Mohon tunggu...
Angga Birawa
Angga Birawa Mohon Tunggu... Konsultan - Content Creator | Pemikir | Penyendiri

Angga Birawa merupakan nama pena saya. Saya menulis disini untuk mencurahkan kegelisahan dan kemarahan mengenai kultur kita yang makin menjauh dari hakekat manusia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Renungan] Banjir di Awal 2020

3 Januari 2020   13:42 Diperbarui: 3 Januari 2020   13:56 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam keadaan harus menahan gas, kaki saya memainkan gas dengan nekat. Maju mundur maju mundur. Saya sudah tidak dapat berpikir, insting berbicara. Beberapa saat kemudian, roda mulai menemukan gigitannya. Perlahan, mobil bisa naik dengan susah payah. 

Alhamdulillah. Masih bisa diselamatkan. Ini bisa terjadi berkat bantuan tetangga saya yang baik hati juga. Terima kasih tetangga.

Yang kedua, saya pindahkan motor. Tak banyak drama yang terjadi.

Perasaan sedikit lega, karena mobil dan motor sudah aman. Banjir tidak  memasuki rumah saya (awalnya). Namun banjir sudah menutupi jalan komplek. Saya mengenakan jas hujan lengkap dan berjalan ke depan pos satpam untuk memeriksa keadaan sekitar. 

Banyak yang tidak seberuntung saya. Mobil-mobil banyak yang tergenang dan tertutup air banjir. Banjir sudah hampir sepinggang saya. Otomatis akses keluar sudah tertutup. Saya kembali ke rumah dengan susah payah. Meski mengenakan jas hujan lengkap, tubuh bagian bawah saya tetap basah kuyup.

Saya mengambil hp dan mengabarkan orang kantor bahwa saya tidak masuk kerja dikarenakan terkena musibah banjir. Ya, tahun baru tanggal 1 Januari 2020 saya tetap harus masuk, tidak libur. Sungguh luar biasa tanggapan atasan saya, dia bilang, saya harus mengusahakan masuk.

Tidak ada ucapan atau sikap empati terhadap kejadian yang sedang menimpa saya.

Lebih parahnya lagi, ketika hampir 90% tim saya tidak masuk dikarenakan rumahnya kebanjiran atau akses jalan banjir sehingga mereka tidak bisa masuk kerja. saya mendapatkan reaksi yang lebih pahit lagi dari atasan saya ketika saya melaporkan hal ini. Bahkan saya diejek karena tim saya tidak masuk sebanyak itu. Untuk catatan, menurut pendapat saya pribadi, tim saya sangat menghormati saya dan saya sangat menghormati mereka. Saya membangun hubungan saling respect dan saling percaya di tim saya. Sehingga cukup kecil kemungkinan mereka tidak masuk kerja karena memanfaatkan momen banjir di Jakarta.

Solusinya? Saya meminta secara baik-baik untuk semua tim saya agar mengirimkan foto bukti bahwa rumah mereka kebanjiran atau akses jalan mereka ditutupi banjir. Mereka dengan sangat kooperatif mengikuti arahan saya. Dan hal tersebut saya teruskan kepada atasan saya. Tetap tidak ada ucapan maupun perlakukan empati terhadap hal ini. Padahal seperti yang sebagian besar kalian ketahui, banjir yang melanda Jabodetabek sangat parah. 

Bagaimanakah seorang pemimpin seharusnya bersikap? Apakah jaman ini semuanya hanya soal uang, kerja bagai kuda? Tidak ada lagi penghargaan terhadap karyawan sebagai manusia? Tanggung jawab utama seorang pemimpin adalah terhadap anak buahnya lalu perusahaannya. Yang semuanya kembali kepada tanggung jawab terhadap Tuhannya. Karena seorang pemimpin harus amanah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun