Banyak hal yang bisa di eksplorasi dari para penghutang ini, mulai dari aspek fobia personalnya, rahasia hidup, kehidupan sosial. Cerita bencong di atas hanya salah satu cara saja, dan itu berlaku buat orang yang berprinsip ‘ Gua pilih mati daripada ketemu bencong ‘, saya bicara ini gada maksud merendahkan ras gender tertentu tidak menentu tapi realita memang masih banyak yang fobia dengan hal seperti ini.
Buat para debt collector, harap lebih cerdas memahami client. Dengan adanya alasan HAM, undang undang perlindungan konsumen, dan alasan kemanusiaan, kalo masih gitu gitu aja pola kerjanya , kewenangan kerja anda semakin sempit dan cara cara anda sudah tidak relevan. Apalagi profesi anda sekarang semakin banyak di sorot, kecuali salah satu teman anda ada yang bisa nge-lipsync lagu ‘chaya-chaya’ di you tube mungkin pencitraan profesi anda bisa lebih baik.Kalaupun iya saran saya jangan lagu itu kecuali anda mau ribut sama Norman Briptu, masih banyak pilihan lagu india lain.
Pola kerja anda mungkin masih relevan di suku Yanomamo di Papua Newguinea yang masih tinggal di hutan, itupun mereka bayar utang pake singkong atau ubijalar.
Dan buat para busniseman, ini adalah celah investasi yang masih kosong, kalo ada yang mau invest sok lah saya mau jadi Koordinator Debt Collector model baru ini?
Buat para penghutang, jangan kaget kalo suatu saat debt collector saya datang ke rumah anda tapi enggak dengan muka serem, cukup dengan ucapan
“Pak saya tahu anda punya hutang ke client kami, saya pengen kita damai damai saja, hanya saya yakin bapak gak mau kan istri dan keluarga bapak tahu pas muda bapak dulu pernah kasus ngawinin kambingnya pak broto di kampung itu, saya fotonya ada lho ”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H