Ketika klub tak melepas pemainnya untuk timnas sepakbola yang akan membela negara bertanding di ajang internasional, haruskah kita marah?Â
Dilematis memang,di satu sisi klub yang selama ini menghidupi pemain dengan menggajinya, artinya klub punya hak terhadap pemain. Di sisi lain, membela negara selama ini dianggap segalanya bagi bangsa Indonesia.Â
Untuk bangsa dan negara, tak bisa tidak, kita wajib untuk berkorban. Ini telah menjadi komitmen segenap bangsa Indonesia. Meski bagi sebagian orang ada yang hanya ucapan di mulut, namun sulit diwujudkan dalam tindakan nyata. Faktanya, soal ini kita sebagai bangsa kerapkali dibuat bimbang.
Telah beberapa kali timnas bola kita mengalami kejadian tidak diijinkan klub merekrut pemainnya, apalagi bila pertandingan yang akan diikuti oleh timnas merah putih itu bukan termasuk agenda FIFA sebagai induk olahraga sepakbola dunia.Â
Baik klub dalam negeri maupun luar negeri enggan melepas pemainnya. Asalannya, klub lebih membutuhkan pemain, klub khawatir pemainnya cedera, serta sederet alasan lainnya yang jauh dari pertimbangan nasionalisme.
Terkahir adalah kasus tak dilepasnya Ramadhan Sananta, striker Persis Solo yang sedang moncer itu tak dilepas klub untuk membela timnas garuda yang akan berlaga di ajang Asian Games.Â
Jelas ini membuat marah pecinta bola tanah air. Juga membuat geram petinggi PSSI, meski kenyataannya tak bisa berbuat banyak terhadap klub.Â
Hal itu membuat coach Indra Syafri harus memutar otak demi strategi dengan keterbatasan pilihan pemain yang ada. Apalagi beberapa pemain yang telah dipilih ada yang belum fit akibat cedera dan ada pula yang jatuh sakit. Dan harapan pencinta bola tanah air terhadap timnas untuk Asian Games pun rada surut dibuatnya.Â
Padahal belum lama kita semua baru menghirup udara segar dengan permainan ciamik timnas U23 yang berlaga untuk memperebutkan tiket ke piala Asia dengan kemenangan hasil permainan yang apik.
Harapan kita hanya pada lobby-lobby petinggi sepakbola yang belakangan dinilai berperan bagus dalam menyelamatkan sepakbola tanah air.Â
Meski untuk ajang Asian Games tampaknya tak akan berpengaruh pada sikap klub, namun upaya itu perlu dilakukan karena dibutuhkan untuk kedepannya.Â
Atau, kita tak perlu ikut ajang internasional yang tak masuk agenda FIFA agar kendala ini tak terjadi. Mungkin bisa juga tetap ikut dengan menyusun agenda lain, misal dengan mempersiapkan timnas lapis kedua yang memang diperuntukkan mengikuti event internasional yang tidak masuk kalender FIFA.Â
Ini bisa juga untuk mempertajam persaingan dan kesempatan pemain berlaga di kancah internsional. Namun dengan catatan tanpa memberikan target apa pun, selain sebagai partisipasi dan membangun tim lapis kedua.
Kembali ke pertanyaan awal, haruskah kita marah?
Menurut hemat penulis, ya kita harus tetap marah. Marah apabila tidak ada solusi dari persoalan kita. Hari ini kita harus marah, supaya ada penyelesaian dan tak terulang lagi. Agar esok atau nanti persoalan ini tak muncul lagi.Â
Dan kita semua tetap menjunjung tinggi kepentingan bangsa dan negara dalam bingkai merah putih. Ini tak bisa ditawar-tawar lagi. Hal ini berlaku untuk seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Demi merah putih, demi bangsa dan negara, kita semua wajib berkorban. Bukan sebaliknya mengakali bangsa dan negara ini dengan berdalih atau memanfaatkannya.
Semangat patriotisme yang telah diwariskan oleh pendiri bangsa ini tak boleh luntur, apalagi jadi bahan akal-akalan belaka. Terakhir, mari kita dukung timnas yang akan berlaga di ajang Asian Games, juga seluruh atlet yang terjun di China. Semangat dan kepakkan sayap garuda agar merah putih berkibar dengan gagahnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H