Tahun 2018 diawali dengan kabar baik bagi masyarakat (pemerintah) Provinsi D.I. Yogyakarta, terutama terkait dengan indikator statistik sosial yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Pada 2 Januari yang lalu, BPS merilis angka kemiskinan nasional kondisi September 2017. Persentase jumlah penduduk miskin D.I. Yogyakarta kondisi September 2017 sebesar 12,36 persen, mengalami penurunan dibandingkan dengan kondisi September 2016.
Seperti kita ketahui bersama bahwa, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Jadi Penduduk dikatakan miskin apabila penduduk tersebut memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah Garis Kemiskinan (GK).
Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2017 yang dilakukan BPS secara serentak di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Provinsi D.I. Yogyakarta, diperoleh hasil bahwa GK Provinsi D.I. Yogyakarta pada September 2017 mencapai 396.271 per kapita per bulan. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 10,02 persen dibandingkan GK bulan September 2016 yang sebesar 360.169 per kapita per bulan.
Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah GK pada September 2017, persentasenya mengalami penurunan bila dibandingkan dengan kondisi September 2016. Pada September 2017, persentase penduduk miskin mencapai 12,36 persen, mengalami penurunan sebesar 0,74 bila dibandingkan dengan September 2016 yang mencapai 13,10 persen.
Begitu pula dengan angka jumlah penduduk miskin, pada September 2017 mengalami penurunan bila dibandingkan dengan September 2016. Jumlah penduduk miskin pada September 2017 sebanyak 466,33 ribu jiwa, menurun bila dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada September 2016 yang mencapai 488,83 ribu jiwa.
Lebih jauh melihat komoditi yang berkontribusi menyusun GK September 2017, ada fenomena yang menarik dan memprihatinkan. Di wilayah rural/pedesaan, lima komoditi dengan kontribusi terbesar terhadap GK Makanan berturut-turut adalah beras (28,27 persen), rokok (11,23 persen), daging sapi (7,02 persen), telur ayam ras (5,33 persen), dan kue basah (4,12 persen). Rokok menduduki posisi kedua mengalahkan daging sapi dan telur ayam ras.
Di wilayah urban/perkotaan, kondisinya tidak jauh berbeda. Lima komoditi dengan kontribusi terbesar terhadap GK Makanan berturut-turut adalah Beras (23,06 persen), Daging Sapi (16,57 persen), Rokok (11,36 persen), Telur ayam ras (5,79 persen), dan gula pasir (4,42 persen). Sedikit lebih baik kondisinya, karena komoditi rokok menempati posisi ketiga setelah daging sapi walaupun secara persentase malah lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah pedesaan.
Pada GK Bukan Makanan, lima komoditi dengan kontribusi terbesar terhadap GKBM untuk wilayah urban/perkotaan berturut-turut adalah perumahan (22,39 persen), bensin (21,50 persen), listrik (13,94 persen), pendidikan (9,32 persen), dan perlengkapan mandi. Mobilitas penduduk perkotaan yang tinggi dengan populasi kendaraan pribadi yang tinggi termasuk sepeda motor nampaknya berdampak pada pengeluaran rumah tangga yang tinggi untuk pembelian bensin.Â
Sementara itu  untuk wilayah pedesaan, lima komoditi dengan kontribusi terbesar terhadap GKBM berturut-turut adalah perumahan (23,18 persen), bensin (22,58 persen), air (7,39 persen), kayu bakar (6,94 persen), dan listrik (5,76 persen). Dari hasil Susenas 2017, diperoleh angka bahwa 20,17 persen rumah tangga masih menggunakan kayu bakar untuk memasak.
Melihat fenomena tersebut, khususnya terkait dengan tingginya pengeluaran untuk konsumsi rokok, seyogyanya semua pihak yang terkait gencar melakukan sosialisasi dan penyadaran kepada masyakarat luas untuk mengurangi konsumsi rokok.Â
Selain karena pertimbangan kesehatan, dengan adanya pengurangan  konsumsi rokok oleh rumah tangga, maka uang yang ada bisa dialokasikan untuk keperluan yang lebih bermanfaat bagi rumah tangga tersebut dan masyarakat pada umumnya. Misalnya untuk kebutuhan peningkatan kualitas pendidikan,  pemenuhan kebutuhan gizi keluarga dan sebagainya.