Mohon tunggu...
Chantika Nurul A
Chantika Nurul A Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi mengamati manusia. Mun aya nu neangan urang, bejakeun teangan we urang di Google

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Gen Z: Mitos vs Realita

19 Juli 2024   08:00 Diperbarui: 19 Juli 2024   08:04 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Chantika Nurul Af’idah & Iyan Sofyan

(Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris dan Dosen PG PAUD)

Universitas Ahmad Dahlan

Gen Z, generasi yang lahir antara tahun 1966 hingga 2012, dan penulis termasuk salah satu dari bagian Gen Z yang menyuarakan hal ini karena sering menjadi sorotan dan perbincangan. Jika dilihat dari tahun kelahirannya, sebagian besar Generasi Z sudah menamatkan studi mereka di bangku perkuliahan. Tidak sedikit juga orang yang lahir sebagai generasi Z sudah menikah dan mulai membangun keluarga. Lahir di era digital, mereka diwarnai dengan berbagai stereotip dan kesalahpahaman. Mereka memiliki karakteristik dan keunikan yang berbeda dari generasi sebelumnya, seperti milenials, Generasi X, dan baby boomers. Gen Z, kelompok demografis yang lahir setelah milenial, Label seperti "malas", "mudah tersinggung", dan "terobsesi teknologi" sering ditempelkan pada mereka, menciptakan gambaran yang tidak akurat dan menyesatkan tentang generasi ini.

Mitos Gen Z yang anti dengan kehidupan bersosial, banyak sekali yang berpikir Gen Z tidak suka bersosialisasi secara langsung karena terlalu terikat dengan teknologi. Realitanya Gen Z menggunakan teknologi sebagai alat untuk memperluas jaringan sosial mereka. Mereka mungkin lebih memilih bentuk komunikasi yang lebih instan dan efisien, seperti pesan teks atau percakapan online, dibandingkan dengan interaksi tatap muka yang lebih formal atau tradisional. Mereka memanfaatkan media sosial untuk membangun dan memelihara hubungan, namun tetap menghargai interaksi tatap muka. Gen Z sering juga dicap Malas Bekerja sebagai generasi yang malas. Justru Sebaliknya, mereka dikenal kreatif dan inovatif. Gen Z lebih memilih pekerjaan yang memberikan fleksibilitas dan nilai-nilai yang sejalan dengan mereka, serta cenderung mencari keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi.

Hasil riset H-Three yang melibatkan responden dari enam negara, meliputi Indonesia, Thailand, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Vietnam ini mengungkap adanya berbagai mitos yang mengemuka di kalangan masyarakat terkait karakter Generasi Z (Gen Z). Bahkan, mitos tersebut cenderung menegaskan bahwa Gen Z memiliki kelebihan dibanding generasi sebelumnya. Eka Harithsyah, Strategic Planner Director H-Three menjelaskan banyak pihak mengira Gen Z adalah generasi yang individualistis alias tak suka dengan kehidupan bersosial. Padahal, berdasarkan penelusurannya, Gen Z sangat menyukai hal yang harmonis, senang berkumpul bersama keluarga ataupun teman-teman.

Di sisi lain mereka yang melabelkan Gen Z ”mudah tersinggung”, alasan itu sepenuhnya tidak akurat karena Gen Z tumbuh di mana dialog terbuka tentang isu-isu sosial dan personal semakin marak. Mereka didorong untuk mengungkapkan pendapat dan menentang ketidakadilan, mereka seringkali berbicara menentang perundungan, rasisme, seksisme, dan bentuk penindasan lainnya. Mereka bisa lebih sensitif terhadap komentar atau perilaku yang dianggap tidak menghormati nilai-nilai ini. Interaksi yang lebih sering terjadi melalui media sosial bisa mengaburkan nuansa dan ekspresi emosi, yang kadang membuat interpretasi komentar menjadi lebih sensitif. Hal ini bisa dilihat sebagai ”mudah tersinggung”, padahal sebenarnya mereka hanya berusaha menciptakan dunia yang lebih adil dan setara.

