BLITAR - Bulan puasa tinggal menghitung hari. Hal ini tentu menjadi bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat muslim di Indonesia tiap tahunnya. Bukan karena apa, tapi karena suasana bulan Ramadhan hanya bisa dirasakan sebulan sekali setiap tahunnya, jadi mereka tidak ingin melewatkan bulan berkah tersebut dengan biasa saja.
Tidak ingin luput dari momen menjelang bulan puasa ini, masyarakat Blitar biasanya akan melakukan tradisi unggahan. Tradisi unggahan adalah salah satu tradisi yang biasa dilakukan warga Blitar. Tradisi unggahan atau munggahan ini biasa dilakukan pada hari-hari menjelang Ramadhan, biasanya satu minggu sebelum Ramadhan.
Kata unggah-unggahan berasal dari kata “munggah” yang memiliki arti naik atau masuk, dimana memiliki maksud berakhirnya bulan sya’ban dan masuknya bulan puasa sebagai bulan yang sacral bagi umat muslim. Tradisi ini merupakan selametan dan sudah menjadi acara tradisional tahunan yang diikuti oleh masyarakat setempat.
Seperti yang dilakukan warga desa Jaten, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar. Warga setempat melakukan tradisi unggahan setiap tahunnya, untuk menyambut bulan yang berkah ini. Satu minggu sebelum bulan ramadhan, mereka akan menyiapkan berbagai masakanan untuk tradisi unggahan ini.
Biasanya, di desa Jaten, diadakan semacam genduren pada malam harinya ba’da maghrib, yang bertempat di TPA/TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an) Al-Amin. Masing-masing warga akan membawa 1-2 berkat untuk dibawa. Seperti kata Bu Munawaroh warga setempat, berkat biasanya berisi nasi setengah marang, lalu dengan lauk sambal goreng, jangan tahu, ayam, mie dan peyek, lalu diatasnya ditumpangi gedhang dan apem.
Menurut beliau, apem adalah sebagai ungkapan maaf karena kata apem berasal dari kata arab yaitu afum yang memiliki arti memberi maaf. Selain itu, jika digabungkan, gedhang dan apem akan membentuk sebuah payung, yang memiliki makna sebagai perlindungan selama menjalankan bulan Ramadhan.
Kemudian mereka duduk lesehan melingkar dan melakukan selamatan dan kirim doa bagi para leluhur yang telah meninggal dunia. Doa biasanya dipimpin oleh ketua RW setempat. Berkat yang sudah didoakan tersebut kemudian dibagikan ke warga sekitar secara acak, jadi bisa dikatakan saling bertukar berkat.
Setelah munggahan (naik atau masuk), berlanjut ke mudhunan (turun) atau biasa disebut dengan udun-udunan. Seperti Namanya, mudhun memiliki arti turun, namun juga bisa dimaknai meninggalkan. Arti meninggalkan ini memiliki maksud sudah tibalah bulan suci Ramadhan berakhir, dan tibalah hari yang suci (fitri).
Tradisi udunan biasanya dilaksanakan pada seminggu sebelum hari lebaran, hampir sama seperti tradisi munggahan yakni H-7. Tata pelaksanaannya juga hampir sama seperti tradisi unggahan yang dijelaskan di atas.
Sebenarnya, tradisi ini memiliki makna seperti rasa bersyukur, khususnya kepada Yang Maha Kuasa, karena kita bisa bertemu dengan bulan suci Ramadhan dan hari raya idul fitri di tahun ini lagi, dimana bulan tersebut merupakan bulan-bulan yang berbahagia bagi umat Islam.
Apapun bentuk tradisinya, kita sebagai orang Jawa wajib melestarikannya. Seperti kata pepatah, “wong Jawa sing ilang Jawane” jangan sampai kita menjadi orang Jawa namun kehilangan rasa Jawa-nya. Selama tidak menyimpang dari agama, boleh-boleh saja dilakukan. Selain itu, alih-alih melakukannya sebagai pelestarian budaya, tradisi ini juga bisa dimaanfaatkan untuk sarana silaturahmi antar warga setempat.
Sumber:
Wawancara, 7 Maret 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H