Mohon tunggu...
Chandra Satya Bintara
Chandra Satya Bintara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Public Relation

Communication Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kontradiksi Anomali Aspek Positif Misoginisme pada Hak Perempuan Adat Jawa

12 September 2024   23:51 Diperbarui: 13 September 2024   00:07 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang Merdeka. Secara harfiah, kemerdekaan di Indonesia merujuk pada peristiwa bersejarah yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang. Maka Makna dari kemerdekaan itu sendiri bagi perempuan di Indonesia memiliki perspektif yang lebih luas dan mendalam, hal ini tidak hanya berarti kebebasan dari penjajahan fisik, tetapi juga kebebasan dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan yang dialami perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Lantas bagaimana telaah misoginisme menjadi tantangan atau pendukung dalam memaknai kemerdekaan di Indonesia itu sendiri?.
Misoginisme atau kebencian terhadap perempuan adalah fenomena sosial yang telah ada sejak lama dan masih menjadi tantangan besar di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Istilah misoginisme pertama kali muncul pada abad ke-17 sebagai respons terhadap pamflet anti-perempuan yang ditulis oleh Joseph Swetnam. Misoginisme tidak hanya mencakup kebencian secara eksplisit, tetapi juga berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan yang dialami perempuan dalam kehidupan sehari-hari.

Misoginisme dan patriarki adalah dua konsep yang sering kali saling terkait dalam berbagai budaya, termasuk budaya Jawa. Misoginisme, atau kebencian terhadap perempuan, sering kali muncul sebagai hasil dari sistem patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam masyarakat. Dalam budaya Jawa, patriarki telah mengakar kuat dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk peran dan hak Perempuan.

Misoginisme sering kali menjadi hambatan bagi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Walau dalam fenomena sosial tidak terjadi secara gamblang namun hembus misoginisme terus berkembang beriringan dengan budaya patriarki berupa pembatasan hak-hak perempuan adat Jawa yang dapat dilihat secara rill oleh masyarakat, hal ini juga menjadi alur budaya yang terus mengalir bak air yang tak indahnya bermura. Namun, dalam konteks perempuan adat Jawa, misoginisme sering kali muncul dan melekat beriringan dalam bentuk patriarki yang kuat itu sendiri, di mana peran dan hak perempuan dibatasi oleh norma-norma sosial yang ketat. Budaya patriarki di Jawa memposisikan laki-laki sebagai pemimpin dan pengambil keputusan utama, sementara perempuan sering kali ditempatkan dalam peran domestik dan subordinat. Ungkapan seperti "kanca wingking" (teman di belakang) dan "manak, macak, masak" (melahirkan anak, berdandan, memasak) mencerminkan pandangan tradisional tentang peran perempuan dalam masyarakat Jawa.

Patriarki dan misoginisme sering kali dilanggengkan melalui norma-norma sosial dan budaya yang mengutamakan laki-laki. Misalnya, dalam banyak masyarakat, perempuan masih menghadapi hambatan dalam mengakses pendidikan, pekerjaan, dan peluang politik. Stereotip gender yang dipelihara oleh budaya juga memainkan peran besar dalam menguatkan sikap misoginisme.

Meskipun perempuan adat Jawa menghadapi pembatasan hak akibat patriarki dan misoginisme, ada anomali yang menarik dalam konteks ini. Di satu sisi, pembatasan hak-hak perempuan dapat dilihat sebagai bentuk penindasan. Namun, di sisi lain, pembatasan ini juga mendorong perempuan adat untuk menemukan cara-cara kreatif untuk tetap berkontribusi dalam masyarakat dan melestarikan budaya mereka serta perempuan adat Jawa telah menunjukkan kemampuan untuk mengatasi hambatan ini melalui pendidikan dan kesadaran gender pada implementasi misoginisme itu sendiri. Anomali dalam telaah misoginisme ini berupa peranan perempuan adat jawa seperti:

Penguatan Identitas Budaya

Perempuan adat Jawa sering kali menjadi penjaga tradisi dan budaya lokal. Misoginisme yang membatasi peran mereka di ruang publik justru memperkuat peran mereka dalam menjaga dan melestarikan budaya tradisional di ruang privat. Misalnya, dalam tradisi Rewang, perempuan memainkan peran penting dalam gotong royong dan solidaritas komunitas. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada batasan, perempuan adat tetap memiliki peran yang signifikan dalam menjaga identitas budaya.

Pemberdayaan Melalui Pendidikan dan Kesadaran

Tantangan misoginisme mendorong perempuan adat Jawa untuk lebih sadar akan hak-hak mereka dan pentingnya pendidikan. Ini tercermin dalam upaya peningkatan pendidikan dan kesadaran gender di kalangan perempuan adat. Selain itu, perempuan adat sering kali menjadi pendidik utama dalam keluarga, mengajarkan nilai-nilai budaya,tradisi dan moral kepada anak-anak mereka, yang membantu mempertahankan identitas budaya dan nilai-nilai tradisional.

Kepemimpinan dalam Komunitas

Meskipun menghadapi diskriminasi, beberapa perempuan adat Jawa berhasil menjadi pemimpin dalam komunitas mereka, menunjukkan bahwa esensi dari perempuan itu sendiri memiliki kapasitas yang cukup sebagai roda penggerak untuk memimpin dan membuat keputusan yang krusial. Peran mereka dalam berbagai ritual dan upacara adat juga memberikan mereka otoritas dalam konteks budaya.  Perempuan dalam komunitas Bonokeling berperan sebagai Nyai Wadon Kunci dan Nyai Wadon Bedogol, yang membantu tugas-tugas Kyai Kunci dan Kyai Bedogol. Mereka juga terlibat dalam berbagai tugas ritual, seperti mempersiapkan sesajen dan mengatur jalannya upacara. Peran ini menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya berperan dalam aspek domestik, tetapi juga dalam aspek spiritual dan sosial budaya dan pada Ritual Perlon Unggahan sendiri memiliki nilai sakral yang tinggi dan menjadi jalan spiritual bagi komunitas Bonokeling. Keterlibatan perempuan dalam ritual ini mencerminkan kesadaran akan kesetaraan gender dan pentingnya peran perempuan dalam menjaga dan melestarikan tradisi budaya. Ini membuktikan bahwa perempuan adat memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin yang efektif dalam masyarakat mereka.

Menurut teori patriarki, sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama sering kali membatasi peran perempuan. Namun, dalam konteks perempuan adat Jawa, ini juga mendorong mereka untuk menemukan cara-cara kreatif untuk tetap berkontribusi dalam masyarakat. Teori gender menekankan bahwa peran gender adalah konstruksi sosial, sehingga perempuan adat Jawa dapat mengubah peran mereka melalui pendidikan dan kesadaran gender.

Penelitian tentang tradisi Rewang menunjukkan bahwa perempuan adat Jawa memainkan peran penting dalam menjaga keharmonisan sosial dan budaya melalui praktik gotong royong. Studi juga menunjukkan bahwa program-program pemberdayaan yang fokus pada pendidikan dan pelatihan keterampilan dapat membantu perempuan adat Jawa mengatasi hambatan misoginisme dan meningkatkan peran mereka dalam masyarakat.

Kesimpulan

Dengan memahami aspek positif dari tantangan misoginisme, kita dapat lebih menghargai peran perempuan adat Jawa dalam menjaga dan melestarikan budaya tradisional. Selain itu, ini juga mendorong upaya pemberdayaan yang lebih efektif untuk meningkatkan peran perempuan adat dalam masyarakat.

