Apakah cukup berharga, bila dasar negara kita mengikuti pemikiran filsuf yang mana kita sendiri hidup di jaman yang lebih komplek? Pemikiran orang yang telah mati telah menguburkan pemikiran kreatif orang yang masih hidup. Kita bersikukuh mempertahankan pemikiran orang terdahulu seperti Hans Kelsen dan Monowiasky. Suatu peraturan yang lebih rendah tidak dapat bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Bahkan, pemikirannya diabadikan dalam hirarkhi pembetukan peraturan perundang-undangan. Hal ini sah-sah saja selama pemikirannya dapat mengatasi permasalahan terkini yang terjadi. Faktanya, perkembangan peristiwa dalam kehidupan terkini tidak pernah sama persis dengan peristiwa dalam kehidupan sebelumnya.
Memprediksi suatu peristiwa hukum dengan ketentuan yang harus ada lebih dahulu adalah suatu kemustahilan. Bisa saja peristiwa yang sama terjadi, akan tetapi peristiwa terkini memiliki unsur-unsur yang lebih rumit. Cara mengatasinya dengan membuat peraturan yang memiliki unsur-unsur umum dan meluas agar dapat menjangkau peristiwa yang belum dicakup sebelumnya. Namun cara yang demikian akan mengurangi kepastian hukum atas peristiwa yang diatur dalam peraturannya. Â Â
Hirakhi dalam Hak Azasi Manusia
Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerUUan menyebutkan jenis dan hirakhi perundang-undangan. UUD 1945 berada di tempat tertinggi. Peraturan lainnya memiliki kewenangan yang lebih besar sesuai dengan urutannya. Pasal 3 ayat (1) menyatakan, "Negara Indonesia adalah negara hukum". Oleh karenanya, hukum harus ada terlebih dahulu sebelum peristiwanya. Hal ini ditujukan untuk kepastian hukum atas peristiwa yang terjadi agar dapat dianggap sebagai peristiwa hukum.
Terkait dengan Hak Azasi Manusia (HAM), UUD 1945 telah mengaturnya dalam pasal 27 dan 28 UUD 1945 secara umum dan meluas. Namun materi HAM tidak memiliki hirarkhi. Seluruh HAM yang tertulis dalam UUD 1945 memiliki derajat kekuasaan yang sama. Lalu bagaimana perbedaan kekuasaannya antara HAM yang diatur dalam UUD 1945 dan HAM yang diatur dalam UU? Ternyata UU yang mengatur tentang HAM dan mendukung salah satu pasal tentang HAM dalam UUD 1945, dapat dinihilkan oleh pasal UUD yang mengatur HAM lainnya. Â
Penyalahgunaan Kelemahan Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) pernah membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya satu kali yang dimohonkan mantan ketua KPK Antasari Azhar beserta istri dan anaknya sehingga PK dapat dilakukan berkali-kali. Namun, Mahkamah Agung (MA) akhirnya menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, yang mengatur bahwa PK hanya bisa dilakukan satu kali. SEMA ini sekaligus mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Artinya, MA telah mengukuhkan bahwa PK hanya dapat dilakukan satu kali. Tindakan MA telah menyalahi putusan MK yang memiliki keabsahan dan menimbulkan kekacauan hukum.
Dilihat dari pengajuan PK hanya sekali, prinsip seperti itu dapat dimasukkan kedalam pasal 28 G (1) UUD 1945, yang menyebutkan, "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi." Namun PK lebih dari sekali juga dapat dimasukkan kedalam pasal tersebut. PK hanya sekali tertuang dalam KUHAP telah dibatalkan. PK hanya sekali dibatalkan berdasarkan penyimpangan HAM yang diatur oleh UUD 1945. Seharusnya, MK dalam memutus perkaranya harus menimbang pasal dalam UU yang akan diuji materil terlebih dahulu. Â
Hirarkhi tidak berlaku ketika UU yang akan diuji materil adalah turunan dari HAM dalam UUD 1945. MK wajib meneliti penyimpangan kekuasaan dari atas ke bawah, akan tetapi juga apakah kekuasaan diatas telah didelegasikan kebawahnya. Artinya UU yang diuji materil harus UU yang belum diatur dalam UUD 1945. MK dapat mencari-cari kesalahan melalui interpretasi dari pasal HAM dari UUD 1945 yang terlalu umum dan meluas untuk kepentingan membatalkan UU yang telah disahkan dan turunan dari pasal dalam UUD 1945.
Dengan demikian kepastian hukum tidak pernah tercapai, karena MK dapat mecari pasal dalam UUD 1945 yang belum pernah tertuang dalam UU, untuk dijadikan alas pembatalan UU.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H