Mohon tunggu...
sichanang
sichanang Mohon Tunggu... Lainnya - Gak perlu ucapan terimakasih atas pelaksanaan tugas!

Penulis. Pernah cantumin pekerjaan 'penulis' di ktp tapi diganti sama pak RT. Blog pribadi : http://sichanang.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Potong Rambut Paksa, Picu Jiwa Pemberontak

13 September 2023   17:17 Diperbarui: 19 September 2023   08:05 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, semasa masih sekolah aku termasuk murid yang langganan kena razia potong rambut secara paksa. Itu terjadi, biasanya, setelah aku lolos satu atau dua kali razia. Dan akhirnya akan menyerah dicukur paksa dengan cara asal dan buruk hasilnya. 

Setelah mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan itu, lantas aku tidak masuk sekolah selama beberapa hari. Dan saat masuk, wali kelas akan bertanya, kenapa gak masuk sekolah tanpa ijin beberapa hari. Dengan santai aku akan jawab, "males sekolah karena rambut dipotong paksa dan buruk hasilnya!" Wali kelas pun diam.

Dan setelah lulus sekolah (SMA) aku berkesempatan memanjangkan rambut. Bahkan rekor terpanjang rambutku pernah tergerai hingga sepantat hehe....

Sebagai manusia, aku memanjangkan rambut bukan tanpa alasan. Aku suka mencari dasar dalam melakukan sesuatu. Misal, saat itu aku mencari dari riwayat Nabi Muhammad SAW, bagaimana rambut sang Rasul itu pada zamannya. 

Pada beberapa literatur aku menemukan bahwa pada masa itu rambut beliau juga panjang. Atau, ada yang menyebut, Nabi ketika melihat anak muda berambut panjang namun berantakan, beliau memalingkan wajah.

Dan ketika keesokan harinya melihat anak muda yang berambut panjang itu tampak rapi, beliau menyapanya. Dan aku berkesimpulan, bahwa tolok ukurnya bukan pada panjang atau pendeknya, tapi lebih pada kerapian dan enak dipandangnya.

 Lalu, sekian puluh tahun aku pun memanjangkan rambutku. Aku merasa bebas mengekspresikan diri dengan rambut panjang itu. Dan, aku pun berkeyakinan, tidak ada yang kulanggar.

Tentang kedisiplinan, itu soal lain. Pastinya, untuk menjaga kelangsungan memanjangkan rambut, aku berusaha tidak melanggar norma, bahkan hukum positif.

Pada kasus lain, aku sempat berkeinginan membuat tatto di bagian tubuhku. Aku pun mencari dasar sebagai referensi. Alhasil, jelas banyak aturan yang melarangnyanya.

Dan aku pun urung untuk membuat tatto. Dan, belakangan aku banyak menemukan kenyataan teman-teman yang bertato itu menyesal dan berusaha menghapus, tapi tidak mudah prosesnya. 

Jadi kesimpulanku, seharusnya dunia pendidikan juga perlu mengajarkan siswa untuk menggali dasar dari sebuah aturan, terutama soal rambut ini. Toh, ada beberapa sekolah yang membebaskan siswanya memanjangkan rambut juga tidak masalah. 

Menurut sudut pandangku, cara sekolah atau guru memotong rambut secara paksa dengan dalih mendisiplinkan itu adalah cara militeristik yang tidak tepat bila diterapkan di dunia pendidikan. Kedisiplinan dan kepatuhan pada masyarakat sipil, atau di dunia pendidikan yang kini mengusung kurikulum merdeka tidak bisa menggunakan paksaan semacam itu. 

Apabila hal itu masih diterapkan, secara tidak disadari si guru atau sekolah akan memupuk jiwa pemberontak pada siswa dengan memaksakan kehendak seperti sering kita lihat di masyarakat misalnya membotakin maling yang habis ketangkap. Padahal apabila dianggap melanggar aturan sekolah, pelanggaran itu tak sebanding dengan yang dilakukan oleh maling. Anak-anak itu tidak mencuri suatu apa pun. Mereka hanya ingin mengekspresikan dirinya saja.

Sumber foto: wanieta.com
Sumber foto: wanieta.com

SIKAP SEBAGAI ORANGTUA

Kini sebagai orang tua, aku juga memberi gambaran pada anakku soal rambut atau segala sikap yang sebaiknya diambil. Pertama, tentu menjelaskan bagaimana dulu aku memutuskan untuk berambut gondrong, yaitu dengan mencari dasar sebagai pijakan sebelum memutuskan sesuatu, agar tidak menyesal di kemudian hari. 

Lalu, ketika anakku disuruh memotong rambut oleh gurunya, aku bilang nanti akan kuantar ke tukang cukur langganannya. Tidak serta-merta langsung dipotong.

Lagipula terkadang soal model rambut ini juga menyangkut selera. Tidak bisa semua orang dengan model yang sama seperti di dunia militer. Kebebasan memilih model dan selera ini juga perlu dipahami oleh guru dan sekolah. Guru tidak bisa menggunakan selera berdasarkan pengalaman pribadinya. 

Berdasar pengalaman anakku, dia merasa tidak nyaman apabila dipotong botak. Maka aku pun membiarkannya memilih model rambut yang tidak botak plontos. Aku tidak ingin dia tumbuh dengan rasa tidak nyaman. Apalagi kalau sampai menerima ejekan dari teman-temannya sehingga dia merasa minder. Jelas, sebagai orang tua aku tidak ingin memiliki anak yang tumbuh dan berkembang dengan perasaan minder dan tidak nyaman. 

Dengan demikian, menurutku pihak guru dan sekolah juga seyogyanya mulai membuka diri untuk mengkomunikasikan tentang model rambut ini secara bijak. Jangan ada lagi tindakan memotong rambut dengan semena-mena, apalagi terkesan mempermalukan siswa dihadapan teman-temannya.  

Menurut hematku, gak ada hubungannya tentang model rambut ini dengan sikap disiplin atau perilaku. Selama puluhan tahun aku berambut panjang/gondrong, semua baik-baik saja. Kalau pun ada orang yang melihatnya sebagai hal "buruk" itu lebih karena pengalaman subyektif pribadinya saja. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun