Membaca laku hidup Eyang Suparto Brata sama dengan membaca tulisan-tulisan beliau atau mendengarkan petuah-petuah beliau. Yang beliau katakan atau tuliskan adalah yang beliau lakukan atau alami. Pribadi yang konsisten. Satunya kata dan satunya tindakan.
Tak berlebihan jika beliau disebut sebagai pribadi yang ꦧꦺꦂꦧꦸꦢꦶꦧꦮꦭꦏ꧀ꦱꦤ , berbudi bawa laksana. Melafalkan "berbudi" seperti melafalkan “e” pada “berang” bukan “e” pada “beruang” (maaf, berarti menulisnya dengan aksara Jawa bukan ꦧꦼꦂꦧꦸꦢꦶꦧꦮꦭꦏ꧀ꦱꦤ).
Kawan, untuk memperoleh gambaran agak jauh berkaitan dengan ide Eyang Suparto Brata ini, izinkan saya mengutipkan terlebih dahulu sebagian paparan saya dalam Seminar Nasional Paramasastra 3 di Unesa pada 30 Mei 2015 yang lalu sebagai berikut.
Adalah pencanangan Surabaya Kota Literasi yang dilakukan oleh Walikota Surabaya, Ir. Tri Rismaharini, M.T. pada 2 Mei 2014 dapat dijadikan tonggak pembudayaan literasi lebih lempang di Kota Surabaya. Sesungguhnya, sejak itu bertambahlah tebaran peluang-peluang inovatif bagi upaya-upaya pembiasaan membaca, menulis, mendengar, berbicara, dan berdiskusi.
Upaya pioner pembiasaan literasi ini melempangkan jalan para generasi bangsa menempa diri menjadi insan yang berkebudayaan dan bermartabat lebih tinggi. Pembiasaan literasi bagi masyarakat Surabaya melalui beragam jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Upaya yang berpeluang menginspirasi lahirnya gerakan yang lebih kreatif dan bermanfaat pada bidang literasi bagi segenap daerah seantero nusantara.
Agaknya fenomena kota literasinya Surabaya ini dapat menjadi secercah cahaya untuk meretas jalan yang selama ini terasa gelap dalam pembudayaan literasi. Fenomena ini sekaligus dapat menjawab kegalauan sang begawan sastra Jawa, Suparto Brata. Kegalauan yang diungkap berulang-ulang pada setiap ada kesempatan bahwa kalau orang mau disebut modern, ia harus mau meninggalkan tradisi omong dan jagongan.
Menurut beliau, tradisi omong dan jagongan ini kuno. Tradisi bangsa primitif. Bangsa modern sudah tidak membiasakan diri dengan budaya omong-omong dan jagongan. Beliau menyatakan bahwa bangsa modern harus membiasakan diri dengan budaya membaca dan menulis. Karena itu, beliau menegaskan bahwa tantangan Indonesia ke depan adalah mengubah dirinya dari masyarakat yang terkungkung oleh tradisi kelisanan menjadi masyarakat yang bertradisi keberaksaraan (literacy).
.... (maaf, bersambung pada tulisan bagian 2 ...)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H