Tapi saya sampaikan juga keinginan ayah kepada saudara-saudara saya yang tinggal jauh dari rumah.
"Nanti kita usahakan," kata abang saya yang paling tua.
"Berapa harganya?" tanya abang saya yang nomor dua.
"Kakak sedang tidak punya uang," kata kakak saya.
"Ayah dirumahkan saja," kata abang saya yang nomor tiga.
Karena tidak ada kepastian dari saudara-saudara saya, dan karena racauan ayah semakin lama semakin panjang, saya menemui Bang Dadu, berharap ia mau menyewakan traktor miliknya. "Mengapa tidak?" jawabnya. Saya berterima kasih kemudian menemui ayah saya di rumah. Ia sedang duduk di dapur. Matanya memandang ke luar jendela. Kaki bukit, petak-petak sawah, pematang, genangan air, warna hijau, angin berembus, burung-burung terbang, orang-orangan sawah bergoyang... saya jadi lupa untuk apa saya menemuinya.
Berdiri di belakang ayah, saya jadi ingat pendiri PUN-PUN, Jon Jandai, lelaki unik dari Thailand. Ia petani biasa yang punya pemikiran luar biasa. Ayah, secara subjektif, juga luar biasa. Ia sudah tua dan masih ingin bekerja. Mimpinya tentang kerbau besi ia dapat setelah melihat Bang Dadu pulang dari kota, dan sejak itu ia meracau. Setiap kali ia meracau, saya membayangkan ia sedang menunggang kerbau besi dengan sebatang rokok terselip di bibirnya. Begitu selesai membajak sawah, ia akan berkeluh-kesah tentang bantalan tempat duduknya yang terlalu tipis. "Ini harus diganti," katanya, lalu memandang tanah yang baru saja ia bajak dengan mata tuanya.
Dalam bayangan saya, ketika saya menatap mata ayah, mau tidak mau saya ingat lirik-lirik lagu Ebit G. Ade. Kadang-kadang saya menyanyikan lagu itu sambil lalu:
...
Ayah
Dalam hening sepi kurindu