Mohon tunggu...
Chandra MP Widnyana
Chandra MP Widnyana Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis Warga

Kadang terlelap dalam pikiran, lantas keluar menjadi tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Media Sosial, Menyenangkan namun Menghanyutkan

24 November 2023   14:48 Diperbarui: 1 Desember 2023   10:47 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halo salam sehat semua, pada edisi ini saya mencoba untuk mengulas isu yang menurut saya penting untuk masyarakat luas ketahui. Isu ini mungkin sudah pernah dibahas sebelumnya oleh para pakar atau oleh para wartawan. Namun, dalam tulisan ini saya akan memberikan perspektif yang berbeda terkait pandangan masyarakat akan media sosial khususnya platform media sosial. Seperti Instagram, Facebook, x, Tiktok, dan lain-lain. 

Saya akan membawa tulisan ini melalui satu pandangan, bahwa saya percaya media sosial ini bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi bisa membantu dan menyenangkan manusia, di sisi lain juga bisa menghanyutkan dan melukai manusia, tetaplah berhati-hati. Maka dari itu, mari membahas hal tersebut dengan seksama.  

Media sosial merupakan sebuah platform modern yang memberikan kemewahan bagi manusia. Kemewahan ini dapat berupa, mudahnya berkomunikasi bagi seluruh manusia tanpa harus terhalang oleh jarak, lalu disediakan juga informasi yang sangat masif dengan akses yang mudah. Bisa dikatakan bahwa manusia bebas untuk memilih informasi apa yang ingin diterima sesuai dengan keinginannya. 

Adanya persebaran informasi yang sangat masif, hal tersebut menimbulkan kekuatan tersendiri yang mampu menciptakan interaksi pengguna satu sama lain. Adanya interaksi pengguna satu sama lain dapat membentuk sebuah ikatan, di mana hal tersebut dibentuk oleh jaringan informasi yang diberikan oleh media sosial.

Saya beranggapan bahwa komunikasi dan informasi merupakan sebuah satu kesatuan yang utuh. Manusia biasanya berkomunikasi untuk menyampaikan sebuah informasi ataupun menanyakan sebuah informasi. 

Begitu juga sebaliknya, dengan adanya informasi membuat manusia berkomunikasi satu sama lain. Masifnya infomasi yang diberikan oleh media sosial akan membentuk sebuah rantai yang mengikat sangat kuat. Mengapa demikian? Karena rantai di sini saya analogikan sebagai ikatan antara manusia dengan media sosial.

Ketika informasi tersebarkan secara masif maka rantai ini akan semakin terikat kuat, lantas ketika rantai terikat kuat maka manusia tidak lagi menyadari mana informasi yang bersifat penting dan mana informasi yang bersifat hiburan saja. 

Disamping itu juga, dikarenakan media sosial memberikan informasi secara masif. Hal tersebut juga dapat mengakibatkan sebuah informasi kehilangan nilainya. Ketika informasi sudah tidak bernilai maka informasi tersebut sudah bisa dikatakan expired.

Keadaan tersebut bisa terjadi akibat dari menurunnya daya sadar manusia yang disebabkan oleh terpaparnya informasi secara berlebihan. Alih-alih membutuhkan informasi untuk selalu sadar, ternyata hal tersebut dapat mengurung manusia kedalam situasi yang lebih rumit. 

Situasi yang lebih rumit di sini dapat diartikan dengan manusia mulai kesusahan untuk menguasai dirinya sendiri karena merasa nyaman untuk selalu menikmati informasi yang mampu menciptakan interaksi antar sesama pengguna media sosial.

Dalam hal ini, akan timbul rasa di mana manusia takut akan ketinggalan informasi atau bisa disebut juga dengan takut untuk tidak bisa menjadi "eksis" karena tidak mengikuti sebuah informasi, meski informasi itu bukanlah hal yang penting untuk segera diketahui. Hal tersebut akan membentuk sebuah keadaan yang dapat mengakibatkan manusia kurang mampu dalam mengendalikan diri sehingga dihanyutkan oleh informasi yang ia cari. 

Di samping itu, lingkungan yang terbentuk di media sosial akan mengarahkan manusia untuk terus mencari informasi dengan imbalan sebuah kata, yaitu "eksistensi". 

Eksistensi yang tercipta atas keriuhan medIa sosial tidak tercipta begitu saja. Meski diikat oleh kebutuhan informasi yang sama dan munculnya sebuah interaksi yang intens kemudian menimbulkan sebuah ikatan.

Ikatan di sini memunculkan sebuah komunitas. Komunitas di sini diisi oleh manusia yang menggunakan media sosial sebagai dunia keduanya. Lantas, hal tersebut membentuk sebuah konsep baru yang dinamakan sebagai "netizenship". 

Saya beranggapan bahwa konsep netizen ini merupakan saudara muda dari dua tipe ikatan sosial yang diperkenalkan oleh sosiolog Jerman, bernama Ferdinand Tonnies. Beliau membagi ikatan sosial menjadi dua, antara lain: Gemeinschaft atau paguyuban dan Gesellschaft atau Patembayan. Mari mengulas hal tersebut dengan lebih dalam.

Saudara Muda dari Paguyuban dan Patembayan Bernama Netizen

Jika selama ini, pengetahuan umum terkait dengan pembagian dua tipe ikatan sosial masyarakat yang bernama paguyuban dan patembayan sudah ramai diketahui oleh hampir seluruh manusia. Karena pengetahuan ini diajarkan di seluruh instansi pendidikan secara terus menerus. 

Namun, bagaimana dengan konsep ikatan masyarakat yang baru bernama netizen ini? 

Saya percaya bahwa konsep netizen ini merupakan sebuah penggabungan dari beberapa poin yang terdapat dalam konsep paguyuban dan patembayan. Mengapa demikian?

Mari kita uraikan secara singkat apa itu paguyuban dan patembayan terlebih dahulu, sebelum membahas terkait dengan konsep netizen ini. Paguyuban merupakan bentuk kehidupan masyarakat yang bersifat mengikat. 

Munculnya sifat mengikat di sini dikarenakan adanya hubungan batin yang murni, alami dan kekal. Paguyuban lahir akibat adanya rasa solidaritas dan identitas yang sama berdasarkan atas kesamaan dalam keinginan dan tindakan. 

Lalu, untuk patembayan itu sendiri muncul akibat adanya bentuk kehidupan masyarakat yang bersifat sementara dan terbentuk karena memiliki pemikiran yang sama. Pemikiran yang sama di sini dapat diartikan sebagai kehendak rasional dalam memenuhi kepentingan pribadi.

Kepentingan pribadi yang rasional biasanya dimiliki oleh masyarakat kosmopolitan karena bergerak dalam tindakan penghitungan, seperti contohnya organisasi industri perkotaan. Karena di dalam hal ini ikatan tradisional keluarga, kekerabatan dan agama tidak berlaku. Beda dengan paguyuban yang masih memegang teguh ikatan tradisional keluarga, kekerabatan dan agama. Contohnya paguyuban ialah organisasi agama atau organisasi yang ada di desa.

Lantas, bagaimana dengan konsep netizen itu sendiri? Konsep netizen ini merupakan pencampuran dari kata internet dan citizen, dapat diartikan sebagai masyarakat yang hidup dan beraktivitas dalam internet. 

Sifat netizen sendiri secara umum memiliki sifat atau rasa solidaritas atas identitas yang sama. Hal itu terbentuk akibat adanya pemikiran dan kehendak rasional dalam keberpihakan atas sebuah informasi. Contohnya ialah seperti isu kemanusiaan yang sedang terjadi akibat dari perang yang terjadi antara israel dan palestina. 

Hal ini dapat kita lihat bagaimana netizen bergerak secara solid berbondong-bondong menyerang secara verbal israel dengan mengutarakan boikot produk israel, save palestina, bebaskan palestina, atau mengupload gambar potongan semangka di media sosial sebagai bentuk dukungan netizen kepada palestina. Ada juga yang bersifat agak keras sepeti mengehack akun militer atau akun personal yang mendukung israel dan masih banyak kegiatan solidaritas hal lainnya.  

Melihat hal tersebut, kita bisa menilai bahwa ikatan solidaritas netizen bisa lebih kuat dari ikatan paguyuban itu sendiri. Namun, ikatan tersebut tidak bersifat kekal, mengapa demikian? Dikarenakan ketika isu seperti perang palestina dan israel berhasil terselesaikan, maka ikatan solidaritas netizen itu juga ikut terselesaikan. Tetapi, ikatan solidaritas itu akan muncul lagi ketika ada isu atau informasi baru di media sosial. Maka dari itu, saya beranggapan bahwa konsep netizen ini merupakan penggabungan beberapa poin yang ada di dalam konsep paguyuban dan patembayan.

Netizen di sini tidak selalu bisa kita anggap dalam konotasi baik dan solid, karena disisi lain banyak juga terjadi kasus bahwa netizen juga berperilaku jahat dengan membully ataupun memberikan informasi palsu ke media sosial. 

Perilaku membully ini dalam dunia media sosial biasa disebut sebagai cyberbullying. Hal tersebut biasanya terjadi dikarenakan adanya perbedaan pendapat antar netizen satu dengan yang lainnya. Maka dari itu berhati-hatilah dalam bermedia sosial.

Hati-Hati! Segala Hal yang Ada di Media Sosial Bagaikan Pedang Bermata Dua

(Dok. Grid.ID)
(Dok. Grid.ID)

Sebagai pengguna media sosial seharusnya sadar akan dampak yang akan timbul dari media sosial itu sendiri. Dikarenakan tidak bisa kita beranggapan bahwa media sosial itu pasti baik. Naif rasanya jika kita beranggapan seperti itu. Harus diingat bahwa media sosial itu adalah sebuah alat yang bisa digunakan untuk menjalankan kepentingan dari masing-masing individu manusia. Karena media sosial adalah alat, maka kemungkinan besar bisa menyerang siapapun tanpa tebang pilih.

Hal inilah yang membuat media sosial bagaikan pedang bermata dua. Seperti hal yang sudah dijelaskan diatas bahwa ketika manusia kelebihan informasi, mereka akan kehilangan daya sadar dalam membedakan mana informasi yang penting dan mana yang bersifat hiburan saja. 

Ketika manusia kehilangan daya sadarnya maka tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan dimanfaatkan oleh si pemilik kepentingan untuk mempropagandakan kepentingannya. Hal tersebut dapat dilihat dengan sangat masifnya informasi palsu atau hoax yang tersebar di media sosial.

Ketika informasi hoax ini tersebar di media sosial, tidak sedikit beberapa netizen percaya akan informasi tersebut dan tidak sedikit juga netizen yang meragukan informasi tersebut. Ketika hal tersebut terjadi, maka akan timbul sebuah adu pendapat di media sosial. Biasanya ketika terjadi adu pendapat maka akan diakhiri dengan beberapa netizen yang melakukan cyberbullying di dalam media sosial. 

Hal tersebut sangat sering terjadi di media sosial, tanpa memandang gender dan umur. Mengapa demikian? karena di media sosial tidak mengenal kata etika di dalamnya dan proses penyampaian pendapat dilakukan dengan jarak jauh. Jadi, kebanyakan netizen akan berpendapat semauanya dan sebebas-bebasnya tanpa memikirkan perasaan orang lain. Hal tersebutlah yang sering kali memicu pertikaian di media sosial.

Namun, tidak sedikit juga netizen mengambil peran sebagai hakim atau dalam bahasa media sosial di sebut sebagai social justice warrior. SJW ini biasanya menghakimi pendapat-pendapat yang berbeda dengan alasan meluruskan sesuatu yang salah. Biasanya mereka teguh akan pendapatnya dan tidak mau merasa disalahkan. Karena hal tersebut, banyak muncul pro dan kontra terkait dengan SJW ini. Ada yang mengakatan mereka hanya mencari eksistensi, ada juga yang mengatakan mereka ini adalah hakim media sosial.

Hal tersebut tidak dapat dipungkiri jika berbicara tentang media sosial. Mengapa demikian? ya karena itu tadi, bahwa di media sosial tidak mengenal adanya perilaku etis dan mereka bisa dengan bebasnya melakukan hal yang mereka mau tanpa memikirkan perasaan orang lain. Bisa dikatakan media sosial sebagai media yang bebas. Karena kebebasan itulah yang membuat media sosial bagaikan pisau bermata dua yang bisa saja membantu kehidupan manusia ataupun menghancurkan kehidupan manusia.

Itulah sekelias pembahasan terkait dengan media sosial ini. Saya tetap berpegang teguh bahwa media sosial ini menyenangkan namun menghanyutkan. 

Tapi perlu digaris bawahi, kita sebagai manusia harus tetap sadar dan selektif akan sebuah informasi agar tidak mudah dipropagandakan. Di samping itu juga, harus adanya sifat bijak dalam bermedia sosial. Jangan bersembunyi di balik tembok kebebasan yang diberikan oleh media sosial. 

Bebas bukan berarti mengganggu orang lain, kita juga harus sadar akan hak rasa aman dari orang lain. Tetaplah bijak bersosial media.

Salam damai :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun