Mohon tunggu...
sichanang
sichanang Mohon Tunggu... Lainnya - Gak perlu ucapan terimakasih atas pelaksanaan tugas!

Penulis. Pernah cantumin pekerjaan 'penulis' di ktp tapi diganti sama pak RT. Blog pribadi : http://sichanang.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Pelanggaran Kampanye, Berharap ke Bawaslu atau Cari Solusi?

28 Agustus 2023   07:00 Diperbarui: 28 Agustus 2023   10:42 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alat peraga kampanye (APK) Pemilu terpasang di sepanjang Jalan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)

Di berbagai tempat di seluruh negeri, kini hampir tak ada ruang yang tidak dikotori oleh poster, baliho, banner dan gambar caleg dan capres dengan berbagai slogan serta ekspresi muka yang sejujurnya tak enak dipandang. Ditambah lagi bendera partai pun tak kalah ikut mengotori lingkungan. Selain mengotori lingkungan, 'kampanye' itu sebenarnya juga telah melanggar aturan. 

Namun, kenyamanan kita sebagai warga bangsa terpaksa harus dikesampingkan dengan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu yang mengeliminir sanksi bagi pencuri start kampanye. 

KPU hanya melarang partai politik melakukan kampanye di luar masa kampanye dan memuat unsur ajakan dalam kegiatan sosialisasi dan pendidikan politik. KPU tidak menetapkan sanksi bagi pelanggarnya. 

Alasan KPU tidak mengatur sanksi curi start kampanye adalah karena tidak ada mandat dari Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. KPU berpendapat bahwa sanksi hanya bisa diberikan jika ada dasar hukum yang jelas. 

Selain itu, KPU juga menyerahkan penindakan pelanggaran kampanye kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI. Sementara terhadap adanya kemungkinan pelanggaran curi start kampanye, pihak Bawaslu hanya menyampaikan harapan dan himbauan agar tidak melanggarnya. 

Permainan istilah kampanye dan sosialisasi menjadi dalih untuk membiarkan adanya pelanggaran penggunaan alat peraga di berbagai ruang publik. 

Di satu sisi, pemasangan alat peraga kampanye di tempat umum dan media sosial, termasuk metode kampanye pemilu kepada umum.  Di sisi yang lain, KPU membolehkan sosialisasi internal dengan catatan tidak mengandung ajakan untuk memilih. 

Perdebatan soal ini bisa menjadi panjang kali lebar bila diteruskan. Namun, tulisan ini bermaksud mengajak kita semua keluar dari perdebatan, yaitu dengan menawarkan ide.

(Foto : megapolitan.kompas.com) Pencopotan APK menambah pekerjaan baru yang tak bermanfaat.
(Foto : megapolitan.kompas.com) Pencopotan APK menambah pekerjaan baru yang tak bermanfaat.

Solusi Tidak Memasang Identitas Diri Sembarangan

Beberapa waktu lalu saat berkomunikasi dengan seorang teman yang hendak menjadi caleg, aku berpesan agar dia tidak memasang tanda gambar dirinya melalui poster, banner, baliho di sembarang tempat. Kebetulan teman itu dari Kota Wisata Batu. 

Kusampaikan argumentasi, jangan kotori kota kita yang indah dengan foto dirinya + slogan yang tak ada kaitannya dengan wisatawan. Sayang bila kota kecil yang indah itu jadi tampak semrawut dengan adanya alat peraga kampanye pemilu. 

Saat menerima pesanku, awalnya tampak berat dia menerimanya. Namun dengan sedikit memaksa, akhirnya bisa diterima, setelah kubilang dia tetap boleh memasang gambar dirinya sebagai perkenalan hanya di poskonya dan di tempat yang berbayar. 

Pengecualian itu dengan penjelasan, di posko akan memudahkan masyarakat bisa langsung berkomunikasi, bahkan sekalgus tahu dengan siapa bila hendak menyampaikan aspirasi. 

Memasang atribut kampanye di media luar ruang yang berbayar, akan sesuai dengan komitmennya untuk membangun daerahnya. Berbeda cerita bila dia hanya memasang di tepi jalan, bahkan ditempel di pohon atau dinding kota. 

Selain itu, aku menawarkan bahwa identitas dirinya sebaiknya ditempelkan di hati masyarakat yang akan memilihnya. Caranya, yaitu dengan mendatangi target-target konstituen, berkomunikasi langsung, mendengar aspirasi, lalu memberikan solusi. Bukan memberi janji-janji manis tanpa bukti. 

Apabila langkah-langkah itu ditempuh dan dilakukan, akan ada ikatan batin antara si calon dengan konstituennya. Juga akan terjalin kerjasama yang baik antara kedua belah pihak saat mencari solusi dari berbagai persoalan yang melingkupi warga masyarakat yang akan diwakilinya kelak. Toh memang demikian seharusnya, karena itu memungkinkan para calon untuk menggaet target dalam satu dapil. 

Jangan sampai diantara keduanya berjarak. Apalagi memilih seseorang hanya berdasar foto dengan senyum yang terkesan dibuat-buat, lalu diimbuhi slogan yang kadang jauh panggang dari api.

Mengapa aku menyoroti foto yang dipajang itu seolah penuh kepalsuan?

Aku tahu persis bagaimana proses kreatif dari pembuatan alat peraga kampanye pemilu itu. Bukan pekerjaan mudah bagi para fotografer profesional sekalipun untuk mendapatkan ekspresi terbaik si calon. 

Perlu berpuluh-puluh jepretan untuk memperoleh satu frame foto terbaik. Terkadang senyum sudah oke, namun belum terpancar ketulusan dari wajah dan sorot matanya. Bahkan untuk beberapa kasus calon tertentu, terlalu sulit hanya untuk tersenyum saja. 

Bisa dibayangkan, bagaimana dalam kesehariannya bila si calon tidak terbiasa tersenyum dengan tulus. Pasti dia akan mewujud sebagai tokoh yang menyebalkan bukan! 

Mengenal secara langsung, berkomunikasi dan berinteraksi langsung, akan berbeda dengan hanya melihat pajangan foto. Disitu masyarakat akan mengetahui seberapa dalam komitmennya, seberapa luas wawasannya, seberapa besar tanggung jawabnya, dan sejauhmana akan memegang amanah bila kelak telah diberikan mandat kepercayaan.  Jadi, pemilih akan terhidar dari memilih kucing dalam karung.

Tapi kita juga tidak bisa mengesampingkan realita di lapangan. Mengapa para calon itu memilih menghindar dari pertemuan langsung dengan masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu. 

Karena telah tertanam kebiasaan di tengah masyarakat kita apabila didatangi oleh kandidat wakil rakyat, hal pertama yang ditanyakan adalah seberapa besar mereka akan diberi bantuan, sumbangan, atau sejenis 'money politic' bagi memuluskan langkahnya. 

Kesalahan dan stigma ini telah dianggap sebagai kewajaran di tengah masyarakat. Dan ini yang harus berani kita bongkar, kita ubah pola pikir sempit yang justru akan merugikan masyarakat. Apabila itu dibiarkan terus terjadi, jelas yang akan diuntungkan hanyal para broker yang biasanya mengklaim dirinya dapat mengerahkan massa. 

Lagi-lagi model yang seperti ini yang akan merugikan masa depan masyarakat sebagai pemegang hak pilih. Telah terbukti, masyarakat akan tidak memperoleh apa-apa dari orang yang mengklaim menjadi wakilnya (wakil rakyat). 

Bagaimana dengan capres yang cakupannya nasional?

Umumnya para capres mempunyai tim sukses atau pihak yang ditunjuk oleh capres atau peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih. Melalui pihak-pihak inilah masyarakat harus berkomunikasi, atau bila perlu membuat kontrak politik tertentu untuk pegangan di kemudian hari dalam menagih janji-janji yang telah disampaikan melalui visi-misi, program, atau citra tertentu yang disampaikan. 

Sekali lagi, jangan merasa puas hanya dengan iming-iming amplop berisi uang sekedarnya, yang terkadang telah dipotong sana-sini. Dan ujung-ujungnya setelah pemilu usai, masyarakat pemilih tidak memperoleh dampak dari upayanya turut memilih. 

Jadi, ayo mulai mengubah, bahkan membongkar kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak produktif bagi perkembangan demokrasi itu sendiri.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun