Ditengah kondisi ekonomi yang sulit dan tekanan sosial yang dialami etnis Rakhine sendiri dari etnis Burma, ditambah kampanye pemerintah soal Rohingya yang merupakan pendatang ilegal bukan warga asli Burma dan sebagainya, yang dilakukan selama lebih dari 3 Dekade, tertanam kebencian terhadap etnis Rohingya dalam benak masyarakat Burma terutama Rakhine bahwa Rohingya merupakan pencuri kesempatan mereka, pendatang ilegal, hama, dan sebagainya. Disinilah mungkin kita paham kenapa bukan hanya pemerintah Burma yang abai terhadap Kekerasan terhadap Rohingya tetapi menjadi pengabaian dan diskriminasi kolektif warga Burma.
Lalu apa hubungannya dengan Tionghoa Indonesia?. Mau diakui atau tidak sebagai bangsa kita pernah melakukan dosa yang sama. kita pernah melakukan pengabaian dan diskriminasi kolektif terhadap suatu etnis atau golongan.
Pada masa Orde baru kita melakukan diskriminasi sosial pada etnis Tionghoa, meskipun sesama etnis pendatang nasib etnis Tionghoa di Indonesia lebih pahit dibanding etnis Arab maupun India, pada masa orde baru Etnis Tionghoa dianggap sebagai Warga Negara Asing. Mereka diwajibkan mengganti nama Tionghoa mereka dengan nama-nama yang identik dengan Jawa atau Islam. Mereka dilarang menjadi Birokrat, Tentara, Polisi, maupun Pejabat penyelenggara pemerintahan, mereka dilarang menggunakan aksara, bahasa maupun aksesoris yang identik dengan Tionghoa, Melarang sekolah-sekolah Tionghoa, dan melarang acara kebudayaan Tionghoa.
Memang tidak ada laporan kekerasan sosial atau memang tidak pernah dilaporkan. tetapi Tionghoa Indonesia ditengah keterbatasannya mampu bertahan dan cukup cemerlang dibidang ekonomi, bukan hanya itu keterbatasan dan Diskriminasi kolektif terhadap Tionghoa menjadikan mereka kelompok yang sangat ekslusif, ini karena pola pikir mereka saling membantu untuk saling bertahan. Doktrin bahwa mereka warga negara Asing sudahlah melekat dan mendarah daging dimasyarakat Indonesia.
Keberhasilan etnis Tionghoa dibidang ekonomi memupuk kecemburuan sosial, dan bom waktu konflik sosial meledak pada tahun 1998, Etnis Tionghoa menjadi objek kekerasan baik Fisik, Psikis, maupun Sexual. Mereka menjadi target kemarahan dan kekacauan karena dianggap sebagai representasi feodalisme Orde Baru, karena mereka dianggap menguasai ekonomi dan dekat dengan pemerintah, Padahal mereka sendiri merupakan objek diskriminasi Sosial Orde Baru.
Racun sosial yang ditanamkan orde baru sampai saat ini masihlah terasa,kebencian rasial, anti-cina, dan sebagainya masih tersisa disebagian masyarakat, mencari ujaran kebencian soal etnis Tionghoa dimedia sosial saat ini bukanlah hal sulit, meskipun Sejak era Gusdur status warga negara mereka  telah dipulihkan masih ada saja yang menganggap mereka sebagai pendatang, pencuri kesempatan, dan lain sebagainya. pemicunya? kecemburuan ekonomi.
Tionghoa Indonesia dan Rohingya Burma memiliki masalah yang hampir serupa, Mereka sama-sama pendatang, mereka sama-sama sudah ada sejak beberapa generasi, mereka sama-sama mengalami diskriminasi sosial dari negara, dan mereka sama-sama menjadi korban kekerasan yang diakibatkan kecemburuan sosial.
Dan dari sini kita bisa pahami ini bukanlah konflik Agama seperti halnya perang Salib atau perang Badr, ini merupakan konflik sosial efek dari kejahatan sosial terstruktur dipemerintahan masa lalu. Jika mau menangani konflik ini bukan hanya membutuhkan kepala dingin tetapi juga kesadaran dan kemanusiaan.
Tanpa itu konflik seperti ini akan selalu berulang dan berulang lalu meledak saat pemicunya muncul.
Jika perlakuan kita terhadap Tionghoa Indoneisa tak cukup untuk membuat kita becermin tentang kemanusiaan, pada Tahun 1965-1967, 500 ribu hingga 3 Juta orang yang diduga simpatisan PKI dibunuh tanpa proses peradilan, dan hingga kini sebagian besar dari kita bergeming itu adalah sebuah tindakan benar. bahkan saat ada wacana pemerintah meminta maaf kepada keluarga korbanpun diperdebatkan. lalu itukah yang disebut kemanusaiaan?.
Kecamlah sebuah kejahatan karena perbuatannya tanpa melihat siapa pelaku dan korbannya, dan lebih dari itu menjadi refleksi bagi kita sendiri apakah secara sadar atau tidak kita melakukan kesalahan yang sama? dan bagaimana memperbaikinya.