Langkah untuk mengadili kebijakannya bisa jadi merupakan salah satu cara untuk menyingkirkannya dari percaturan politik yang dapat mengganggu stabilitas kekuasaan. Terlebih, nama-nama yang sudah lebih dulu terseret dugaan korupsi masih anteng bahkan melenggang di kabinet Merah Putih.
Menarik untuk dicatat bahwa di era politik yang didominasi demokrasi kapitalistik, kebijakan yang pernah dianggap legal dan konstitusional dapat digunakan sebagai senjata balik untuk melemahkan seseorang yang dianggap "tidak sepihak" dengan penguasa.
Demokrasi Kapitalisme: Sebuah Sistem yang Berat Sebelah
Fenomena di atas adalah gambaran dari sebuah sistem yang dijalankan berdasarkan kepentingan kapitalisme, yang mana demokrasi hanya berfungsi sebagai kedok. Dalam demokrasi kapitalisme, tujuan utama bukanlah menciptakan kebijakan yang baik untuk rakyat, melainkan untuk menjaga stabilitas kekuasaan bagi mereka yang berkuasa dan para pendukungnya.
Rakyat hanya dianggap sebagai alat perolehan suara saat pemilu, namun setelahnya menjadi penonton, sementara kebijakan yang ada dijalankan sekadarnya, sekadar untuk menunjukkan bahwa pemerintah masih bekerja.
Istilah "sejarah ditulis oleh pemenang" sangat relevan dalam konteks ini. Mereka yang berkuasa memiliki kendali penuh terhadap narasi dan peristiwa. Pihak-pihak yang dianggap kalah, tidak lagi sesuai dengan kepentingan rezim, atau berpotensi menggoyang kursi kekuasaan akan dimatikan karakternya atau dipaksa menghadapi berbagai tuntutan.
Ketika kekuasaan menjadi orientasi utama, rakyat kehilangan tempat dan peran dalam percaturan politik yang sejatinya harus menjadi milik mereka.
Rakyat, Alat Perolehan Suara dan Penonton di Tengah Kekuasaan yang Berlayar Sendiri
Rakyat memang sering dijadikan alat perolehan suara oleh para elite politik, namun setelah pemilu selesai, mereka hanya menjadi penonton. Kebijakan yang menyentuh kesejahteraan rakyat sering kali hanyalah "lip service" atau bahkan tak terlaksana sama sekali.
Hal ini terbukti dari berbagai program dan janji yang tak kunjung terealisasi dengan baik, padahal dana dan sumber daya yang besar dikerahkan untuk kampanye dan politik pencitraan.
Bahkan program yang bersifat populis kerap kali hanya dijadikan batu loncatan untuk memperoleh dukungan publik tanpa memperhatikan dampak jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat.