Sebagai gambaran, saya bekerja di suatu perusahaan yang saat ini mempunyai peringkat teratas di industrinya(2019). Secara persentasi, market share kami dibandingkan dengan perusahaan ranking 2, mempunyai perbedaan angka yang cukup signifikan. Sehingga bisa dibayangkan betapa 'hebat'nya perusahaan tempat saya bekerja sekarang.
Sekarang, saya akan cerita pandangan dari dalam bagaimana perusahaan tersebut beroperasi. SOP? Berantakan. Tumpang tindih. Istilahnya, working in silos. Banyak backlog. Banyak program yang sebetulnya bagus malah terhenti. Banyak program yang 'nggak berguna' malah jalan. Bagaimana itu bisa terjadi? 'Nepotisme'. Maksudnya? Yah, orang - orang yang menempati posisi strategis bukan karena keahlian atau skill. Banyak anak-anak baru tingkat manajemen hanya punya satu skill. Yes, Sir atau Yes, Ma'am. Skip.
Divisi tempat saya bernaung, merupakan salah satu mesin uang dari perusahaan. Perbulan kami bisa membukukan revenue sekitar ratusan milyar rupiah. Bisa kebayang yah. Sedihnya, sudah lebih dari berapa tahun, bahkan dari divisi kami tidak ada program refreshing yang punya impact kuat bagi hati karyawannnya. Maksudnya adalah, program yang mereka buat untuk hal ini, hanya sekedar program refreshing otak dengan budget pas-pasan yang menurut kami, tidak sesuai dengan tingkat kontribusi kami.
Sebagai contoh, yah cuma beberapa karyawan kunci yang diundang untuk datang ke 'outing' kecil-kecilan yang hanya menggunakan fasilitas kantor, seperti auditorium kantor, pengisi acara orang kantor, moderator orang kantor, dengan acara segaris dengan 'kepentingan kantor'. Sedih? Lumayan.
Suatu waktu di sore hari, lagi - lagi kantor mengadakan refreshing 'seadanya' dan saya diwajibkan ikut. Datanglah saya dengan beberapa kolega ke tempat acara dilaksanakan. Acara tersebut dilaksanakan di gedung di daerah Jakarta Selatan. Wah lumayan. Sampai sana, kami disambut dengan meja panjang yang berisikan cemilan-cemilan umum. Termasuk standar untuk acara seminar gratis yang menawarkan seminar berbayar lanjutan. Ya sudahlah.
Kami mencari tempat duduk di dalam auditorium gedung, tempat acara dilaksanakan. Cukup besar. Dekorasi terlihat 'cukup serius'. Okelah. Acara diisi dengan presentasi dari orang kantor, acara musik dari orang kantor. Kira-kira 3 lagu. Cukup minimalis. Yang lucu, di panggung terdapat Big Screen yang kemudian diputar musik + lirik karaoke. MC kemudian mengajak penonton untuk menghampiri panggung untuk bernyanyi bersama. Okelah. Saya mengajak beberapa teman pulang.
Dalam perjalanan, saya membahas mengenai hal tersebut. Sebagai gambaran, saya orangnya memang full frontal mouth. Kurang saringan. Kurang diplomatis. Apa adanya. Yang jelek saya bilang jelek. Yang bagus saya bilang bagus. I'm trying to be objective.
Saya : "lagi-lagi bikin acara seadanya. Kita ini divisi mesin uang. Perusahaan harus menghargailah!" ucap saya agak kesal.
Teman : "kalau gw sih, selama perusahaan bayar gaji dan tunjangan gw, gw diem aja." balas teman saya.
Hal ini membuat saya berpikir sejenak. Bukan benar salah. Tapi kata-katanya ini cukup membuat saya merefleksikan tindakan saya selama beberapa bulan terakhir yang semakin hari semakin ga ada saringan untuk mengkritik soal kebijakan kantor. Di satu sisi, idealisme adalah bodong.
Kalau kalian ingin merubah sesuatu, kalian harus ada di puncak piramid. Kalau kita berada di tengah manajemen dan bergaya ingin menegakkan idealisme, yang ada kalian akan dicap pembangkang dan tidak sesuai dengan 'misi' perusahaan. Bukannya dianggap perfeksionis, anda malah dianggap penghalang bagi sebagian atasan.
Seperti apa yang dilakukan teman saya ini, merupakan langkah paling tepat menurut saya dalam bertahan hidup di lingkungan korporasi. Dua pilihan. Pertama, tutup mulut, kerja sesuai tanggung jawab, dan menundukkan kepala nurut sama atasan. Yang kedua, ya pergilah dari perusahaan itu cari yang lebih cocok budayanya dengan kita. Kejadian ini sebagai pengingat bagi saya. Selimutilah bulu serigala kalian dengan bulu domba, jika kalian ingin bertahan di kawanan domba-domba yang tidak dapat dikalahkan oleh seekor serigala.
Ikuti saja alurnya. Sampai muak kalian dan mau ga mau harus resign.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H