Ketiga, berkaitan dengan pernyataan sebelumnya, walikota ER menyebut “… lalu buat apa lagi dananya?” Sikap ER ini sejatinya mengingkari filosofi dari dana desa yang diharapkan warga desa merumuskan sendiri kebutuhan akan desanya, lalu mengimplementasikan sendiri pula dalam wujud pembangunan. Artinya, pembangunan yang menggunakan dana desa harus berjalan bottom up, bukan lagi top down, seperti yang tercermin dari pernyataan ER itu.
Keempat, kekhawatiran akan kemampuan warga desa membangun desanya sendiri, bukankah itu wujud ketidakpercayaan seorang walikota terhadap warganya. Menyoal hal ini, sebenarnya bisa dikatakan walikota ER / pemkot telah melakukan pelecehan terhadap kemampuan warganya. Seorang teman di Kementerian Desa berseloroh mengomentari ini, “masa wong mbatu kalah dengan orang-orang desa di pedalaman Papua atau di pelosok Nusa Tenggara yang lokasinya sangat jauh dari Ibu Kota Republik ini!”
Terakhir, penolakan dana desa ini akan berdampak pada penerimaan alokasi anggaran dari pusat lainnya, dan ini akan sangat merugikan bagi pemkot Batu khususnya, dan warga Batu pada umumnya.
Jadi, ternyata penolakan dana desa itu sama sekali bukanlah sesuatu yang hebat yang telah ditempuh oleh pemkot Batu.
Semoga dulur-dulur wong mBatu menyadari kekeliruan siakp dan keputusan ini. Dan apabila kelak sudah mau menerima dana desa itu, seyogyanya pergunakanlah sebaik-baiknya untuk mbangun Mbatu, demi kesejateraan wong mBatu, bukan untuk banca’an segelintir orang yang tidak punya nurani.
Smoga maju desaku... smoga makmur tanah kelahiranku....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H