Mohon tunggu...
Chandra Budiarso
Chandra Budiarso Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Iseng

Buah Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fotocopy KTP adalah Koentji

26 Juni 2021   10:00 Diperbarui: 26 Juni 2021   10:08 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi KTP (Tribunnews)

Di negeri yang para pejabatnya sibuk berbicara soal iNdUsTrI fOuR pOiNt O ini, fotocopy KTP masih menjadi solusi. Gagasan para tikus berdasi (re: DewanPengkhianatRakyat) soal e-KTP ternyata tak banyak berguna. Lembaran-lembaran kertas masih jadi level tertinggi validitas sebuah dokumen.

Ini terjadi lagi dengan proses pendaftaran vaksinasi Covid-19. Awalnya sih sudah keren, daftar via website lalu memasukan nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor Whatsapp. Konon, cukup tunggu undangan dari WA karena nama sudah terdaftar. Benar, dengan memasukan NIK saja sudah cukup bagi data-data saya dapat ditampilkan di layar ponsel, mulai dari nama lengkap, tempat tanggal lahir, hingga alamat. Canggih betul e-KTP ini.

Ujuk-ujuk pagi ini saya datang ke balai warga tempat vaksinasi Covid dilakukan. Sejak pukul 8 pagi warga sudah mengantri (dengan berjaga jarak dan memakai masker, tentunya). Di sebuah titik terdapat beberapa petugas yang ternyata sibuk mengumpulkan lembaran-lembaran kertas hingga bertumpuk tak karuan. Ternyata, itu adalah persyaratan yang perlu dibawa: Fotokopi KTP dan Kartu Keluarga. Jika saya bukan hidup di negeri ini, saya tidak yakin bahwa ternyata pejabatnya sering beradu gagasan mengenai industri 4.0. Saya serasa hidup di negeri antah berantah dimana petugas harus melakukan validasi dari lembaran-lembaran kertas. Website tempat saya mendaftar tak ada gunanya.

Lucu sekali, saya pikir. Negeri ini benar-benar negeri pengagum seremoni tanpa esensi dari sangat banyak hal.

Lupakan sejenak soal e-KTP ini.

Kemarin saya baru saja melihat postingan artikel dari IDN Times berjudul: Potret Haru Penghormatan Nakes Pertama yang Wafat di RS Wisma Atlit. Anda mungkin bertanya "apa yang salah?" sampai anda melihat sendiri bagaimana potret penghotmatan itu dilakukan. Biar saya jelaskan: Mereka menitikan air mata, membawa lilin, dan berkerumun (Sekali lagi, b e r k e r u m u n) menyambut jenazah yang dibawa oleh Ambulance. Apa namanya itu kalau bukan kegoblokan? Bukankah esensi penghormatan kepada Nakes adalah dengan menjaga protokol kesehatan dan bukan dengan seremonial semacam itu yang malah mengabaikan esensi bagaimana seharusnya Nakes dihormati?

Jangan lupa, Indonesia juga pernah mengadakan upacara penyambutan kedatangan vaksin dengan berkerumun, dan disela-sela upacara itu disampaikan harapan semacam: "Semoga kedatangan vaksin ini dapat membuat kita berhasil melawan Covid". Apa namanya kalau bukan seremonial?

Don't get me wrong, nggak ada yang salah dengan seremoni, selama tidak menghilangkan esensi. Tapi penyakit akut orang Indonesia adalah senang sekali ber-seremoni tanpa peduli esensinya. Kisah-kisah semacam penghormatan kepada nakes dan upacara penyambutan vaksin adalah salah dua dari sekian banyak bukti bahwa kita hidup di negeri seremoni.

Jadi, ketika debat para pejabat publik disibukan dengan gagasan industri 4.0, benar rasanya bahwa gagasan semacam itu adalah seremoni nihil esensi. Buktinya adalah ketika: Fotocopy KTP masih menjadi Koentji.

Saya sedikit menyarankan para pejabat publik, tak perlu bicara ngalor ngidul ngomongin industri 4.0. Bereskan saja dulu hal formalitas seperti fotocopy KTP dan sebagainya. Kalau memang tidak bisa, tidak usah lah berbicara terlalu jauh soal industri 4.0. Masih tau malu, kan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun