Mohon tunggu...
Chandra Situmeang
Chandra Situmeang Mohon Tunggu... Dosen -

Silahkan Kunjungi :\r\nhttp://www.chandrasitumeang.com/riwayathidup.php

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Bisakah Maskapai Kita Lebih Profesional?

18 Juni 2015   12:57 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:44 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam satu bulan terakhir saya dikecewakan dua maskapai yang masih bersaudara ; “Lion Air” dan “Batik Air”. Kedua kekecewaan itu bersumber dari pergeseran jadwal yang dilakukan secara sepihak. Celakanya saya sebagai konsumen seperti merasa tidak punya mekanisme untuk melakukan penunutan atas kerugian materil dan ketidaknyaman yang saya terima.

Kejadian pertama terjadi pada hari Sabtu tanggal 23 Mei 2015. Semula saya memesan tiket melalui pemesanan online “Traveloka” untuk penerbangan “Lion Air” dari Medan ke Bandung jam 06.30. Penerbangan tersebut diubah secara sepihak menjadi jam 09.00. Saya memilih penerbangan tersebut karena memperkirakan sebuah pertemuan yang saya harus hadiri sekitar jam 10.00. Sebelum saya memesan tiket tersebut sebenarnya saya punya alternatif lain yaitu dengan penerbangan “Citilink” jam 07.45. Akhirnya saya membatalkan penerbangan tersebut dan memilih terbang dengan penerbangan “Citilink” tersebut. Keseluruhan dana pembayaran tiket “Lion Air” memang dikembalikan namun proses pengembaliannya membutuhkan waktu hingga 30 hari dan membutuhkan sedikit energi tambahan untuk mengurusnya.

Kejadian kedua terjadi tanggal 17 Juni 2015. Saya memesan tiket saudara “Lion Air” yang membangun brand imagenya sebagai maskapai premium yaitu “Batik Air”. Saya memesan penerbangan dari Jakarta (Halim) ke Medan untuk penerbangan jam 20.05. Penerbangan ini secara sepihak juga diubah menjadi 15.45. Saya memilih jam penerbangan 20.05 tentu dengan pertimbangan berbagai aktifitas yang harus saya selesaikan sebelum pulang ke Medan. Percepatan jam penerbangan sebanyak 4 jam 20 menit (20.05 menjadi 15.45) tentu akan membuat jadwal kegiatan menjadi berantakan. “Batik Air” memang mengijinkan saya untuk mengundurkan jam penerbangan menjadi tanggal 18 Juni 2015 (sehari sesudahnya) pada penerbangan pagi. Lalu saya tanyakan, “siapa yang menanggung biaya akomodasi karena harus menunggu satu malam?”. Dijawab “Tidak tahu”. Akhirnya dengan berat hati saya menyesuaikan kegiatan saya dan “tunduk” pada jadwal yang dipaksakan tersebut.

Saya menduga (hampir pasti) bahwa perubahan jadwal penerbangan tersebut karena jumlah penumpang untuk penerbangan yang semula direncanakan tidak terpenuhi sehingga maskapai menggabungkan dua atau bahkan lebih penerbangan. Apakah sebelum membuka dan mengajukan izin slot terbang tersebut mereka tidak melakukan survey kapasitas pasar? Apakah mereka hanya membuka saja tanpa mempertimbangkan keberlangsungan setiap rute tersebut? Industri penerbangan tentu berbeda dengan industri pengangkutan sejenis “angkot”, kalau di “angkot”, walau dengan hati kesal saya bisa masih mentolerir si supir yang “mengoper” penumpangnya ke angkot lain. Tapi apakah itu “harus” terjadi di angkutan pesawat? Apalagi bagi sebuah maskapai yang melabeli dirinya sebagai “Maskapai Premium”. Yang saya pahami ketika sebuah jam penerbangan dibuka dan ditawarkan, maka itu adalah komitmen maskapai pada pelanggan. Seorang pelanggan tentu mempertimbangkan berbagai aspek sebelum membeli sebuat tiket perjalanan sehingga dia juga bersedia didenda bahkan tiketnya hangus jika tidak tiba tepat waktu. Mengapa konsekuensi (baca ; hukuman) yang sama tidak boleh kita kenakan pada si maskapai? Kejadian ini bentuk ketidakprofesionalan manajemen kedua masakapai bersaudara tersebut. Saya merasa kedua maskapai ini hanya berbeda nama namun dengan cita rasa yang nyaris sama.

Apakah saya masih akan membeli tiket kedua masakapai ini lagi? Kedua masakapai ini beruntung karena tipikal konsumen di Indonesia masih sangat sensitif terhadap harga sehingga tetap bersedia mendapat perlakukan yang tidak nyaman. Kejadian ini bisa saja tidak hanya terjadi di kedua maskapai tersebut walaupun sepanjang saya menggunakan maskapai lainnya saya belum pernah mendapat kejadian yang sama. Semoga pemerintah membuat aturan yang lebih tegas demi melindungi konsumen yang berada pada posisi lemah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun