Mohon tunggu...
Chairul Fajar
Chairul Fajar Mohon Tunggu... -

hanya warga negara biasa yang ingin negrinya hidup makmur sejahtera,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tionghoa Indonesia dan Rohingya Burma

7 September 2017   05:27 Diperbarui: 10 September 2017   10:25 2639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menulis ini setelah memblok lebih dari 50 akun Line yang menshare berita tentang Kekerasan di Rakhine lalu melabelinya seakan-akan ini merupakan konflik beragama, seakan-akan ini merupakan perang antara Budha Vs Islam, bahkan sampai ada ajakan "Mengepung" Candi Borobudur dengan aksi damai.

Tanpa mengurangi rasa perihatin saya pribadi terhadap kekerasan yang dialami etnis Rohingya saya ingin mengkritisi keperihatinan kita terhadap kekerasan itu lebih dikarenakan keterikatan kesamaan agama, lalu apakah kita akan diam begitu saja jika situasi yang terjadi berbalik?. atau mungkin yang menjadi objek kekerasannya berbeda agama dengan kita?. saya ingin mempertanyakan lagi apakah kita akan melakukan aksi yang sama melakukan tindakan yang sama, menunjukan keperihatinan yang sama atas dasar sesama manusia yang ingin diperlakukan layak dan adil, bukan karena sesama muslim, sesama kriten, sesama budhis, dan kesamaan sempit lainnya.

Saat ini saya sering melihat taggar dimedsos soal Rohingya #stopmoslemgenocide pertanyaannya adalah apakah sebagai muslim kita akan diam jika terjadi genosida terhadap agama lain? akankah diam saja jika Rohingya bukanlah penganut Islam, akankah kita duduk manis didepan tv dan menganggapnya berita lalu, seperti genosida yang dialami etnis Yazidi di Irak? 

Bukankah dalam Al-Maidah ayat ke-32 disebutkan

           

"Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi."

Mungkin ada yang bertanya kenapa saya memberikan Judul Tionghoa Indonesia dan Rohingya Burma dalam tulisan ini, karena kita harus mengerti yang terjadi disana, Kenapa bukan hanya pemerintah saja yang abai terhadap keberadaan etnis Rohingya, tetapi juga kebanyakan warga Burma sendiri terutama di Rakhine.

Rohingya sendiri memang merupakan pendatang ini dilihat dari bahasa ibu mereka yang merupakan bahasa indo-arya, tidak seperti burma yang merupakan indo-sino, namun mereka sudah berada disana  sejak abad ke-15 saat Rakhine masih bernama Arakan, dan pada saat itu banyak bukti sejarah menunjukan mereka hidup berdampingan secara harmonis, bahkan setelah kerajaan Burma mencaplok Arakan, hubungan Rohingya dengan etnis asli Arakan tetaplah berjalan baik meskipun ditetapkan politik diskriminasi oleh kerjaaan Burma saat itu.

Pada saat Inggris Menganeksasi Arakan mulailah terjadi gesekan, Pada tahun 1826 Inggris mendatangkan tentara dan buruh tani dari Bengal, Pertambahan jumlah pendatang yang besar dalam waktu singkat tidak disertai dengan asimilasi budaya menyebabkan sering terjadi perselisihan antara penduduk lokal dengan pendatang.

Konflik tersebut semakin terpolarisasi dan bukan hanya melibatkan Rohingya dan Rakhine tetapi juga etnis lain di Burma yang mayoritas Budha.

Pasca Kemerdekaan Burma Arakan adalah derah paling miskin di Burma, Pada tahun 1982 Pemerintah Burma tidak memasukan Rohingya dalam etnis asli Burma dalam Hukum Kewarganegaraan, sehingga status mereka adalah pendatang. Arakan sendiri berganti nama menjadi Rakhine sesuai nama etnis mayoritas yang mendiaminya.

Ditengah kondisi ekonomi yang sulit dan tekanan sosial yang dialami etnis Rakhine sendiri dari etnis Burma, ditambah kampanye pemerintah soal Rohingya yang merupakan pendatang ilegal bukan warga asli Burma dan sebagainya, yang dilakukan selama lebih dari 3 Dekade, tertanam kebencian terhadap etnis Rohingya dalam benak masyarakat Burma terutama Rakhine bahwa Rohingya merupakan pencuri kesempatan mereka, pendatang ilegal, hama, dan sebagainya. Disinilah mungkin kita paham kenapa bukan hanya pemerintah Burma yang abai terhadap Kekerasan terhadap Rohingya tetapi menjadi pengabaian dan diskriminasi kolektif warga Burma.

