Mohon tunggu...
Chandra Situmeang
Chandra Situmeang Mohon Tunggu... Dosen -

Silahkan Kunjungi :\r\nhttp://www.chandrasitumeang.com/riwayathidup.php

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Kotori Sendiri Wajahmu

27 November 2016   22:01 Diperbarui: 27 November 2016   22:29 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“…Laman media sosial adalah wajahmu, jangan pertontonkan kedunguan, kedengkian, kebencian dan setiap hal yang mencoreng wajahmu karena tanpa dicorengpun wajah kita sudah terlihat tidak begitu rupawan…”

Waktu aku berumur sembilan tahun, rumah kami pernah diserbusekitar seratusan orang. Rumah kami dilempari disertai teriakan caci maki olehkarena suatu hal yang kemudian diketahui adalah kesalahpahaman. Ketika itu,hanya ada aku, mama, dan adekku karena bapak sedang berada di Medan (jaraknyasekitar delapan jam perjalanan). Keadaan sangat mencekam seolah kami akansegera dibunuh, sungguh merupakan suasana yang sangat mengerikan terutama untukanak-anak seumur kami. Sulit dibayangkan jika Tuhan tidak campur tanganmelindungi kami bertiga dari amuk massa. Cerita ini memang berakhir baikmelalui permohonan maaf yang tulus dari masyarakat kepada keluarga kami.

Mengapa bisa terjadi? Warga sekitar percaya pada rumor yangdihembuskan oleh orang yang waktu itu punya kepentingan padahal sesungguhnyaorang tersebut sangat tidak pantas untuk dipercayai. Pada sisi lain, bapak danmama sudah lama menjadi guru disana bahkan sebelum gedung sekolah ada. Merekatelah membangun sekolah dengan membuka hutan, mengajar hanya berdua, mencaridana untuk pembangunan dan berbagai pengorbanan lainnya. Namun itu tak cukupmembuat mereka menjadi lebih dipercaya dibanding si preman kampung itu yangakhirnya berhasil menghasut masyarakat. Dengan media komunikasi sederhanamelalui percakapan langsung sudah dapat menghasilkan dampak yang sangatmengerikan, bandingkan dengan saat ini dimana media sosial melalui internetmenjadi sarana penyebaran informasi yang jauh lebih cepat dan massif.

Saya merenungkan kejadian tersebut dikaitkan dengan fenomenayang terjadi dalam pola komunikasi di media sosial. Saya terdorong menuliskansesuatu yang sudah sering saya sampaikan dalam berbagai kesempatan terutama diruang kelas dan berbagai diskusi. Tulisan ini lebih panjang dari beberapatulisan saya yang lain sehingga mungkin sedikit membutuhkan waktu untukmembacanya, terima kasih untuk kesediaan membacanya. Saya sadar bahwa tulisansejenis ini dapat dengan mudah ditemukan, tetapi saya berharap komunitas yangdekat dengan saya dapat memaknai lebih dalam karena mengenal keseharian saya.Saya ingin kita bersama menjadi bagian dari usaha untuk menyembuhkan penyakitsosial yang semakin akut ini. Sakit dalam bentuk ketidakcerdasan berpendapatterutama di media sosial.

Pertama saya ingin menyampaikan tata urutan bertindak yangsaya yakini, yaitu; melihat dan memperhatikan, membaca sumber rujukan, berpikirdengan melakukan analisis silang, lalu berbicara atau menulis pendapat melaluiberbagai media. Jangan sekali-kali melompati tahapan ini jika kita inginmenjadi manusia yang bertanggungjawab atas seluruh tindakan dan perkataan kita.Ketika kita melihat sebuah kejadian atau fenomena, lihatlah dengan baik dancermat, perhatikan berbagai gejala yang menyertainya. Jangan pernah membuatkesimpulan pada tahap ini kecuali kita mau menjadi pion dan alat mainan daridalang yang hampir pasti punya niat tidak baik.