Tidak hanya itu, gen  dikenal  sebagai orang yang tidak setia pada satu merek barang tapi kenyataannya Gen Z tidak semua begitu, karena Gen Z punya alasan mengapa mereka tidak setia pada suatu merek barang, Mereka mendukung merek yang sejalan dengan nilai-nilai pribadi seperti keberlanjutan, inklusivitas, dan kejujuran. Gen Z tertarik pada pengalaman pengguna yang mulus dan inovatif, sehingga mereka cenderung beralih ke merek yang menawarkan teknologi terbaru. Mereka lebih mempercayai rekomendasi dari influencer yang mereka ikuti dibandingkan dengan iklan tradisional. Dengan akses ke ulasan dan informasi online, Gen Z dapat dengan cepat membandingkan produk dan layanan, membuat mereka lebih cenderung berpindah merek.

Gen Z yang sudah enggan menonton tv dan membaca buku, tetapi faktanya masih banyak Gen Z yang membaca buku, walaupun bukan buku secara fisik tetapi lebih sering melalui e-books dan audiobooks dan kenapa Gen Z sudah enggan menonton tv lagi dan Gen Z lebih memilih menonton konten melalui platfrom streaming seperti Netflix, YouTube, dan TikTok. Karena alasan fleksibilitas dan kemudahan akses. Konten digital dan buku digital lebih mudah diakses di berbagai perangkat, mereka juga dapat memilih konten yang sesuai dengan minat dan jadwal mereka, dan platfrom digital lebih banyak menawarkan pengalaman visual yang lebih interaktif dan menarik.

Mitos lain yang paling sering dihubung-hubungkan dengan Gen Z, yakni Gen Z tidak peduli dengan pendidikan dan kurang fokus dalam belajar dan terlalu bergantung pada teknologi. Tetapi banyak dari Gen Z yang sangat ambisius dalam pendidikan mereka, mengejar gelar akademik dan mengambil peluang untuk mempelajari keterampilan baru di luar kelas dengan melihat teknologi sebagai alat untuk memperluas akses untuk mendukung proses belajar karena dengan teknologi mereka mampu beradaptasi dengan berbagai metode pengajaran, termasuk pembelajaran langsung dan penggunaan buku cetak. Mereka juga mampu menggunakan teknologi secara produktif, fokus dan mengelola waktu mereka dengan baik ketika belajar dan bekerja.

Selain itu di sisi politik banyak spekulasi bahwa Gen Z terlalu apatis terhadap isu politik, Justru mereka lebih banyak terlibat dalam isu sosial dan politik dibandingkan generasi sebelumnya. Gen Z selalu mengikuti perkembangan politik, terutama yang terkait dengan isu-isu seperti perubahan iklim, hak asasi manusia, dan keadilan sosial. Banyak dari mereka terlibat dalam aksi protes dan kampanye online untuk mendorong perubahan. Mereka cenderung kritis terhadap informasi yang mereka terima dan memverifikasi fakta sebelum mempercayainya. Mereka mendorong perubahan dalam sistem politik dan mempengaruhi pandangan masyarakat tentang kebijakan publik. Memahami peran mereka dalam politik dapat membantu dalam merancang strategi yang lebih efektif untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan mereka dalam masyarakat.

Gen Z merupakan generasi yang beragam dan kompleks, sering kali tidak dapat digambarkan dengan stereotip yang sederhana. Mereka aktif dalam mempengaruhi perubahan sosial, memiliki kecerdasan teknologi yang tinggi, dan menunjukkan ketertarikan yang kuat terhadap pendidikan, karier, dan isu-isu global. Memahami realitas ini dapat membantu dalam membangun hubungan yang lebih baik dan membangun budaya kerja yang inklusif dengan mereka. Memahami realita Gen Z sangat penting untuk menjembatani kesenjangan generasi dan membangun masa depan yang inklusif. Dengan menyingkirkan mitos dan stereotip, kita dapat membuka jalan untuk kolaborasi yang lebih baik dan saling pengertian antara generasi ini dan generasi sebelumnya. Menghargai perbedaan mereka, dan memberikan mereka kesempatan untuk menunjukkan kemampuan dan potensi mereka. Mari kita jalin komunikasi yang terbuka dan positif dengan Gen Z untuk membangun masa depan yang lebih baik bersama. Perlu diingat juga bahwa setiap individu memiliki karakteristik dan pengalaman unik, terlepas dari generasi mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun