan pisau mendekati lelaki di depannya)
"Kamu tak perlu banyak tahu. Ada hal-hal yang tak selalu harus kamu tahu!"
"Arrrkkkk....."
(Merintih kesakitan, darah mengalir deras dari perut dengan pisau masih melekat tertancap)
"Kukabulkan Pras, kamu dan dia sama-sama pergi di malam ganjil. Kuberitahu, 7 hari aku menunggu moment ini, tepat dimana Nila menolakku dengan alasan telah mencintaimu lebih dulu. Tujuh hari aku menunggu jawaban tak pasti. Kelak, 7 hari peringatan kepergianmu dan dirinya aman terpatri dalam jiwa. Sebab, kini aku berhasil menghabisi dua sejoli yang tak akan pernah bisa bersatu. Tepat malam ini. Malam ke-7.Â
(Pada penglihatan yang kasat mata, jiwa seorang perempuan terbang, lenyap. Ia menangis, menyudahi semuanya, bersiap menemui dunia pada lain waktu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H