(Jika mereka menganggapku gila, itu bukan salahku; itu salah mereka sebab berpikir bahwa aku gila).
***
Di atas panggung, dengan mengenakan kemeja dan celana panjang yang tampak lusuh ditimpa cahaya lampu berwarna kemerahan, ia mengawali presentasinya dengan sebuah ungkapan yang selalu ingin ia sampaikan kepada semua orang dalam hidupnya; "Hidup itu mudah".
Jon Jundai, pendiri Pun Pun, pusat belajar mandiri dan tempat penyimpanan benih, adalah pria unik yang saya ketahui -- setidaknya itu kesan pertama saya setelah selesai menonton video ceramahnya di TEDxDoisuthep, yang tayang pada 2010 lalu, berjudul "Life Is Easy; Why We Make It So Hard".Â
Ia lahir di desa miskin di Timur Laut Thailand. Ketika masih kanak-kanak, ia merasa hidup begitu mudah dan menyenangkan. Setiap orang bekerja dua jam sehari, dua bulan dalam setahun, dan mereka punya banyak waktu luang untuk menyendiri, memikirkan hidup mereka, memikirkan hal-hal yang ingin dan tak ingin mereka lakukan.
"Itu sebabnya ada banyak festival di Thailand," katanya, "sebab semua orang punya banyak waktu luang".
Namun begitu listrik dan TV masuk ke desanya, diikuti berbagai barang elektronik dan orang-orang yang berkata bahwa ia miskin, bahwa ia harus mengejar kesuksesan dalam hidupnya, dan bahwa ia harus pergi ke Bangkok untuk meraih kesuksesan itu, Jundai pun mulai merasa bahwa ia memang miskin.Â
Itulah yang mendorongnya pergi ke Bangkok, tempat di mana ia harus bekerja keras, setidaknya bekerja selama delapan jam sehari, tidur di ruangan sempit bersama orang banyak, dan hanya bisa makan mi atau nasi goreng.
Selama berada di Bangkok Jundai juga sempat belajar di universitas, tetapi rutinitas di tempat itu membuatnya cepat merasa bosan; ia bahkan menganggap universitas memiliki pengetahuan yang bersifat merusak.Â
"Jika Anda belajar menjadi seorang insinyur atau arsitek," katanya, "itu berarti Anda akan lebih merusak. Kalau kita masuk fakultas pertanian atau sejenisnya, artinya kita sedang belajar bagaimana cara meracuni tanah dan air".