Kebijakan Penanggulangan Stunting di Indonesia
Rencana aksi intervensi stunting diusulkan menjadi 5 pilar utama, yaitu melalui komitmen dan visi pimpinan tertinggi negara, kampanye nasional berfokus pada pemahaman, perubahan prilaku, komitmen politik, akuntabilitas, konvergensi, koordinasi, dan konsilidasi program nasional, daerah, serta masyarakat, mendorong kebijakan "Food Nutritional Security", pemantauan dan evaluasi. Penanggulangan masalah gizi dilakukan melalui intervensi spesifik dan intervensi sensitif (Jalal 2017).
Tahun 2018, kebijakan penanggulangan stunting dilakukan melalui memprioritaskan 160 kabupaten/kota, dengan masing-masing 10 desa untuk penanganan stunting, di mana program ini dilaksana- kan melalui beberapa tahapan. Tahap I dilaksanakan pada tahun 2018, dengan jumlah kabupaten/kota prioritas sebanyak 100 kabupaten/kota, masing- masing kabupaten/kota terdiri dari 10 Desa, sehingga total desa berjumlah 1000 desa. Tahap II dilaksanakan tahun 2019, terdiri dari 60 kabupaten/kota prioritas dengan total jumlah desa 600. Setiap kementerian terkait diharuskan mengalokasikan program dan kegiatannya di 100 desa pada 10 kabupaten/kota yang menjadi prioritas penanganan stunting. Pihak terkait, diantaranya Kementerian Koordinator Bidang Pem- bangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Pertanian, Kementerian PPN/Bappenas, dan TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemis- kinan), Kementerian Kesehatan, dan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). Berbagai kebijakan dan regulasi telah dikeluar kan pemerintah dalam rangka penanggulangan stunting. Adapun kebijakan/regulasi tersebut, di antaranya yaitu : 1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005--2025, 2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019, 3. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015, 4. Undang-Undang (UU) No. 36/2009 tentang Kesehatan, 5. Peraturan Pemerintah (PP) No.33/2012 tentang Air Susu Ibu Eksklusif, 6. Peraturan Presiden (Perpres) No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional stunting hingga 28% dari keadaan awal tahun 2013 sebesar 32,9%.
 Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011- 2015 yang disusun oleh Bappenas tahun 2011 memuat tentang program dan kegiatan, indikator, target tahunan, dan alokasi anggaran indikatif dari berbagai sektor yang akan terlibat dalam implementasi rencana aksi pangan dan gizi di tingkat nasional. Rencana aksi tersebut disusun sebagai panduan dan arahan dalam pelaksanaan pembangunan bidang pangan dan gizi di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten dan kota baik bagi institusi pemerintah maupun masyarakat dan pihak lain yang terkait dalam perbaikan pangan dan gizi. Adapun sektor yang terlibat dalam implementasi rencana aksi ini, yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian PPN/Bappenas, dan Badan POM (Bappenas 2011). Peraturan Pemerintah (PP) No.33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif dibuat sebagai peraturan pelaksana ketentuan pasal 129 ayat (2) Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pengaturan pemberian ASI ekslusif dibuat untuk menjamin pemenuhan hak bayi untuk memperoleh ASI ekslusif sampai dengan bayi berumur 6 bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya. UNICEF dan WHO merekomen dasikan pemberian ASI ekslusif sampai bayi berumur 6 bulan. ASI dianjurkan untuk diberikan pada bulan- bulan pertama kehidupan bayi karena ASI mengandung banyak gizi yang diperlukan bayi pada umur tersebut (RI 2014) dan penting untuk membentuk imunitas bayi. Pemberian ASI eksklusif diketahui berpengaruh terhadap kejadian gizi buruk, dimana rendahnya Pemberian ASI eksklusif menjadi salah satu pemicu stunting pada anak. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif, maka ditetapkan peraturan Menteri Kesehatan No. 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu. Peraturan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada ibu agar tetap leluasa memberikan ASI eksklusif dengan menyediakan sarana untuk menyusui di tempat kerja maupun sarana umum, memberikan kesempatan bagi ibu yang bekerja di dalam ruangan dan/atau di luar ruangan untuk menyusui dan/atau memerah ASI pada waktu kerja di tempat kerja salah satunya dengan penyediaan ruang ASI yang sesuai standar. Peraturan Presiden (Perpres) No. 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dibuat sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi masyarakat. Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi merupakan upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat yang diprioritaskan pada seribu hari pertama kehidupan. Perbaikan gizi masyarakat diharapkan berdampak pada penurunan prevalensi stunting. Permenkes No.3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), dimaksudkan untuk memperkuat upaya perilaku hidup bersih dan sehat, mencegah penyebaran penyakit berbasis lingkungan, meningkatkan kemampuan masyarakat, serta meningkatkan akses air minum dan sanitasi dasar melalui penyelenggaraan STBM. STBM merupakan suatu pendekatan untuk mengubah perilaku higienis dan saniter melalui pemberdayaan masyarakat. Pendekatan STBM dilakukan dengan menekankan Pada 5 pilar, yaitu : 1) Stop buang air besar sembarangan, 2) Cuci tangan pakai sabun, 3) Pengelolaan air minum/makanan rumah tangga, 4) Pengelolaan sampah rumah tangga, 5) Pengelolaan limbah cair rumah tangga. Pelaksanaan STBM diharapkan mampu meningkatkan higienitas pribadi dan lingkungan, dimana peningkatan higienitas dapat berdampak pada penurunan resiko stunting. Penelitian menyebutkan bahwa perubahan perilaku dalam sanitasi dan kebersihan yang baik berpotensi menurunkan stunting. Sebaliknya, sanitasi yang buruk dapat menyebabkan anak mengalami enviromental enteropathy (EE) yang berdampak pada sulitnya penyerapan nutrisi (Sukmasari 2016). Sementara itu, penyerapan nutrisi yang buruk dapat menyebabkan resiko stunting pada anak. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa perbaikan sanitasi mengurangi sekitar 17-70% risiko stunting (Puspita 2015). Peraturan Menteri Kesehatan No.23 tahun 2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi dibuat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia dengan prioritas kepada kelompok rawan gizi. Permen ini mengatur tentang tugas dan tanggung jawab, kecukupan gizi, pelayanan gizi, surveilans gizi, dan tenaga gizi. Kelompok rawan gizi yang dimaksud dalam permen ini adalah bayi dan balita; anak usia sekolah dan remaja perempuan; ibu hamil, nifas dan menyusui, pekerja wanita dan usia lanjut. Pelayanan gizi dilakukan melalui pendidikan gizi, suplementasi gizi, tata laksana gizi, dan surveilans gizi. Selain sejumlah regulasi yang telah dipaparkan di atas, pemerintah juga menyusun Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan yang disusun pada tahun 2013. Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan dianggap penting karena merupakan salah satu upaya untuk menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, dan produktif. Kerangka Kebijakan Gerakan 1000 HPK membahas tentang pentingnya 1000 HPK; perlunya akselerasi perbaikan gizi melalui Gerakan 1000 HPK; intervensi gizi spesifik dan sensitif; visi, misi, dan goal Gerakan 1000 HPK; tahapan, strategi, dan bentuk kemitraan, serta pengorganisasian Gerakan 1000
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H