Mohon tunggu...
Chandra Budiarso
Chandra Budiarso Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Iseng

Buah Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Anies Tarik Rem, Bagaimana IHSG?

9 September 2020   22:59 Diperbarui: 10 September 2020   19:30 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan dan Pasar Saham (Gambar: Humas DKI dan Investor Daily)

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, resmi mencabut pemberlakuan PSBB transisi dan kembali memberlakukan PSBB total seperti masa awal pandemi. 

"Dalam rapat tadi sore disimpulkan: Kita akan menarik rem darurat. Kita terpaksa kembali menerapkan pembatasan berskala besar seperti masa awal pandemi. Bukan PSBB transisi, tapi PSBB sebagai mana masa dulu. Ini rem darurat yang kita tarik," ujar Anies dalam konferensi pers digelar secara daring, Rabu (9/9).

Keputusan yang diambil oleh Gubernur tidak lah mengherankan. Pasalnya selama beberapa minggu terakhir, angka laju penyebaran covid-19 semakin tak terkendali. 

Sejak menyentuh angka 100.000 kasus pada bulan Juli lalu, kini peningkatannya telah sampai pada angka 100 persen, atau meningkat dua kali lipat dan menyentuh angka 200.000 kasus pada selasa (8/9), dan Jakarta adalah salah satu provinsi dengan angka kasus tertinggi (49.000 kasus)

Lalu, bagaimanakah pasar merespon kebijakan Pemprov DKI?

Sejak menyentuh titik terendahnya pada Bulan Maret lalu, IHSG mengalami kenaikan yang cukup signifikan, yaitu sebesar 30%. Hal ini disebabkan oleh pemberlakuan PSBB transisi dan didukung dengan berbagai sentimen positif terkait vaksin yang 'katanya' akan tersedia pada awal tahun 2021. 

Kontraksi ekonomi yang terjadi pada kuartal-II sebesar 5,32% seperti tidak berpengaruh terhadap pergerakan harga saham. Pasar terus ber-euforia meski kondisi ekonomi negara sedang berada diambang resesi.

Pemerintah berusaha sekuat tenaga untuk kembali menggairahkan ekonomi pada kuartal-III dengan harapan Indonesia terhindar dari resesi. Presiden Joko Widodo pun menegaskan berulang kali, bahwa kuartal-III adalah kunci dan momentum agar Indonesia bisa survive. 

Oleh karena itu, pemerintah mencanangkan new normal bagi masyarakat yang ingin beraktivitas. Hal ini tentu dilakukan agar ekonomi bisa kembali bergerak, tanpa mengesampingkan kesehatan. 

Sayangnya, upaya pemerintah dalam mencanangkan new normal seakan sia-sia dan tidak berhasil, karena angka penyebaran covid-19 semakin tinggi. Alhasil, Jakarta kembali memberlakukan PSBB total, yang kemungkinan akan diikuti oleh Provinsi lain di Indonesia. 

Pemberlakuan PSBB total ini tentu merupakan sentimen negatif bagi para pelaku pasar, karena ini adalah indikasi bahwa ekonomi akan kembali melambat. Apalagi selama sepekan terakhir, IHSG telah mengalami koreksi sebesar 3%. 

Koreksi pasar sebesar 3% selama sepekan terakhir cukup menunjukan adanya pesimisme pasar akan perekonomian Indonesia kedepan. Seperti yang kita ketahui, BPS merilis data bahwa Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,10% pada Bulan Juli, dan 0,5% pada Bulan Agustus. Data-data ini menunjukan bahwa daya beli masyarakat melemah. 

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira bahkan menyebutkan bahwa indikasi semacam ini mirip dengan depresi besar tahun 1930-an. Pada akhirnya, pemberlakuan kembali PSBB total di DKI Jakarta menjadi semacam validasi bahwa pandemi sama sekali belum selesai sekaligus sinyal bahaya bahwa Indonesia kemungkinan besar akan masuk ke jurang resesi. 

Disamping kondisi ekonomi lokal, ketegangan antara Amerika-China dan akan diselenggarakannya pemilihan Presiden Amerika Serikat pada Bulan November yang akan datang disebut-sebut sebagai penyebab adanya gap besar antara harga saham dan kondisi perekonomian yang sesungguhnya. Hal ini seringkali dikenal dengan gelembung ekonomi.

Amerika menunjukan adanya indikasi gelembung tersebut. Perbandingan antara kapitalisasi pasar dengan PDB di Amerika (Atau yang sering dikenal sebagai Buffett Indicator) berada pada angka 150%. Ini adalah angka yang sangat tinggi. 

Sejarah telah membuktikan bahwa setiap gelembung ekonomi akan pecah dan menyebabkan kejatuhan besar-besaran (seperti balon meletus). Meski indikasi itu ada di Amerika Serikat, Indonesia pasti terdampak; mengingat kerja sama Indonesia-AS yang erat terutama dalam perekonomian. Ingat, krisis ekonomi tahun 2008 berawal dari Subprime Mortgage di Amerika Serikat.

Indikasi-indikasi semacam inilah yang kemungkinan akan menyebabkan IHSG kembali crash seperti pada Bulan Maret lalu, bahkan penurunannya bisa jauh lebih dalam dibanding sebelumnya. 

Namun bagaimana pun juga, pergerakan harga saham tidak bisa diprediksi dengan tepat 100 persen, dan opini semacam ini hanya bisa dijadikan referensi dan tambahan sudut pandang dalam melihat pergerakan harga saham.

Sangat menarik untuk menanti perkembangan terkini mengenai pandemi, perekonomian, dan pergerakan IHSG. Yang pasti, Indonesia sudah mengalami berbagai macam krisis dan selalu berhasil melewatinya. Bahkan, masa-masa pasca krisis selalu menjadi momentum besar bagi perekonomian dan juga pasar saham. 

Oleh karena itu, yang terpenting sekarang adalah bagaimana untuk tetap menjaga kesehatan sehingga ketika krisis kesehatan dan ekonomi ini berlalu, kita dapat menikmatinya bersama-sama sebagai sebuah Bangsa dan membawa Indonesia menjadi negara maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun