Pihak dalam transaksi berdasarkan perjanjian memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu selama perjanjian tersebut tidak melanggar Undang-Undang (UU). Apabila pihak lain dalam perjanjian tidak dapat menyerahkan objek perjanjian yang seharusnya diserahkan pada pihak yang terikat, maka ia telah melakukan wanprestasi. Tentunya, pihak yang dirugikan harus melakukan upaya hukum. Ia akan menggugat wanprestasi dari pihak lain di pengadilan. Gugatan perdata tersebut akan membutuhkan waktu yang panjang. Proses bercara harus melewati Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung agar dapat memiliki kekuatan hukum tetap dan dapat meminta ganti rugi atau tetap mengeksekusi objek perjanjiannya.
Namun, permasalahan yang timbul, apabila pihak yang memiliki kewajiban untuk menyerahkan objek tidak melakukannya. Pihak yang membutuhkan prestasi berdasarkan perjanjian mengalami kesulitan untuk mengeksekusi objeknya. Pihak lain yang memiliki kewajiban untuk menyerahkan objek perjanjian sengaja menunda-nunda prestasi yang menjadi kewajiban. Inilah kelemahan dari perjanjian yang tidak menimbulkan rasa takut pihak lain. Keadaan demikian akan merusak ketertiban dalam melakukan transaksi di dalam masyarakat. Alangkah kacaunya suatu negara tanpa kepatuhan dari individu dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan barang atau jasa melalui transaksi yang pasti. Untuk mengatasi permasalahan ini, apakah garis demarkasi yang membedakan bidang hukum perdata dan pidana harus dipertahankan?
Garis Demarkasi Yang Hapus
Perkara yang awalnya adalah perjanjian dalam transaksi perdata dapat diubah menjadi kejahatan pidana dengan alas pembenarnya. Perbuatan yang masuk dalam ranah perdata yang bersifat perorangan dapat menjadi pelanggaran peraturan pidana yang bersifat publik. Dalam perkara tersebut, hukum perdata dan pidana memiliki ranah yang beririsan, sehingaga peristiwanya dapat ditarik ke dalam peristiwa perdata atau pidana. Pihak yang dirugikan dapat melakukan pengaduan permasalahannya ke kepolisian. Penggunaan alat pemaksa melalui pidana dapat menimbulkan rasa takut, yakni: kurungan dalam penjara.
Ibaratnya, dalam panggung pertunjukan, pertukaran latar belakang dalam waktu yang singkat dapat dilakukan untuk menstimulasi pikiran penonton untuk masuk ke dalam suasana yang berbeda. Demikian pula dengan peristiwa yang tidak terikat dengan hukum perdata atau pidana dapat berganti latar belakang secara otomatis. Peristiwanya tidak lagi dibedakan antara peristiwa perdata dan pidana. Oleh karenanya, penegak hukum akan mencari alas hukum pidana untuk menutupi peristiwanya.
Piutang Sebagai Objek Cessie
Permasalahan tersebut terjadi dalam perkara cessie yang termasuk dalam ranah hukum perdata menjadi perkara pidana. ) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUH Perdata")  tidak mengenal istilah cessie, tetapi dalam pasal 613 ayat (1) KUHPerdata disebutkan bahwa "penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain." Piutang atau hak tagi berpindah kepada pihak lain dari kreditur. Debitu melakukan pembayaran tidak lagi kepada kreditur tetapi pihak ketiga yang telah membeli piutang tersebut.
Penjualan aset yang menjadi jaminan debitur bukan menjadi objek perjanjian. Piutang yang pelunasannya harus dilakukan dengan pelunasan hutang. Objeknya sejumlah uang dalam jumlah yang telah disepakati dalam perjanjian sebelumnya. Permasalahan timbul, ketika pihak ketiga yang memiliki cessie menunda penjualan aset yang menjadi jaminan. Padahal debitur sudah tidak dapat melakukan pembayaran hutangnya lagi. Pelelangan wajib dilakukan agar debitur memiliki uang yang cukup untuk membayar hutangnya. Penundaan akan merepotkan debitur, karena aset yang menjadi tanggungan, saat ini jauh lebih besar nilainya dari nilai piutangnya.
Gugatan perdata memiliki proses yang panjang. Debitur dapat melakukan pengaduan ke kepolisian berdasarkan pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penggelapan. Hal ini sering dilakukan oleh orang yang dirugikan karena lemahnya daya paksa atas perjanjian. Penggelapan terkait perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya, di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Polisi menggunakan pasal tersebut dalam perkara cessie yang notabene masuk dalam lingkup perdata. Ruang kosong yang tak terjangkau hukum dipaksakan dengan menghapus garis demarkasi antar perdata dan pidana. Kesulitan memaksakan seseorang untuk mematuhi kewajibannya dalam perjanjian dipaksakan melalui pidana dengan sanksi kurungan. Terbatasnya kemampuan perjanjian dalam memaksakan pihak untuk mematuhi prestasinya harus dicarikan solusi oleh pemerintah agar tatanan hukum yang ada tidak dilanggar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H