Chandraningrum Three Angelia
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran No. 10-11, Ketawanggede, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65145
ABSTRAK
Penyandang disabilitas menghadapi berbagai hambatan dalam mengakses ruang publik, meskipun telah ada regulasi yang mendukung inklusivitas. Hambatan ini sering kali tidak terlihat secara langsung, namun mencerminkan diskriminasi terselubung yang menghalangi partisipasi sosial mereka. Artikel ini menganalisis hambatan aksesibilitas yang meliputi aspek fisik, sosial, dan struktural, serta membahas solusi potensial seperti peningkatan infrastruktur, edukasi masyarakat, dan pengawasan implementasi kebijakan. Dengan pendekatan yang komprehensif, diharapkan ruang publik dapat menjadi lebih inklusif, memungkinkan penyandang disabilitas untuk berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan sosial.
PENDAHULUAN
Penyandang disabilitas seringkali menghadapi hambatan yang signifikan dalam mengakses ruang publik, meskipun ada peraturan dan kebijakan yang bertujuan untuk mendukung inklusivitas. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, misalnya, telah menetapkan kewajiban pemerintah dan masyarakat untuk menyediakan aksesibilitas yang layak bagi penyandang disabilitas. Namun, pada kenyataannya, implementasi peraturan ini masih jauh dari optimal. Diskriminasi yang dihadapi penyandang disabilitas tidak selalu bersifat eksplisit, melainkan sering terselubung dalam bentuk infrastruktur yang tidak ramah disabilitas, sikap masyarakat yang diskriminatif, serta kebijakan yang kurang efektif. Hambatan ini dapat berupa fisik, seperti ketiadaan fasilitas yang memadai; sosial, dalam bentuk stereotip negatif; dan struktural, yang mencakup kurangnya pengawasan terhadap implementasi kebijakan. Hambatan-hambatan tersebut membatasi partisipasi penyandang disabilitas dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.
Hambatan aksesibilitas di ruang publik dapat berdampak luas pada kehidupan penyandang disabilitas, mulai dari terbatasnya mobilitas hingga kesulitan dalam mengakses layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Kondisi ini menciptakan lingkaran kemiskinan dan marginalisasi yang sulit diputus. Dalam beberapa studi, ditemukan bahwa penyandang disabilitas lebih mungkin mengalami pengangguran dan kemiskinan dibandingkan dengan populasi umum (Hartono, 2020; Yulianto, 2022).
Kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya inklusivitas memperparah situasi ini. Misalnya, banyak fasilitas umum yang dibangun tanpa mempertimbangkan kebutuhan penyandang disabilitas, seperti trotoar tanpa ramp, jalur untuk kursi roda yang terhalang parkir liar, atau transportasi umum yang tidak dilengkapi fasilitas pendukung. Hambatan ini mencerminkan diskriminasi terselubung yang belum sepenuhnya diatasi, meskipun inklusivitas telah menjadi agenda penting di tingkat nasional maupun internasional.
Dalam artikel ini, fenomena diskriminasi terselubung terhadap penyandang disabilitas di ruang publik akan dianalisis lebih lanjut. Fokus pembahasan mencakup hambatan fisik, sosial, dan struktural yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, serta solusi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan aksesibilitas dan inklusivitas di ruang publik. Dengan memahami tantangan yang ada, diharapkan berbagai pihak dapat bekerja sama untuk menciptakan ruang publik yang lebih inklusif dan ramah disabilitas.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif untuk menggali secara mendalam hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam mengakses ruang publik. Tiga metode utama digunakan dalam pengumpulan data, yaitu tinjauan literatur, observasi lapangan, dan wawancara semi-terstruktur. Tinjauan literatur dilakukan dengan menganalisis artikel ilmiah, laporan pemerintah, dan dokumen hukum yang relevan. Fokus utama adalah pada kebijakan aksesibilitas, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, dan hasil penelitian sebelumnya yang membahas isu terkait. Observasi dilakukan pada fasilitas umum di wilayah perkotaan, seperti trotoar, stasiun transportasi, dan gedung layanan publik. Observasi ini bertujuan untuk mengevaluasi kondisi infrastruktur, seperti keberadaan ramp, lift, dan jalur khusus. Temuan ini dicatat secara rinci untuk membandingkan antara regulasi yang ada dan realitas di lapangan. Wawancara semi-terstruktur dilakukan dengan tiga kelompok responden yaitu penyandang disabilitas, pengelola fasilitas publik, dan organisasi yang fokus pada isu disabilitas. Penyandang disabilitas memberikan perspektif langsung tentang hambatan yang mereka alami, sementara pengelola fasilitas dan organisasi memberikan wawasan tentang upaya yang telah dilakukan serta tantangan yang ada.
Data yang terkumpul dianalisis secara tematik dengan mengelompokkan hambatan ke dalam tiga kategori utama: fisik, sosial, dan struktural. Analisis ini digunakan untuk memahami pola-pola hambatan yang muncul dan mengevaluasi efektivitas kebijakan yang ada. Hasil dari ketiga metode ini dikombinasikan untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang tantangan aksesibilitas di ruang publik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hambatan aksesibilitas yang dihadapi penyandang disabilitas dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu fisik, sosial, dan struktural. Hambatan fisik mencakup kurangnya infrastruktur yang ramah disabilitas. Observasi menunjukkan bahwa trotoar di beberapa kota besar tidak memiliki ramp yang sesuai standar, sementara lift di gedung layanan publik sering kali tidak berfungsi. Kondisi ini membuat mobilitas penyandang disabilitas sangat terbatas. Studi sebelumnya juga mendukung temuan ini, menunjukkan bahwa 70% fasilitas publik di Indonesia tidak memenuhi standar aksesibilitas (Kurniawan, 2021). Hambatan sosial terutama berasal dari stereotip negatif yang masih kuat di masyarakat. Wawancara dengan penyandang disabilitas mengungkapkan bahwa mereka sering merasa diabaikan atau direndahkan dalam interaksi sosial. Stigma ini menciptakan tekanan psikologis yang menghalangi mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan publik (Hartono, 2020). Hambatan struktural mencakup lemahnya implementasi kebijakan dan pengawasan. Meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 telah mengatur kewajiban pemerintah untuk menyediakan fasilitas yang ramah disabilitas, banyak daerah yang belum mengalokasikan anggaran memadai untuk tujuan ini. Selain itu, kurangnya koordinasi antar-lembaga juga menjadi penghambat (Rohmad, 2023).
Solusi yang diperlukan mencakup perbaikan infrastruktur, edukasi masyarakat, pengawasan kebijakan, dan pelibatan aktif penyandang disabilitas. Pemerintah perlu memastikan bahwa fasilitas publik, seperti trotoar, transportasi umum, dan gedung layanan, memenuhi standar aksesibilitas. Kampanye kesadaran tentang hak penyandang disabilitas juga diperlukan untuk mengurangi stereotip negatif dan meningkatkan empati masyarakat (Yulianto, 2022). Selain itu, pengawasan yang lebih ketat terhadap implementasi kebijakan aksesibilitas diperlukan. Pemerintah daerah juga harus diminta untuk melaporkan progres secara berkala (Rohmad, 2023). Pelibatan penyandang disabilitas dalam proses perencanaan dan evaluasi kebijakan akan memastikan bahwa kebutuhan mereka terakomodasi dengan baik.
PENUTUP
Hambatan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di ruang publik merupakan masalah yang kompleks dan memerlukan pendekatan multidimensi untuk mengatasinya. Hasil penelitian ini menegaskan pentingnya perbaikan infrastruktur, perubahan pola pikir masyarakat, dan pengawasan kebijakan yang lebih efektif. Dengan langkah-langkah ini, ruang publik dapat menjadi lebih inklusif, memungkinkan penyandang disabilitas untuk berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Hartono, T. (2020). Stigma terhadap Penyandang Disabilitas di Indonesia: Tantangan dalam Partisipasi Sosial. Jakarta: Penerbit Nusantara.
Kurniawan, A. (2021). "Analisis Implementasi Kebijakan Aksesibilitas pada Fasilitas Umum di Kota Besar". Jurnal Kebijakan Publik, 15(2), pp. 45-60.
Rohmad, F. (2023). "Diskriminasi Terselubung dan Hambatan Aksesibilitas di Perkotaan". Jurnal Inklusi Sosial, 8(1), pp. 12-20.
Yulianto, S. (2022). "Evaluasi Infrastruktur Publik Ramah Disabilitas di Indonesia". Jurnal Infrastruktur dan Lingkungan, 14(3), pp. 67-80.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H