IMPLIKASI HUKUM TERHADAP PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI INDONESIA DALAM PERSFEKTIF HUKUM POSITIF
- Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Positif di Indonesia
Sebelum terlalu jauh membahas tentang nikah beda agama serta dampak yang timbul khususnya bagi anak keturunan terlebih dalam hal pendidikan agamanya, maka sedikit akan dijelaskan terlebih dahulu tentang pengertian nikah itu sendiri.
Nikah berasal dari bahasa arab "nakaha-nikahu-nakahan" yang artinya secara bahasa adalah al jam'u dan al dhammu yang atau kumpul atau mengumpulkan. Sedangkan secara istilah menurut ilmu fiqih dari para fuqaha mendefinisikan nikah adalah suatu akad perjanjian yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual (persetubuhan) dengan memakai kata-kata (lafaz) nikah atau tazwij. Menurut Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (Amri, 2020), pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhah untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.Â
Sedangkan nikah menurut Syaikh Wahbah al Zuhaili dalam kitabnya Fiqhu al Islami wa Adillatuhu adalah akad yang menghalalkan seorang pria untuk memiliki atau berhubungan dengan wanita; baik berhubungan badan, sekedar mencium, bercanda gurau dan sebagainya selama wanita tersebut bukan sebagai mahramnya secara nasab, persusuan atau kerabat dekat yang haram untuk dinikahi (Zuhaili, 1985).
Secara bahasa dengan melihat hadits dengan konteksnya, maka hukum nikah adalah sunnah. Namun jika melihat secara istitilah dangan penjelasan dari para ulama fikih, maka hukum nikah adalah wajib. Wajib maksudnya disini adalah secara umum dalam keadaan normal. Namun dengan melihat beberapa keadaan khususnya dari seorang laki-laki, maka nikah menurut para fuqaha (ulama ahli fikih) terbagi hukumnya dalam beberapa bagian:
 1) Wajib. Menurut para ulama fikih nikah menjadi wajib ketika dikhawatirkan akan terjerumus dalam perbuatan zina apabila tidak segera menikah, sedangkan ia mampu untuk menyediakan mahar dan memberi nafkah lahir dan batin kepada pasangannya (istri), mengetahui hukum syariat, dan tidak mampu lagi menahan hawa nafsunya walaupun dengan berpuasa atau yang lainnya. Karena sesuatu yang menyempurnakan kewajiban maka hukumnya wajib (Kaharudin, 2020);Â
2) Haram. Nikah menjadi sesuatu yang diharamkan apabila seseorang merasa yakin bahwa apabila menikah, malah akan mendzalimi pasangannya (istri) atau membahayakannya. Karena mungkin lemah; baik dari segi syahwat atau memberi nafkan bagi pasangannya, atau tidak mampu berbuat adil apabila menikah lagi dengan wanita lain (pologami). Karena sesuatu yang berpotensi mendatangkan keharaman maka hukumnya haram;Â
3) Makruh. Nikah berubah hukumnya menjadi makruh (lawan dari sunnah) apabila seseorang tidak yakin mampu memberi nafkah kepada pasangannya (istri) yang berujung pada membahayakan atau menyeretnya dalam keburukan, termasuk diantaranya adalah tidak mampu atau tidak yakin mampu dalam membina keluarga terlebih istrinya;Â
4) Sunnah atau Dianjurkan. Nikah menjadi sebuah sunnah atau sesuatu yang dianjurkan apabila seseorang tersebut dikategorikan mampu berbuat adil, namun apabila tidak menikah maka tidak juga ditakutkan terjerumus dalam perbuatan zina serta kalau menikah tidak ditakutkan akan menzhalimi pasangannya (istri). Namun menurut Imam Syafi'i, keadaan seperti ini adalah keadaan yang hukum nikah menajdi mubah bukan dianjurkan (sunnah).
- Perkawinan Beda Agama Menurut UU Perkawinan
Menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuahanan Yang Maha Esa. Kata "ikatan lahir batin" dalam pengertian tersebut dimaksudkan bahwa perkawinan itu tidak cukup hanya dengan adanya ikatan lahir saja, atau hanya dengan ikatan batin saja, namun harus keduanya ada dalam perkawinan. Ikatan lahir dapat dimaknai bahwa perkawinan adalah ikatan yang dapat dilihat, artinya: adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama, sebagai suami isteri. Ikatan ini dapat juga disebut sebagai "ikatan formal" yakni hubungan formal yang mengikat dirinya, orang lain dan masyarakat . Sedangkan "Ikatan batin" dapat dimaknai sebagai hubungan yang tidak formil, artinya suatu ikatan yang tidak dapat dilihat, namun harus ada karena dengan tidak adanya ikatan batin dalam perkawinan maka ikatan lahir akan rapuh (Saleh, 1992: 14-15).
Pengertian perkawinan di atas mengadung beberapa aspek. pertama: aspek yuridis, karena di dalamnya terdapat ikatan lahir atau formal yang melahirkan hubungan hukum antara suami isteri; kedua: aspek sosial, dimana perkawinan merupakan hubungan yang mengikat dirinya, orang lain dan masyarakat; ketiga: aspek religius, yaitu dengan adanya tujuan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar dalam pembentukan keluarga yang kekal dan bahagia.