Lalu apa hubungannya dengan Tionghoa Indonesia?. Mau diakui atau tidak sebagai bangsa kita pernah melakukan dosa yang sama. kita pernah melakukan pengabaian dan diskriminasi kolektif terhadap suatu etnis atau golongan.

Pada masa Orde baru kita melakukan diskriminasi sosial pada etnis Tionghoa, meskipun sesama etnis pendatang nasib etnis Tionghoa di Indonesia lebih pahit dibanding etnis Arab maupun India, pada masa orde baru Etnis Tionghoa dianggap sebagai Warga Negara Asing. Mereka diwajibkan mengganti nama Tionghoa mereka dengan nama-nama yang identik dengan Jawa atau Islam. Mereka dilarang menjadi Birokrat, Tentara, Polisi, maupun Pejabat penyelenggara pemerintahan, mereka dilarang menggunakan aksara, bahasa maupun aksesoris yang identik dengan Tionghoa, Melarang sekolah-sekolah Tionghoa, dan melarang acara kebudayaan Tionghoa.

Memang tidak ada laporan kekerasan sosial atau memang tidak pernah dilaporkan. tetapi Tionghoa Indonesia ditengah keterbatasannya mampu bertahan dan cukup cemerlang dibidang ekonomi, bukan hanya itu keterbatasan dan Diskriminasi kolektif terhadap Tionghoa menjadikan mereka kelompok yang sangat ekslusif, ini karena pola pikir mereka saling membantu untuk saling bertahan. Doktrin bahwa mereka warga negara Asing sudahlah melekat dan mendarah daging dimasyarakat Indonesia.

Keberhasilan etnis Tionghoa dibidang ekonomi memupuk kecemburuan sosial, dan bom waktu konflik sosial meledak pada tahun 1998, Etnis Tionghoa menjadi objek kekerasan baik Fisik, Psikis, maupun Sexual. Mereka menjadi target kemarahan dan kekacauan karena dianggap sebagai representasi feodalisme Orde Baru, karena mereka dianggap menguasai ekonomi dan dekat dengan pemerintah, Padahal mereka sendiri merupakan objek diskriminasi Sosial Orde Baru.

Racun sosial yang ditanamkan orde baru sampai saat ini masihlah terasa,kebencian rasial, anti-cina, dan sebagainya masih tersisa disebagian masyarakat, mencari ujaran kebencian soal etnis Tionghoa dimedia sosial saat ini bukanlah hal sulit, meskipun Sejak era Gusdur status warga negara mereka  telah dipulihkan masih ada saja yang menganggap mereka sebagai pendatang, pencuri kesempatan, dan lain sebagainya. pemicunya? kecemburuan ekonomi.

Tionghoa Indonesia dan Rohingya Burma memiliki masalah yang hampir serupa, Mereka sama-sama pendatang, mereka sama-sama sudah ada sejak beberapa generasi, mereka sama-sama mengalami diskriminasi sosial dari negara, dan mereka sama-sama menjadi korban kekerasan yang diakibatkan kecemburuan sosial.

Dan dari sini kita bisa pahami ini bukanlah konflik Agama seperti halnya perang Salib atau perang Badr, ini merupakan konflik sosial efek dari kejahatan sosial terstruktur dipemerintahan masa lalu. Jika mau menangani konflik ini bukan hanya membutuhkan kepala dingin tetapi juga kesadaran dan kemanusiaan.

Tanpa itu konflik seperti ini akan selalu berulang dan berulang lalu meledak saat pemicunya muncul.

Jika perlakuan kita terhadap Tionghoa Indoneisa tak cukup untuk membuat kita becermin tentang kemanusiaan, pada Tahun 1965-1967, 500 ribu hingga 3 Juta orang yang diduga simpatisan PKI dibunuh tanpa proses peradilan, dan hingga kini sebagian besar dari kita bergeming itu adalah sebuah tindakan benar. bahkan saat ada wacana pemerintah meminta maaf kepada keluarga korbanpun diperdebatkan. lalu itukah yang disebut kemanusaiaan?.

Kecamlah sebuah kejahatan karena perbuatannya tanpa melihat siapa pelaku dan korbannya, dan lebih dari itu menjadi refleksi bagi kita sendiri apakah secara sadar atau tidak kita melakukan kesalahan yang sama? dan bagaimana memperbaikinya.

Bagaimana kita menuntut seseorang melakukan sesuatu yang bahkan kita sendiri tak mampu melakukannya.

Jangan pernah menyalahkan Agama, karena kejahatan dan kebaikan bukanlah monopoli agama tertentu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun