Bayangkan, jika kita melakukan suatu kesalahan, entah kata-kata yang salah diucapkan atau tindakan yang dianggap tidak pantas oleh sebagian orang, dapat menyebabkan kita kehilangan reputasi. Sebuah kontroversi membesar dan menyebar dalam hitungan waktu, disambut oleh jutaan komentar tajam.
Cancel culture, begitulah sebutannya, sebuah fenomena di ruang digital yang bisa berdampak di ruang nyata. Dalam lingkungan yang semakin terhubung dengan media sosial, reputasi seseorang dapat berubah dalam sekejap akibat reaksi publik yang begitu cepat dan keras terhadap suatu kesalahan.
Cancel culture merupakan fenomena sosial di mana individu, perusahaan, atau entitas tertentu “dihentikan”, tidak diberi dukungan, ataupun dipermalukan secara publik karena ucapan, tindakan, atau perilaku yang dianggap melanggar etika atau norma sosial oleh sekelompok orang. Sesuatu yang menjadi target cancel culture mengalami pemboikotan eksistensi di ruang publik, baik dunia maya maupun dunia nyata.
Fenomena ini bertujuan untuk memberikan sanksi sosial yang praktis dan efektif dengan harapan pelaku akan memahami dampak perbuatannya dan bertanggung jawab atas kesalahannya. Namun, dalam praktiknya cancel culture sering kali mengabaikan proses klarifikasi atau pembelaan diri dari pihak yang dituduh bersalah, sehingga efek yang dihasilkan bisa jauh lebih besar daripada sekadar sanksi sosial.
Mengapa cancel culture bisa begitu popular di era ini? Alasan utamanya terletak pada kekuatan media sosial. Peristiwa yang melibatkan tokoh publik, seperti selebritas, influencer, bahkan tokoh politik, dapat menyebar dengan cepat dan menjadi sasaran perhatian masyarakat luas.
Tidak sedikit orang-orang yang berpartisipasi melakukan cancel culture kepada entitas lain merasa telah berkontribusi dalam menegakkan keadilan dan memperbaiki norma-norma sosial yang dianggap dilanggar. Orang-orang ini merasa menjadi agen perubahan yang membantu untuk mendorong dunia ke arah yang lebih baik melalui sanksi yang dijatuhkan secara massal.
Di Indonesia sendiri kasus cancel culture pernah beberapa kali menyita perhatian media dan masyarakat. Salah satu contohnya adalah kasus Elmer Syaherman, suami dari influencer Ira Nandha, yang berselingkuh dengan Bella Damaika. Ketika bukti chat perselingkuhan tersebut dipublikasikan oleh Ira Nandha melalui Instagram, perhatian publik dengan cepat dialihkan.
Bahkan, berita tersebut menjadi viral di luar platform Instagram dalam hitungan menit. Komentar dan ajakan untuk memboikot para pelaku bermunculan, berbagai petisi online menyerukan agar perusahaan mereka bekerja segera mengambil tindak lanjut, baik memberikan hukuman pelanggaran atau pemberhentian kerja. Hasilnya? Kedua pelaku tersebut mendapatkan skors kerja selama waktu yang ditentukan serta menghadapi krisis reputasi di ruang publik.
Tidak bisa dipungkiri bahwa cancel culture dapat menjadi alat perubahan sosial, namun dampak negatifnya juga tidak bisa diabaikan. Salah satunya adalah timbul rasa takut bagi seseorang. Banyak individu, terutama tokoh publik, merasa cemas untuk menyuarakan pandangannya atau melakukan tindakan tertentu karena khawatir akan menjadi target cancel culture.
Fenomena ini juga dapat menjadi tindakan ketidakadilan. Pada beberapa kasus, mereka yang menjadi target cancel culture sering kali tidak mendapatkan kesempatan untuk melakukan klarifikasi sebelum sanksi sosial dijatuhkan. Kesalahan kecil kerap menimbulkan komentar yang diambil di luar konteks sehingga memicu respons berlebihan. Akibatnya, individu yang menjadi korban cancel culture menderita kerugian, baik secara pribadi ataupun urusan profesional.