Namanya Hasan, dan aku lebih suka memanggilnya cak Hasan. Meskipun dia lebih nyaman dipanggil om Hasan. Aku pertama melihatnya di bandara internasional Turki, setibanya aku di negara yang wilayahnya masuk dua benua itu, yiatu Asia dan Eropa. Saat itu kesanku biasa saja melihat lelaki bertubuh gempal dengan brewok seperti kebanyakan lelaki Turki lainnya.Â
Lambat namun pasti, aku mulai terkesan dengannya. Apalagi setelah kuketahui bahwa dia adalah pemandu rombongan yang akan mendampingi rombonganku selama di Turki. Kesan pertama yang biasa itu mulai pupus setelah di bis yang menjemput kami di bandara, cak Hasan secara resmi memperkenalkan diri dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih, meski logatnya agak aneh di telinga.
Awalnya, ada anggota rombongan yang agak meremehkan saat cak Hasan bicara dengan logat yang rada aneh bagi telinga orang Indonesia. Namun, menyadari itu, cak Hasan pun lantas meyakinkan kami dengan menyatakan, bahwa dirinya telah menjalani profesi sebagai tour guide selama sebelas tahun. Dan makin lama terbukti kemampuannya sebagai gudie yang profesional.
Selain kemampuan berbahasa Indonesia-nya mampu mendekatkannya dengan rombongan kami yang berasal dari berbagai daerah di tanah air, cak Hasan juga cukup menguasai informasi tentang berbagai destinasi yang menjadi tujuan wisata kami. Pilihan destinasinya pun cocok dengan rombongan kami yang akan melanjutkan perjalanan menuju Madinah dan Mekah untuk menjalankan ibadah umroh. Apalagi Turki memang diuntungkan dengan adanya peninggalan bersejarah, khususnya peninggalan Kekaisaran Ottoman. Cukup detail informasi yang disampaikan cak Hasan, mulai dari tahun, tokoh yang berperan, serta pernak-pernik info tambahan lainnya.
Rombongan kami tampak menikmati perjalanan dari satu destinasi ke destinasi lainnya selama di Turki. Beberapa destinasi yang tak asing, satu per satu kami kunjungi. Diantaranya yaitu berpesiar di selat Bosphorus, mengunjungi Hagia Sophia, Topkapi Palace, Museum Seni Islam dan Turki, Bursa, serta masih banyak yang lainnya. Satu hal penting yang menurutku menjadi kunci menarik yang dilakukan cak Hasan adalah soal waktu.Â
Di samping ketat membagi dan mengatur waktu, serta berulangkali menegaskan pada anggota rombongan agar disiplin soal waktu, cak Hasan juga memanfaatkan kemajuan teknologi.Â
Misalnya saat hendak menuju satu destinasi, sepertinya cak Hasan terlebih dulu mengecek sikon trafic yang akan dilalui melalui teknologi di yang kini tersedia di ponsel. Bisa dibayangkan, apabila tour guide maupun tour leader lemah dalam manajemen waktu, maka yang didapat wisatawan pasti zonk.Â
Lalu, cak Hasan dibantu timnya juga telah menggunakan teknologi audio (headset bluetooth) yang dibagikan ke seluruh anggota rombongan. Sehingga anggota rombongan mudah mendengarkan berbagai informasi sambil terus bergerak mengikutinya.
Namun demikian, menurut penulis, bukan berarti sajian cak Hasan tanpa kekurangan. Hal paling dirasakan sebagai kekurangan dan cukup mengejutkan adalah ajakannya ke pusat oleh-oleh kelas atas, sehingga lumayan menguras kocek sebagian anggota rombongan.Â
Memang tidak sepenuhnya salah, karena sebagian anggota rombongan yang dari kalangan berada banyak yang memborong beragam oleh-oleh khas Turki dengan harga yang cukup tinggi. Tapi, ada pula sebagian anggota rombongan yang mengeluh. Sampai-sampai ada anggota rombongan yang uang sakunya ludes di hari pertama perjalanannya.Â
Untuk itu, sebagai saran sebaiknya cak Hasan juga mengajak rombongan ke pusat belanja oleh-oleh dengan harga miring sebagai perimbangan.Â
Secara umum, performa cak Hasan sangat mengesankan dan sosoknya menarik sebagai seorang tour guide. Terima kasih cak, sampai jumpa di kesempatan mendatang ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H