Mohon tunggu...
Chandra Situmeang
Chandra Situmeang Mohon Tunggu... Dosen -

Silahkan Kunjungi :\r\nhttp://www.chandrasitumeang.com/riwayathidup.php

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memanfaatkan Energi Kemarahan Rakyat

28 Januari 2015   09:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:14 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hal yang paling menyita perhatian pada hari-hari terakhir adalah kisruh Polri vs KPK. Dalam kisruh itu Presiden menjadi figur yang akhirnya paling disorot, paling dicari, dan paling ditunggu tindakannya. Perhatian pada sikap dan tindakan presiden didorong berbagai motivasi. Motivasi yang paling adalah keinginan agar masalah yang ada dapat diselesaikan dengan baik demi menjaga agenda pemberantasan korupsi dan lebih penting lagi menjaga stabilitas negara. Namun mash ada motivasi lain sebagai imbas dari pertarungan pilpres yang belum selesai sepenuhnya, dimana diakui atau tidak pendukung Jokowi sangat kuatir Presiden salah langkah sementara sebagian pendukung calon yang belum terpilih pada saat itu sedikit banyak ‘berharap presiden salah langkah’ supaya menjadi pembenaran bahwa Jokowi tidak seharusnya menjadi Presiden. Kedua motivasi dari pendukung yang didasarkan pada cinta buta ini tentu tidak baik karena pada dasarnya bukan karena cinta negara tetapi ingin memuaskan ego masing-masing.

Sebagai orang yang telah ditetapkan Yang Kuasa menjadi warga negara Indonesia, maka seharusnyalah kita mencintai negara ini dengan segenap jiwa dan raga kita. Marilah kita bersama berharap Presiden bisa menyelesaikan masalah ini, bukan untuk memuaskan ego kita, namun untuk kebaikan negara kita. Untuk itu saya merasa kita perlu membantu presiden keluar dari kerumitan yang dia hadapi. Memang tidak semua bisa memahami peliknya kondisi politik dan mafia yang dihadapi presiden, bahkan Megawati sendiri yang sering disalahkan orang dalam periode yang carut marut ini menyebut istana itu adalah “tempat hitam” sebagai pengambaran betapa suramnya kehidupan istana. Presiden Jokowi menghadapi kondisi yang jauh lebih rumit dari kondisi pemerintahan sebelumnya. Beberapa kondisi itu adalah ; dia hanya menang tipis sehingga harus mampu mengelola persepsi publik agar dia tetap mendapat kepercayaan; tidak memiliki kendali terhadap satu kursipun di senayan; seseorang yang relatif baru dalam “permainan” level atas, dan berbagai kondisi lainnya. Lalu apakah semua keterbatasan itu membuat Jokowi menjadi orang yang kebingungan dan kemudian tidak tahu apa yang akan dilakukan? Awalnya saya sempat berpikir demikian, namun kemudian saya menolak hipotesa saya tersebut. Saya menjadi yakin, dia sedang berjalan dalam langkah yang benar tetapi dengan “style”nya sendiri.

Jika dia tidak salah lalu apakah salah kita marah kepada Presiden yang seperti berdiam diri? Sepertinya juga tidak salah, dia memang seprtinya menginginkan kita marah dan menuntut dia bersikap. Dia tahu persis dia akan menjadi sasaran kemarahan dari sikapnya yang seperti menjadi “boneka”. Jokowi tidak terlalu bodoh atau meminjam terminologi yang digunakan Iwan Fals “Jokowi bukan anak-anak” yang tidak memahami kondisi tersebut. Saya berpikir dia memang menginginkan kita marah, dia akan menggunakan energi kemarahan itu untuk “menuntut” sang pemain di balik layar, untuk mengambil langkah berani memukul orang-orang yang mengkerdilkan status dia sebagai Presiden. Bukankah mayoritas masyarakat tetap menyalahkan orang dibalik punggung Jokowi yang dinsyalir menjadi aktor dan bukan menyalahkan Jokowinya secara langsung? Bahkan sekelompok orang sudah mendorong agar Jokowi mengambil alih kendali suatu partai. Sejauh ini mayoritas masyarakat belum meragkan komitmennya atas pemberantasan korupsi, kebanyakan hanya menyebut dia menjadi “boneka” atau tidak tegas. Rakyat yang marah terlepas itu kemarahan yang didorong kecintaan pada bangsa atau kemarahan “haters” akan dapat menjadi dorongan dan kekuatan bagi Jokowi untuk berkata pada kekuatan yang membelenggunya “Saya tidak mungkin lagi dibelenggu, saya harus menjadi Presiden dalam arti yang sesungguhnya”.

Selamat berjuang pak Presiden, kami akan tetap siap marah jika itu memberimu kekuatan untuk berdiri tegak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun