Penulis : Chandra Dimuka Suharno
Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Reinterpretasi Konsep Kepemimpinan Dalam Etika Politik Islam : Membangun Model Kepemimpinan Yang Berkeadilan Dan Berwawasan Kemanusiaan.
Kepemimpinan Dalam Etika Politik Islam
Kepemimpinan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Sandang P. Siagian menjelaskan kepemimpinan sebagai kemampuan dan keterampilan seseorang yang menduduki jabatan sebagai pemimpin satuan kerja untuk berfikir atau bertindak sedemikian rupa sehingga melalui prilaku yang positif ia memberikan sumbangsih dalam pencapaian organisasi.
Pemimpin adalah orang yang mampu menggerakkan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak, mengarahkan, menasehati, menyuruh, membimbing, memerintah, melarang dan bahkan menghukum serta membina dengan maksud agar manusia sebagai media manajemen mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan administrasi secara efektif dan efisienyang diridhai oleh Allah. Hal tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan sedikitnya mencakup tiga hal yang paling berhubungan, yaitu adanya pemimpin dan karakteristiknya, adanya pengikut, serta adanya situasi kelompok tempat pemimpin dan pengikut berinteraksi.
Di dalam lingkungan organisasi, kepemimpinan terjadi melalui dua bentuk, yaitu kepemimpinan formal (formal leadership) dan kepemimpinan informal (informal leadership). Kepemimpinan formal terjadi apabila di lingkungan organisasi jabatan otoritas formal dalam organisasi tersebut diisi oleh orang-orang yang ditunjuk atau dipilih melalui proses seleksi. Sedangkan kepemimpinan informal terjadi dimana kedudukan pemimpin dalam suatu organisasi diisi oleh orang-orang yang muncul dan berpengaruh terhadap orang lain karena kecakapan khusus atau berbagai sumber yang dimilikinya dirasakan mampu memecahkan persoalan organisasi serta memenuhi kebutuhan dari anggota organisasi yang bersangkutan.
Pemikiran Etika Politik Dalam Islam
Dunia ilmu pengetahuan, pada masa pemerintahan Abbasiyah, mengalami zaman keemasannya, khususnya dalam dua ratus tahun pertama dari lima ratus tahun kekuasaan dinasti ini. Khalifah ke tujuh, Makmun, sangat besar perhatiannya kepada pengembangan ilmu pengetahuan, yang yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama dan social maupun ilmu pasti dan ilmu alam. Dia juga dikenal pengagum ilmu-ilmu Yunani, termasuk filsafat. Untuk melengkapi dan mendukung kebutuhan keilmuan, ia mendirikan perpustakaan Bait al-Hikmah, dengan buku-buku asing juga buku-buku Islam. Dari sinilah, perkenalan para ilmuwan Islam dengan alam pikiran Yunani semakin meluas dan mendalam, yang pada saatnya nanti akan menimbulkan.
hasrat sarjana-sarjana Islam untuk mempelajari msalah-msalah kenegaraan secara rasional. Maka lahirlah pemikir-pemikir muslim yang mengemukakan konsepsi politiknya melalui karya-karyanya. Dalam pembahasan pemikiran etika politik ini, penulis batasi hanya pada pemikiran politik pada masa klasik dan pertengahan awal.
Pemikiran al-Mawardi