Berbekal riwayat-riwayat tersebut, aku bertekad memanjangkan rambutku. Dan Alhamdulillah di kampusku dibebaskan bagi mahasiswanya untuk memelihara rambut sesukanya. Tentu saja aku sangat merawat pertumbuhan dan penampilan rambutku, yang juga mahkotaku. Keramas rutin dua hari sekali. Sesekali diberi lidah buaya. Dan kalau sedang beruntung, sesekali creambath. Alhasil, semasa kuliah itu rambutku memanjang hingga melewati pantat panjangnya. Era 90an ini menjadi masa keemasan kalau boleh kupinjam istilah ini.
Dan sepertinya sempat membuat banyak orang suka melihatnya. Aku pun menikmati memiliki rambut gondrong ini. Aku merasa tidak ada yang keberatan dengan rambut gondrongku saat itu. Tapi, tak eloklah kuceritakan bagaimana sikap kagum yang kerap kuterima akan reaksi publik terhadap rambut panjangku saat itu...hehehe.
Seiring dengan bertambahnya usia, aku mulai mengurangi panjangnya, karena perlahan rambut mulai rontok dan menipis. Meski keadaan telah berubah, selama puluhan tahun aku berhasil mempertahankan penampilanku dengan rambut gondrong. Baik itu setelah lulus kuliah, memasuki dunia kerja, bahkan saat menikah dan punya anak pun aku masih tampil dengan rambut  gondrong. Bisa dibilang, rambut gondrong telah menyatu menjadi identitas diriku.
Entah sampai kapan akan bertahan, aku pun tak memiliki rencana apa-apa, selain menikmati kegondronganku. Intinya, dunia di sekelilingku tak ada yang menghalangi, atau bahkan mempermasalahkannya. Semua berjalan baik-baik saja. Kalau pun sempat ada kesan bahwa rambut gondrong identik dengan gaya urakan, atau bahkan anggapan miring lainnya, kuanggap itu hanya penilaian subyektif orang saja. Aku tak pedulikan. Selama aku tidak mengganggu, tidak merepotkan, dan tidak merugikan orang lain dengan penampilanku, ya sudahlah.
Perlu Alasan Sebelum Memutuskan
Oiya, aku mau cerita sedikit melenceng dari soal mahkota. Sebagai anak muda, saat itu aku juga berkeinginan untuk men-tatto tubuhku. Aku berusaha mencari rujukan, namun sayangnya aku tak menemukan dasar yang kuat untuk mewujudkan keinginanku itu. Karena aku kerap membiasakan diri, kalau melakukan sesuatu harus ada dasarnya, maka keinginan memiliki tatto ini pun kuurungkan. Apalagi bila melihat realita di sekitarku, banyak orang atau teman yang di kemudian hari menyesal ber-tatto, lalu dengan susah payah menghapusnya. Ini memperkuat alasan bagiku untuk tidak perlu memiliki tatto di tubuhku.
Kebiasaan ini jelas menyelamatkanku untuk menyesal di kemudian hari. Jadi, aku memiliki kebiasaan, bila ingin melakukan sesuatu harus punya dasar dan alasan yang kuat. Caranya, ya itu tadi, terlebih dulu mencari bacaan atau rujukan sebelum mengambil keputusan dan tindakan. Ini penting kusampaikan, mungkin bisa jadi masukan bagi siapa saja yang berkenan menerapkannya.
* * *
Tentu saja reaksi beragam berdatangan usai kupangkas habis rambutku. Penampilan botakku membuat Hiro, anakku yang sedari lahir melihat bapaknya berambut gondrong tak henti keheranan. "Bapak aneh!" begitu terucap dari mulutnya hingga beberapa hari kemudian. Juga tentang kedatangan pak Konjen yang rela menempuh perjalanan panjang sekitar 80 km demi melihat sahabat yang sejak berkenalan sudah berambut gondrong. Beliau ingin menyaksikan kepala plontosku, sebelum kawan-kawan lain ramai memberikan reaksi.
Sebuah perjalanan memang terkadang memerlukan pemberhentian. Dan di setiap langkahnya kerap menyisakan hikmah yang layak jadi pembelajaran. Â