Perempuan adat di Indonesia, khususnya di Jawa, sering kali menghadapi tantangan patriarki dan misoginisme yang membatasi peran mereka dalam masyarakat. Namun, di balik tantangan ini, perempuan adat menunjukkan kekuatan, ketahanan luar biasa dan keselarasan dalam pelaksanaan aturan dan norma adat misoginisme sebagai upaya untuk melestarikan dan memberdayakan budaya mereka. Misalnya, dalam tradisi Rewang, perempuan Jawa memainkan peran penting dalam menjaga keharmonisan sosial dan budaya melalui praktik gotong royong. Meskipun patriarki membatasi peran mereka di ruang publik, perempuan adat Jawa tetap berkontribusi secara signifikan dalam menjaga identitas budaya melalui kesadaran dan dedikasi yang disalurkan dari generasi ke generasi selaras dengan harmoni kekeluargaan dan keluhuran. Mereka tidak hanya menjadi penjaga tradisi, tetapi juga agen perubahan yang aktif dalam komunitas mereka. Dengan pendidikan dan kesadaran yang meningkat, perempuan adat mampu mengatasi hambatan misoginisme dan patriarki, serta memainkan peran penting dalam pemberdayaan budaya di Indonesia. Upaya mereka dalam melestarikan budaya tradisional tidak hanya memperkuat identitas komunitas, tetapi juga memberikan contoh inspiratif tentang bagaimana perempuan dapat menjadi pemimpin dan pelestari budaya dalam menghadapi tantangan sosial.

Referensi :

Abidin, J. Z., Huriani, Y., Zulaiha, E., Uin, S., Gunung, D., & Bandung, I.; (2023). Perempuan Berdaya: Memperkuat Peran Perempuan dalam Budaya Tradisional. Socio Politica, 13(2), 67--76. https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/socio-politica

Arauf, M. A. (2023). The Existence of Women in the Traditional Rituals of the Jatilawang Bonokeling Community in Banyumas Regency. International Journal of Social Science and Religion (IJSSR), 347--366. https://doi.org/10.53639/ijssr.v4i3.187

Isnawati, R., & Isnaini, E. (2022). Feminisme Islam dalam Perspektif Raden Ajeng Kartini. Indonesian Journal of Islamic ..., 4(1), 41--62. http://www.ejournal.radenintan.ac.id/index.php/ijitp/article/view/11554%0Ahttp://www.ejournal.radenintan.ac.id/index.php/ijitp/article/download/11554/7037

Kumalasari, R. (2020). PEREMPUAN DAN KETAATAN: Analisis Terhadap Hadis Ketundukan Istri pada Suami. Jsga, 02(02), 35--51.

Putri, S. A. R. (2021). Potret Stereotip Perempuan di Media Sosial. Representamen, 7(02). https://doi.org/10.30996/representamen.v7i02.5736

Putsanra, D. V. (2022). Sinopsis Habis Gelap Terbitlah Terang Buku RA Kartini, Apa Isinya? Tirto.Id. https://tirto.id/sinopsis-habis-gelap-terbitlah-terang-buku-ra-kartini-apa-isinya-grjJ

Setiawan, E. (2024). Kearifan Lokal Tradisi Rewang Dalam Membangun Solidaritas Masyarakat Perdesaan Jawa. Publicio: Jurnal Ilmiah Politik, Kebijakan Dan Sosial, 6(1), 48--58. https://doi.org/10.51747/publicio.v6i1.1867

Suhendra, A. (2012). Rekonstruksi Peran Dan Hak Perempuan Dalam Organisasi Masyarakat Islam. Muswa Jurnal Studi Gender Dan Islam, 11(1), 47. https://doi.org/10.14421/musawa.2012.111.47-66

Winarsih, N. (2023). Tradisi Rewang: Potret Eksistensi Budaya Jawa di Era Modernitas. Biokultur, 12(1), 21--36.

Zaidan, A. N. (1984). Tradisi Rewang , Upaya Pelestarian Budaya Gotong Royong Pada Masyarakat Suku Jawa Dalam Menyambut Hajatan. 1983.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun