Jika kalian adalah penggemar serial kartun Chalkzone yang tayang di TV pukul 5 pagi sebelum Spongebob di mulai, maka kalian pasti tahu soal papan tulis ajaib yang saya maksud.
Dalam keseharian, manusia membuatnya nyata dalam ilusi bernama Pensiun Dini.
Pensiun dini adalah hal yang sejak dulu menjadi tujuan hidup saya (bahkan mungkin semua orang). Selama duduk di bangku sekolah, saya selalu membayangkan betapa membahagiakannya memiliki uang yang banyak sehingga tidak perlu lagi bekerja seumur hidup. Foto-foto di Menara Eiffel, naik ke puncak tertinggi Burj Khalifa, hingga nonton langsung pertandingan Manchester United di Old Trafford. Betapa indahnya. Masih bekerja di usia 40 tahun keatas (apalagi dengan gaji seadanya) bisa dibilang sebuah kegagalan yang perlu dihindari.
Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Itulah motto yang saya pegang. Saya berfikir untuk menghabiskan 39 tahun pertama hidup saya untuk bersusah payah, sehingga saya tidak harus merasakannya lagi mulai dari usia 40 hingga akhir hayat.
Seiring perjalanan waktu, saya mulai berfikir bahwa alih-alih memotivasi, ide tentang pensiun dini malah memejarakan orang dalam ilusi yang mereka ciptakan sendiri. Mereka yang mengejar pensiun dini cenderung membagi hidup dalam dua fase: hidup senang dan hidup susah, secara keliru. Ide tersebut membuat kita berfikir bahwa usia 0 sampai 39 Â adalah fase hidup "susah" dan usia 40 sampai ajal menjemput adalah fase hidup "senang", seolah-olah ada papan tulis ajaib seperti yang ada di dalam kartun Chalkzone yang memisahkan dua dunia berbeda. Padahal, papan tulis ajaib itu tidak pernah ada.
Bayangkan menjadi orang dewasa di usia 40 tahun dan merasa gagal hanya karena tidak bisa melewati papan tulis ajaib itu yang membawanya dari fase hidup "susah" ke fase hidup "senang". Betapa malang sisa hidupnya, merasa diri gagal padahal tidak sama sekali.
Bagi seorang remaja (Katakanlah SMA) mengejar pensiun dini mungkin ide yang bagus, mungkin juga tidak. Bagi kebanyakan orang, barangkali begini gambarannya:
Berhubung di usia 40 tahun saya harus bebas secara finansial, maka berarti saya harus membangun karir begitu lulus kuliah, yang berarti saya juga harus sudah menemukan passion saya di usia 17 tahun (agar tidak salah jurusan). Setelah memilih jurusan kuliah, maka saya tidak bisa kembali. Saya harus disana hingga usia 40 dan menjadi kaya.
Setelah selesai kuliah dan lulus pada usia 22 tahun, maka saya harus fokus membangun karir. Tunggu! Jangan lupakan juga soal menikah di usia 27 tahun. Maka saat lulus kuliah, setidaknya saya harus sudah punya pacar dan mempersiapkan pernikahan sejak usia 25 tahun. Artinya, tiga tahun sejak saya berstatus freshgraduate.
Bagaimana dengan rumah? Berarti kalau begitu setidaknya disaat yang bersamaan dengan persiapan menikah, saya juga harus sudah mengumpulkan uang untuk membayar DP rumah. Bagaimana dengan mobil? Motor? Budget selama pacaran? Maskawin? Bagaimana jika sudah punya anak? Biaya hidupnya berapa? Biaya pendidikannya berapa? Apakah saya masih punya jatah untuk diri sendiri? Bagaimana dengan mimpi pensiun dini di usia 40 dengan istri dan dua orang anak? Berapa uang yang harus saya kumpulkan? Sekeras apa saya harus bekerja?
Oh lihat, kakak kelas yang lebih tua dua tahun diatas saya sudah bisa keliling dunia dengan bisnis MLM nya. Sepupu saya yang saya temui saat kumpul keluarga sudah bekerja di perusahaan minyak. Om saya, bahkan, sudah pensiun di usia 35 tahun dengan bisnis propertinya. Oh tidak, barusan pula saya lihat postingan di twitter bahwa idealnya seseorang punya tabungan 100 juta di usia 25 tahun. Di laman TikTok, barusan saya melihat seorang milyarder usia 20 tahunan berkata: "kalau saya bisa, kalian juga pasti bisa". Percayalah, dalam hati saya yang paling dalam saya hanya bisa menjawab dengan lesu: "saya tidak bisa"
Lihat bagaimana seorang freshgraduate dibebankan dengan begitu banyak hal yang pasti kebanyakan orang tidak akan bisa menanggungnya. Alih-alih termotivasi, kebanyakan remaja malah akan terbebani dan merasa dipenjara. Tidak terbayang betapa banyak orang yang sudah merasa diri gagal hanya karena tidak bisa mengikuti society's timeline dan membiarkan mimpinya mati. Ketika mimpinya mati, bukan tidak mungkin semua mimpi-mimpi itu dibebankan kepada anaknya, dan begitu seterusnya sampai semua ini menjadi lingkaran setan.
Ada hal menarik lain yang saya percaya. Dalam banyak hal, ketakutan seringkali menjadi kenyataan dan itu terjadi kepada orang yang takut kehabisan waktu. Mereka yang takut kehabisan waktu sehingga sebagian energinya hilang terhadap kekhawatiranya dan oleh karena itu ia malah semakin kehabisan waktu. Lihat bagaimana lingkaran setan ini bekerja. Ini seringkali terjadi dalam hal obsesi terhadap pensiun dini.
Itulah mengapa pensiun dini adalah ide yang buruk (setidaknya untuk sebagian besar orang).
Pensiun tentu perlu, namun menempatkannya dalam waktu yang cepat adalah sebuah bencana. Usia 20an memang jadi momentum untuk menata karir, tetapi begitu pula halnya dengan usia 30an bahkan 40an. Bahkan jika setelah membaca ini dan kalian masih berfikir bahwa papan tulis ajaib itu masih ada, maka percayalah bahwa papan tulis itu tidak hanya tersedia/terbuka di usia 40. Ia ada dan terbuka setiap tahun, setiap bulan, setiap minggu, setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik.
Tulisan ini bukan  untuk mengajak orang untuk berhenti bermimpi, pesimis, atau menjadi lambat. Sebaliknya, tulisan ini justru ditujukan agar orang tetap berani bermimpi, optimis, dan cepat tanpa terburu-buru. Tulisan ini juga ditujukan untuk remaja yang merasa gagal hanya (ya, ini benar-benar hanya) karena belum menemukan passionnya. Lagian, siapa kita sampai-sampai harus sudah menemukan passion di usia 17-18-19-20 tahun? Pun demikian saya berani mengatakan bahwa sampai sekarang saya belum tahu apa yang menjadi passion saya, dan kedepannya saya akan mencari passion saya tanpa (ini perlu dicatat) membebankan dan memenjara diri saya.
Saya tidak mau menulis terlalu dalam karena minimnya pengalaman hidup yang saya miliki. Bahkan saya berfikir tulisan ini hendaknya ditulis oleh orang yang sudah berusia lebih dari 40 tahun, yang barangkali sudah mengalami sendiri apa rasanya hidup di usia 40an. Namun setidaknya coretan singkat ini adalah pola pikir yang perlu saya bentuk dan akan saya perjuangkan dalam menyongsong hari-hari penuh kesulitan untuk menjadi orang dewasa.
Dibanding mengejar pensiun dini, ada baiknya fokus pada hal-hal yang bisa dikerjakan sekarang. Barangkali anda membencinya sekarang, lakukan saja sebaik mungkin sambil mencari peluang-peluang lain. Ada yang mengatakan bahwa jika anda tidak bisa mendapat pekerjaan yang anda cintai, ada baiknya anda mencintai pekerjaan yang anda dapatkan. Ingat, selalu masih ada waktu. Anda tidak semerta-merta menjadi gagal hanya karena teman anda sudah mendapatkan perkejaan impiannya sedangkan anda membenci pekerjaan anda sekarang.
Lagi pula, apakah sebenarnya sukses dan gagal itu benar-benar ada?
Hope it helps. Cheers!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI