Mohon tunggu...
Chairunisa Rohadi
Chairunisa Rohadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembelajar

Make it easy readers, lets talk about Islam holistically.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Makan Bergizi Gratis, Program yang Pantas untuk Terus Dikritik

21 Januari 2025   10:18 Diperbarui: 21 Januari 2025   10:47 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tulisan sebelumnya, sudah dibahas bahwa setelah berjalannya program Makan Bergizi Gratis dengan nama yang lebih populer yaitu Makan Siang Gratis, kita melihat bagaimana beberapa keriuhan timbul. 

Meminggirkan pertikaian yang berjalan di lapangan, agaknya lagi-lagi masyarakat perlu nih mengkritik program yang memiliki pendanaan besar ini. Apakah berjalan secara efektif? benarkah pelaksanaannya sudah tepat? atau bahkan program ini perlu dievaluasi besar-besar jika memang masih ingin diteruskan?

Jangan sampai permasalahan lain justru timbul dari tindakan yang disebut ingin menyelesaikan masalah ini, tapi malah menumbuhkan kompleksitas yang lebih ekstrem. Yuk kita bahas lebih lanjut!

Pendanaan yang Belum Jelas

Awalnya, program MBG ini tampak menjanjikan. Siapa yang tidak ingin anak-anak Indonesia mendapatkan makanan bergizi secara gratis, kan? Namun, ketika bicara soal pendanaan, semuanya jadi buram. Dilaporkan, pemerintah membutuhkan sekitar Rp100 triliun untuk merealisasikan program ini secara merata. Faktanya, dana tersebut belum sepenuhnya tersedia. Bahkan, beberapa daerah terpaksa "patungan" hingga Rp5 triliun untuk mendukung program ini. Kok jadi begini?

Tidak hanya itu, muncul berbagai usulan yang terkesan asal-asalan, seperti menggunakan uang zakat atau bahkan dana yang disita dari koruptor untuk mendanai MBG. Bukannya solusi, ide-ide ini justru memperlihatkan lemahnya perencanaan pemerintah. Pendekatan seperti ini hanya menambah kebingungan dan membuktikan bahwa program ini tidak dirancang secara matang.

Kualitas Makanan Dipertanyakan

Masalah lain muncul dari kualitas makanan yang disediakan. Dalam beberapa kasus, makanan yang diberikan dalam program MBG justru membahayakan kesehatan. Ada laporan tentang makanan yang basi atau tidak memenuhi standar gizi. Padahal, tujuan utama program ini adalah untuk memastikan anak-anak mendapatkan asupan yang sehat dan bergizi.

Tidak hanya soal kualitas, program ini juga menghadapi risiko meningkatnya food waste. Bermunculan kasus anak-anak yang menolak makan karena makanan yang disediakan dianggap "tidak layak" atau tidak sesuai dengan selera mereka. Akibatnya, banyak makanan yang terbuang sia-sia, menambah masalah baru di tengah upaya menyelesaikan persoalan gizi buruk.

Pemerintah pun berjanji akan memperketat pengawasan kualitas makanan. Tapi, pertanyaannya, kenapa hal ini baru dilakukan setelah muncul kritik? Seharusnya, kontrol kualitas menjadi prioritas sejak awal, bukan reaksi setelah masalah terjadi. Lagi-lagi, ini menunjukkan bahwa program ini diluncurkan tanpa perencanaan yang matang.

Sasaran yang Tidak Tepat

Selain pendanaan dan kualitas makanan, masalah lain adalah soal sasaran program ini. Banyak anak yang seharusnya mendapatkan manfaat dari MBG justru belum tersentuh. Hal ini membuat Presiden Prabowo Subianto,orang nomor satu Indonesia saat ini sekaligus pemilik program, merasa gelisah. Namun, kegelisahan saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah.

Masalah utama yang sebenarnya adalah akar dari tingginya kasus stunting dan gizi buruk. Stunting terjadi karena ketidakmampuan keluarga untuk menyediakan makanan bergizi, yang lagi-lagi berakar pada masalah ekonomi. Program MBG hanya menyentuh permukaan masalah tanpa benar-benar menyelesaikan akar persoalan.

Program Populis yang Menguntungkan Korporasi

Melihat semua masalah ini, muncul anggapan bahwa MBG bukanlah program yang benar-benar didedikasikan untuk rakyat. Sebaliknya, program ini lebih terlihat sebagai proyek pencitraan yang digunakan untuk menarik simpati masyarakat. Dalam konteks tahun politik, tuduhan bahwa MBG dijadikan alat kampanye semakin sulit dibantah.

Yang lebih miris, program ini justru menguntungkan korporasi. Perusahaan-perusahaan besar penyedia makanan mendapatkan keuntungan besar dari program ini, sementara rakyat harus menanggung beban pendanaan melalui pajak dan kontribusi lainnya. Jadi, siapa sebenarnya yang diuntungkan dari program ini?

Solusi Khilafah: Pemenuhan Gizi Berbasis Syariat Islam

Di tengah carut-marutnya kebijakan MBG, mari kita lihat bagaimana Khilafah menawarkan solusi yang lebih menyeluruh. Dalam sistem Khilafah, pemenuhan kebutuhan gizi rakyat adalah tanggung jawab negara yang dikelola sesuai syariat Islam. Dengan mekanisme yang jelas, sistem ini memastikan bahwa tidak ada anak yang mengalami stunting atau kekurangan gizi.

Upaya yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah saat membuat sebuah program dan menjalankan kepemimpinannya adalah upaya preventif untuk mencegah berbagai masalah muncul. Berikut ini beberapa hukum Islam melalui khilafah akan ditegakkan dalam menangani masalah gizi secara sistematis.

Pembangunan Kedaulatan Pangan

Dalam Khilafah, pembangunan kedaulatan pangan menjadi prioritas. Negara akan membangun departemen khusus untuk kemaslahatan umum, yang bertugas memastikan tersedianya bahan pangan berkualitas di masyarakat. Departemen ini juga akan menjaga kualitas pangan melalui pengawasan ketat dan melibatkan para pakar di bidang terkait.

Penyediaan Lapangan Kerja

Stunting dan gizi buruk tidak bisa dilepaskan dari masalah ekonomi. Oleh karena itu, Khilafah memastikan tersedianya lapangan kerja yang luas, sehingga setiap keluarga memiliki penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Dengan begitu, masalah gizi buruk dapat dicegah sejak awal.

Pendanaan yang Beragam

Salah satu keunggulan Khilafah adalah sistem pendanaannya yang kuat. Negara memiliki berbagai sumber pendapatan, mulai dari zakat, kharaj (pajak tanah), hingga hasil tambang dan kekayaan alam lainnya yang akan dikelola secara maksimal. Dengan dana yang besar ini, negara dapat membiayai program pemenuhan gizi tanpa membebani rakyat.

Pelibatan Pakar

Dalam membuat kebijakan terkait gizi dan stunting, Khilafah akan melibatkan para pakar di bidang kesehatan, gizi, dan ekonomi. Dengan pendekatan ini, setiap kebijakan yang dibuat didasarkan pada penelitian dan data yang akurat, bukan sekadar gimik politik.

Program MBG yang mulanya dianggap menjadi solusi untuk mengatasi masalah gizi buruk dan stunting di Indonesia nyatanya ragu menunjukkan keberhasilan. Bahkan dengan berbagai masalah yang muncul, program ini justru terlihat sebagai alat kampanye serta tidak direncanakan dengan baik. Pendanaan yang tidak jelas, kualitas makanan yang dipertanyakan, hingga sasaran yang tidak tepat menjadi bukti bahwa negara belum serius dalam mengurus kebutuhan rakyat.

Sebaliknya, Khilafah menawarkan solusi yang lebih menyeluruh. Dengan pendekatan berbasis syariat Islam, sistem ini memastikan bahwa setiap rakyat mendapatkan kebutuhan gizinya secara merata. Jadi, mungkin sudah saatnya kita mempertimbangkan kembali sistem yang benar-benar mengutamakan kemaslahatan rakyat. Bagaimana menurut kamu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun