Pak Lo membeli saham INDY tahun 2013 kemudian melepasnya ditahun 2016 karena perusahaan tersebut mengalami kerugian yang tercermin dalam laporan keuangannya. Hal ini adalah bukti bahwa investasi memerlukan independensi dan sikap adaptif terhadap pasar, bukan sekedar berlandaskan keyakinan pada orang lain meski ia seorang investor sekelas Warren Buffett sekalipun.Â
Dengan kata lain, meskipun saham yang dibeli dikategorikan sebagai bluechip-stocks, seorang investor sewajibnya tetap melakukan maintanance dan pemantauan terhadap saham yang dipegangnya. Ingat, tidak ada yang pasti di pasar saham.
Satu hal yang saya yakini adalah Pak Lo sukses sebagai investor saham karena memiliki caranya sendiri dalam berinvestasi, disamping ia memang mengidolakan Buffett dan membaca semua bukunya. Ada nilai yang ia bawa; Bukan cara, apalagi pilihan saham Buffett.
Konsep buy and hold forever bukanlah konsep yang sama sekali salah dalam berinvestasi. Setiap orang memiliki pertimbangan dan pemikiran masing-masing mengenai keputusan investasinya. Namun perlu diingat bahwa dalam proses bertumbuhnya suatu saham juga diperlukan kinerja nyata perusahaan yang bekerja dibaliknya. Saham BBCA misalnya, dinobatkan oleh banyak orang sebagai saham terbaik kerena telah tumbuh secara konsisten selama belasan tahun dan melewati berbagai gejolak ekonomi, termasuk krisis ekonomi global tahun 2008. Namun saya yakin, bahwa pada tahun 2005 tidak ada seorangpun yang mencap BBCA sebagai saham terbaik (Alasannya adalah karena belum ada yang tahu bagaimana kinerja perusahaan dan ketahanan harganya di dalam pasar).
Narasi-narasi seperti: "Kalian beli saham BBCA Â 15 tahun yang lalu seharga Rp10 juta, maka tahun ini kalian akan memiliki uang Rp168 juta" biasanya disampaikan untuk menggaet calon-calon pelaku pasar modal yang baru, sehingga akan menarik minat banyak orang untuk berinvestasi. Seolah, setiap orang bisa kaya tanpa melakukan apa-apa di pasar saham.
Pak Lo yang sudah berinvestasi di pasar modal selama puluhan tahun, kini juga dikenal sebagai the sleeping investor karena membiarkan uangnya bertumbuh sendiri melalui pasar modal. Diksi yang dipakai oleh Pak Lo boleh menjadi sangat menarik karena sepertinya memungkinkan seseorang untuk tidur sambil  menghasilkan uang yang sangat banyak dari pasar modal. Sayangya kebanyakan orang berhenti sampai disini tanpa mencari tahu mengenai diksi "tidur" lebih dalam dari pernyataan Pak Lo.
Bila ingin menelaah lebih dalam diksi "tidur" milik Pak Lo, mari kita melihat keseharian Pak Lo.
Hampir setiap hari dari pagi, siang, sore hingga malam Pak Lo duduk di halaman rumahnya melakukan tiga hal yang ia sebut sebagai RTI :Â Reading, Thinking, Investing. Ia membaca koran yang datang ke rumah setiap hari, laporan keuangan perusahaan dan data statistik pasar modal. Selain ketekunannya dalam membaca, Pak Lo juga seringkali berada pada posisi berlawanan dengan pialang sahamnya ketika memutuskan untuk berinvestasi. Seorang "investor tidur" harus cukup andal untuk menjaga kepala tetap dingin, dan Pak Lo melakukannya dengan baik.
Pun, Buffett melakukan hal serupa. Dalam buku-bukunya sering kali ditulis bahwa Buffett selalu menghabiskan setidaknya enam jam per hari untuk membaca buku dan koran dalam ruangan pribadinya. Selain itu, pengalamannya berhadapan dengan euforia saham teknologi telah membuktikan kapasitasnya sebagai sekaligus menjadi alasan mengapa Buffett menjadi seorang Buffett yang kita kenal sekarang.
Mungkin terdengar mudah dan sederhana, namun pada kenyataannya, tidak semua orang mampu menggapai tingkatan yang mereka capai.
Frasa "investor tidur" memang cukup menggugah dan sering dipakai sebagai gambaran format ideal seorang investor. Namun jika ditelaah lebih dalam, profesi sebagai "investor tidur" jauh lebih banyak menuntut profesionalisme, tanggung jawab, konsistensi, dan independensi seseorang dalam mengambil keputusan, terutama dalam masa-masa krisis seperti sekarang ini.