Liburan Jumat Agung kemarin saya manfaatkan untuk piknik kilat bersama teman-teman, ke Punthuk Setumbu.
Mungkin banyak yang sudah tahu, Punthuk Setumbu ini tempat yang lumayan terkenal untuk melihat matahari terbit alias sunrise. Letaknya di Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Foto-foto yang ada di internet tentu saja membuat orang semakin tertarik ingin menyaksikan sendiri detik-detik matahari muncul dari balik Gunung dan kabut tebal.
Ah,yang bener aja.
Saya sendiri tahu tentang tempat ini pertama kali dari Azka, adik saya, si local explorer paruh waktu yang merencanakan perjalanan saat J-12 (12 jam sebelum keberangkatan). Dia sudah memburu sunrise Setumbu sejak sebelum dikenakan biaya Rp15.000,00 bagi turis domestik untuk masuk (hiks). Mereka berdua harus tiga kali mendatangi tempat ini sebelum akhirnya “mendapatkan” sunrise karena Merapi terus tertutup kabut. Katanya, pertama kali Azka ke sini, cuma ada dia dan Ndon (temannya), serta turis-turis asing bersama pemandu mereka.
Azka menyarankan kami berangkat dari Magelang maksimal pukul 04.15 dan salat di masjid Sawitan. Tapi, namanya rencana, yaa harus improvisasi. Saya dan Taufik dari Jogja rencana pukul 03.00, realisasinya kami berangkat jam setengah empat. Kami semua salat di rumah, kemudian berkumpul dan cus dari Mertoyudan hampir jam lima.
Kami berbelok ke arah Blondo dan berhenti sebentar untuk mengisi bensin. Saya dan rombongan sudah merasa hopeless melihat ada sinar jingga tipis mulai terang di langit timur. Motor dipacu kencang. Azka hampir menabrak bule yang memakai kaos oranye di depan pertigaan pintu masuk Candi Borobudur.
“Ati-ati Mbak,” kata Lita yang memboncengnya.
Jarak parkiran ke tempat nonton sunrise tidak begitu jauh, hanya jalannya menanjak sehingga butuh tenaga lumayan. Saya sudah membawa senter untuk mengantisipasi gelap di pagi hari. Karena kesiangan, ternyata jalannya terang benderang (haha). Jalan setapak ini maksimal dilewati dua orang. Kondisinya baik, tertata, bahkan di beberapa tanjakan ada anak tangga dari semen untuk memudahkan kita naik. Annis sampai lebih dulu, kemudian duduk beristirahat sejenak untuk mengatur napas.
Pemandangannya persis seperti foto foto di internet. Gunung Merapi-Merbabu di kejauhan, menutupi matahari di belakangnya. Di antara bukit tempat kami berdiri dengan dua gunung raksasa, ada sebuah lembah, luas, yang isinya seperti lautan asap dan awan rendah. Dua bukit kecil menyembul menembus kabut. Di kanannya, bangunan dengan atap lancip ikut nongol.
Atap lancip. Candi Borobudur.
[caption id="attachment_332519" align="aligncenter" width="300" caption="See that? Borobudur"][/caption]
Kabut menyelimuti bukit dan candi Borobudur dalam suasana magis. Lansekap alam menakjubkan di depan mata saya. Nyata. Cantik! Semburat cahaya matahari pelan semakin terang menggantikan gelap di langit. Di arah barat, bulan menyerupai bayangan tipis yang sewaktu-waktu bisa hilang.
Orang-orang bersiap dari balik pagar bambu di tepi bukit. Tempat paling pewe menyaksikan ini semua pastinya di lantai dua rumah panggung di sana, tapi saya dkk lebih memilih duduk di tepi bukit. Selain kami, banyak pemburu sunrise lain yang lebih sigap. Ada yang membawa dua tenda, menginap sejak semalam. Banyak juga yang membawa kamera DSLR plus tripod, minimal tongsis. Turis mancanegara, sudah datang lebih awal dan ambil posisi yang strategis di depan.
[caption id="attachment_332520" align="aligncenter" width="547" caption="Para pemburu sunrise"]
Saya nguping pembicaraan empat bule di belakang. Rupanya, dua dari mereka semacam frequent traveler (ini istilah saya sendiri, haha) yang sudah kemana-mana, minimal satu tempat satu bulan. Sesama orang asing ini bersemangat sharing cerita perjalanan masing-masing. Mereka membandingkan Indonesia dengan tempat lainnya. Salah satu bule tertawa ringan, “Nothing like here, though, Indonesia is different. I mean, its people, culture, you’ll see.” Keren juga Indonesia di mata bule yak.
Taufik menjawil tangan saya, “Eh bule yang tadi naik ojek di belakang, kok bisa sampe duluan ya?” Ia menunjuk ke arah kiri saya.
Hoh, ternyata bule baju oranye! Di loket pembelian tiket masuk kami sempat bertemu, dia sudah datang duluan di depan loket, bertanya dalam bahasa Inggris logat Perancis, bingung dengan rupiah. Kami cepat-cepat naik ke atas setelah bayar—sementara Mas Bule belum selesai, hingga akhirnya guide membantu mengeluarkan Rp30.000,00. Di perjalanan, si bule berjalan di belakang kami, tidak sabar, lalu nyalip dengan langkahnya yang lebar, membuat sang guide harus cekatan mengikuti dari belakang. Mas Bule kini duduk manis dengan headset di kuping dan mata fokus ke arah timur. Saya curiga, sepertinya bule ini rada galau—dilihat dari nafsunya memburu matahari terbit.
Tapi, kok bisa ya dia sampai duluan? Hmm, mungkin para guide tahu jalan pintas. Kami sendiri naik motor ke arah Candi Borobudur, belok kiri di pertigaan depan pintu masuk, belok kanan di perempatan pertama, lurus terus ke arah Desa Karangrejo, sampai jalan menanjak dan kelihatan parkiran motor di kiri jalan. Dari parkiran kita masih harus berjalan ke atas sekitar 20 menit, baru sampai di puncak Setumbu. Di sana ada bale-bale untuk duduk, atau bisa juga leha-leha di atas rumput.
Pulangnya, Azka dan Ami menggunakan toilet di pintu masuk sebentar, karena toilet di atas antrinya panjang. Ya, ada toiletnya kok, jadi jangan khawatir kalau kebelet.
Sebelum berpisah, kami mampir ke warung soto di lapangan seberang kantor telkom sawitan (duh apa ya namanya). Enyaaak. Jangan lupa mengajak keluarga dan teman-teman untuk nonton sunrise!
P.S. Terimakasih my beloved friends and family, skuad pemburu sunrise 18 April:
Taufik, Azka, Lita, Annis, Ami, Arlin, Audra, Siwi, Cikal <3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H