Setelah melihat dan memperhatikan, bacalah berbagai sumberyang kredibilitasnya dapat dipercaya. Tidak mungkin kita bisa berpikir tanpadata dan bahan yang memadai, jika tidak melakukannya sangat mungkin kita jatuhdalam fitnah. Dalam tahapan ini kesalahan paling fatal adalah kecenderunganmemilih bahan yang akan dibaca hanya yang sesuai dengan preferensi awal kita.Jika demikian kita telah gagal menjadi mahluk cerdas yang siap berdialektikadalam keragaman arus pikir. Saran saya pilihlah minimal sepuluh sumber kredibelyang posisi cara pandangnya berbeda-beda. Jangan takut, jika berani menyebutdiri terpelajar maka harus berani membaca pendapat yang berbeda. Rangkumkanlahseluruh informasi tersebut agar kita bisa menganalisis dengan baik.

Tahapan berpikir menjadi tahapan paling kritis karenasesungguhnya pada tahapan inilah manusia memenuhi kodratnya sebagai mahluk yangcerdas. Jika kita tidak mampu berpikir dan menganalisis lalu apakah kelebihankita dibandingkan mahluk Tuhan yang lain? Harusnya kita mampu menganalisisinformasi yang telah kita punya. Beberapa pertanyaan berikut mungkin dapatmembantu, seperti ; “Benarkahdemikian?”, “mungkinkah?” “apakah ini hoax atau editan?” “Jikamemang demikian, mengapa seperti ini?”, “Siapa yang mendapat keuntungan jikasesuatu terjadi?”, “Apakah mungkin dia berlaku demikian?”, “Kenapasi A bilang ini dan lalu si B bilang itu?”.Banyak pertanyaan kritis lain yang sesungguhnya saya yakin sebagai komunitasterdidik kita dapat sangat kreatif menganalisis sesuatu. Sesungguhnya, jikakita mau jujur hal paling sulit adalah kerelaan hati untuk memverifikasikeyakinan awal kita serta kesediaan mengeluarkan sedikit energi untuk menganalisissesuatu sebelum berkata-kata.

Pada tahap akhir yaitu berbicara atau berpendapat melaluiberbagai media harus dilakukan dengan sangat cerdas. Saat ini saya hanya fokusterkait pernyataan pendapat melalui media sosial. Hal paling mendasar adalahkesadaran bahwa media sosial adalah ruang publik yang bebas diakses banyakorang. Walaupun kita tidak langsung berhadapan secara fisik, media sosial bukanbuku harian yang tersimpan dalam lemari yang tak dapat diakses orang lain.Sebagai analogi, ketika kita mencaci seseorang di laman media sosial kita, haltersebut hampir sama dengan mencaci langsung di depan mukanya. Laman mediasosial adalah wajah kita. Harus disadari juga bahwa pihak-pihak tertentu yangsecara professional berhubungan dengan kita akan mengakses profile kita melaluilaman media sosial kita. Misalnya jika kita seorang pencari kerja, makaperusahaan akan menganalisis kepribadian kita melalui media sosial atau atasankita di kantor akan memperhatikan sepak terjang kita di media sosial. Jadi diera teknologi informasi sat ini laman media sosial kita adalah wajah kita. Lamanmedia sosial adalah wajahmu, jangan pertontonkan kedunguan, kedengkian,kebencian dan setiap hal yang mencoreng wajahmu karena tanpa dicorengpun wajahkita sudah terlihat tidak begitu rupawan. Berhati-hatilah

Lalu bagaimana seharusnya kita berpendapat? Seyakin apapunkita tentang suatu pendirian tetaplah sampaikan dengan santun dan cerdas tanpakesan memaksakan kesimpulan. Santun dalam tutur kata dan cerdas dalam membangunrasionalisasi. Hendaknya kita mengingat dua tujuan paling utama dalamberpendepat adalah “menegakkan kebenaran” dan “memberikebermanfaatan”. Secara ideal keduanyaberjalan seiring namun dalam banyak kesempatan kita harus memilih salah satudiantaranya untuk dijadikan prioritas. Harus sangat diyakini, bahwa tak seorangmanusiapun mampu menjamin kebenaran apa yang disampaikan olehnya, janganmenjadi orang gila yang yakin bahwa kita pasti benar. Kebenaran itu sungguhrelatif bagi manusia yang terbatas seperti kita. Jangan mengulangi luka sejarahyang mencatat bahwa banyak pengorbanan yang sia-sia baik materi, waktu, bahkannyawa manusia hanya karena seseorang menganggap dirinya paling benar. Sekalipunsumbangsihnya sangat kecil, biarlah kita menjadi manusia yang memberikankontribusi positif bagi peradaban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun