Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang Merdeka. Secara harfiah, kemerdekaan di Indonesia merujuk pada peristiwa bersejarah yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang. Maka Makna dari kemerdekaan itu sendiri bagi perempuan di Indonesia memiliki perspektif yang lebih luas dan mendalam, hal ini tidak hanya berarti kebebasan dari penjajahan fisik, tetapi juga kebebasan dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan yang dialami perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Lantas bagaimana telaah misoginisme menjadi tantangan atau pendukung dalam memaknai kemerdekaan di Indonesia itu sendiri?.
Misoginisme atau kebencian terhadap perempuan adalah fenomena sosial yang telah ada sejak lama dan masih menjadi tantangan besar di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Istilah misoginisme pertama kali muncul pada abad ke-17 sebagai respons terhadap pamflet anti-perempuan yang ditulis oleh Joseph Swetnam. Misoginisme tidak hanya mencakup kebencian secara eksplisit, tetapi juga berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan yang dialami perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Misoginisme dan patriarki adalah dua konsep yang sering kali saling terkait dalam berbagai budaya, termasuk budaya Jawa. Misoginisme, atau kebencian terhadap perempuan, sering kali muncul sebagai hasil dari sistem patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam masyarakat. Dalam budaya Jawa, patriarki telah mengakar kuat dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk peran dan hak Perempuan.
Misoginisme sering kali menjadi hambatan bagi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Walau dalam fenomena sosial tidak terjadi secara gamblang namun hembus misoginisme terus berkembang beriringan dengan budaya patriarki berupa pembatasan hak-hak perempuan adat Jawa yang dapat dilihat secara rill oleh masyarakat, hal ini juga menjadi alur budaya yang terus mengalir bak air yang tak indahnya bermura. Namun, dalam konteks perempuan adat Jawa, misoginisme sering kali muncul dan melekat beriringan dalam bentuk patriarki yang kuat itu sendiri, di mana peran dan hak perempuan dibatasi oleh norma-norma sosial yang ketat. Budaya patriarki di Jawa memposisikan laki-laki sebagai pemimpin dan pengambil keputusan utama, sementara perempuan sering kali ditempatkan dalam peran domestik dan subordinat. Ungkapan seperti "kanca wingking" (teman di belakang) dan "manak, macak, masak" (melahirkan anak, berdandan, memasak) mencerminkan pandangan tradisional tentang peran perempuan dalam masyarakat Jawa.
Patriarki dan misoginisme sering kali dilanggengkan melalui norma-norma sosial dan budaya yang mengutamakan laki-laki. Misalnya, dalam banyak masyarakat, perempuan masih menghadapi hambatan dalam mengakses pendidikan, pekerjaan, dan peluang politik. Stereotip gender yang dipelihara oleh budaya juga memainkan peran besar dalam menguatkan sikap misoginisme.
Meskipun perempuan adat Jawa menghadapi pembatasan hak akibat patriarki dan misoginisme, ada anomali yang menarik dalam konteks ini. Di satu sisi, pembatasan hak-hak perempuan dapat dilihat sebagai bentuk penindasan. Namun, di sisi lain, pembatasan ini juga mendorong perempuan adat untuk menemukan cara-cara kreatif untuk tetap berkontribusi dalam masyarakat dan melestarikan budaya mereka serta perempuan adat Jawa telah menunjukkan kemampuan untuk mengatasi hambatan ini melalui pendidikan dan kesadaran gender pada implementasi misoginisme itu sendiri. Anomali dalam telaah misoginisme ini berupa peranan perempuan adat jawa seperti:
Penguatan Identitas Budaya
Perempuan adat Jawa sering kali menjadi penjaga tradisi dan budaya lokal. Misoginisme yang membatasi peran mereka di ruang publik justru memperkuat peran mereka dalam menjaga dan melestarikan budaya tradisional di ruang privat. Misalnya, dalam tradisi Rewang, perempuan memainkan peran penting dalam gotong royong dan solidaritas komunitas. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada batasan, perempuan adat tetap memiliki peran yang signifikan dalam menjaga identitas budaya.
Pemberdayaan Melalui Pendidikan dan Kesadaran
Tantangan misoginisme mendorong perempuan adat Jawa untuk lebih sadar akan hak-hak mereka dan pentingnya pendidikan. Ini tercermin dalam upaya peningkatan pendidikan dan kesadaran gender di kalangan perempuan adat. Selain itu, perempuan adat sering kali menjadi pendidik utama dalam keluarga, mengajarkan nilai-nilai budaya,tradisi dan moral kepada anak-anak mereka, yang membantu mempertahankan identitas budaya dan nilai-nilai tradisional.
Kepemimpinan dalam Komunitas
Meskipun menghadapi diskriminasi, beberapa perempuan adat Jawa berhasil menjadi pemimpin dalam komunitas mereka, menunjukkan bahwa esensi dari perempuan itu sendiri memiliki kapasitas yang cukup sebagai roda penggerak untuk memimpin dan membuat keputusan yang krusial. Peran mereka dalam berbagai ritual dan upacara adat juga memberikan mereka otoritas dalam konteks budaya. Â Perempuan dalam komunitas Bonokeling berperan sebagai Nyai Wadon Kunci dan Nyai Wadon Bedogol, yang membantu tugas-tugas Kyai Kunci dan Kyai Bedogol. Mereka juga terlibat dalam berbagai tugas ritual, seperti mempersiapkan sesajen dan mengatur jalannya upacara. Peran ini menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya berperan dalam aspek domestik, tetapi juga dalam aspek spiritual dan sosial budaya dan pada Ritual Perlon Unggahan sendiri memiliki nilai sakral yang tinggi dan menjadi jalan spiritual bagi komunitas Bonokeling. Keterlibatan perempuan dalam ritual ini mencerminkan kesadaran akan kesetaraan gender dan pentingnya peran perempuan dalam menjaga dan melestarikan tradisi budaya. Ini membuktikan bahwa perempuan adat memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin yang efektif dalam masyarakat mereka.