Mohon tunggu...
Chairil Anwar B.
Chairil Anwar B. Mohon Tunggu... Buruh - Pekerja Kasar

Dilihat dari sisi manapun, rasanya tak ada yang menarik dari diri saya. Karena itu, ada baiknya bila saya abaikan saja bagian ini.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

M.L Stein: Nasihat bagi yang Ingin Menjadi Penulis Lepas

8 Januari 2023   23:28 Diperbarui: 8 Januari 2023   23:51 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah sepuluh tahun mengajar penulisan nonfiksi dan membaca ratusan naskah, M.L Stein menyimpulkan beberapa penyebab yang membuat para penulis pemula, termasuk saya, gagal menjadi penulis lepas dengan status freelance sukses. Karena itu, agar teman-teman tidak mengalami hal yang sama seperti yang saya alami, (saya pikir) ada baiknya bila saya membagikan beberapa nasihat Stein soal penulisan nonfiksi.

Pertama, membaca artikel-artikel terterbitan majalah (media), tempat di mana kita akan mengirimkan artikel. Dengan kata lain, membaca untuk mempelajari gaya dan struktur penulisan yang disukai oleh redaktur majalah tersebut. IDN Times Community, misalnya, secara otomatis mengharuskan para kreatornya membuat lima subjudul dalam artikel mereka -- di samping menambahkan gambar, memasukkan sumber gambar, dan ditutup dengan kesimpulan yang kuat.

Jika kita bukan penulis terkenal dan menulis di IDN Times Community tanpa menghiraukan panduan tadi, kemungkinan besar artikel kita terbit di bagian pending. Atau, yang paling buruk; rejected. Bagaimana dengan majalah lain? Bobo, kita tahu, khusus untuk pembaca anak-anak; Femina mengedepankan urusan perempuan; dan Historia selalu mengulas soal sejarah.

Beberapa keterangan di atas, tentu saja, tidak menunjukkan gaya penulisan macam apa yang disukai oleh redakturnya. Ia lebih kepada jenis artikel yang terbit di media tersebut. Maksud saya, jika teman-teman ingin mempelajari gaya penulisan yang disukai oleh redaktur sebuah majalah (media), maka teman-teman perlu membaca tulisan-tulisan yang terbit di majalah tersebut.

***

Well, mari kita lihat apa-apa saja nasihat Stein soal penulisan nonfikasi.

Kamu Tidak Bisa Menulis Artikel Dengan Hanya Berdiam Diri Di Rumah

Saya cukup yakin bahwa Stein menulis pesan tersebut sebelum ia menge Facebook dan Youtube. Tapi ia masih relevan; kita tidak selalu bisa menulis artikel dengan hanya mengandalkan ingatan pada pengalaman pribadi maupun pengalaman anggota keluarga kita, orang-orang terdekat kita, atau seseorang yang kemarin sore nyaris tak tergantikan. Bahwa pengalaman pribadi bisa menarik perhatian redaktu, ya! Kenapa tidak?

Menurut Stein, untuk menulis sebuah artikel, kita perlu pergi ke perpustakaan dan membaca beberapa buku, menemui narasumber, atau, seperti yang sering saya lakukan; menelusuri situs-situs yang ada di Google.

Intinya kita tidak berdiam diri seperti pertama; kita mesti bergerak untuk menjemput data dan fakta, di manapun ia berada.

Membumbui Artikel Dengan Anekdot

Kemampuan membuat lelucon atau humor sebenarnya hampir naluriah. Kita melakukannya begitu saja. Karena itu, ia tidak mudah untuk diajarkan. Namun saya yakin setiap kita pernah membuat lelucon atau guyonan yang membuat teman-teman kita tertawa karenanya. Dalam penulisan kita -- sedapat mungkin -- juga perlu menghadirkan humor yang sesuai dengan konteks, sebab ia akan membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan. Saya sendiri merasakan pengalaman itu ketika, misalnya, membaca buku Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat.

Dulu, calon presiden Amerika, Ronald Reagan, pernah menyewa seorang penulis profesional untuk menyindir petahana Jimmy Carter, yang dianggap lamban dalam mengambil keputusan. Penulis bayaran itu menulis seperti ini:

Suatu hari sahabat Jimmy Carter meninggal dunia, dan ia diminta berpidato pada upacara pemakan tersebut. Pidato Carter panjang sekali, sampai-sampai yang wafat pun ikut menguap.

Di Indonesia, kita tahu, Mahbud Djunaidi merupakan penulis yang kerap memasukkan humor -- termasuk satir -- ke dalam tulisan-tulisannya. Tentang syarat-syarat munculnya sebuah revolusi, misalnya, Mahbud menulis;

Apa itu revolusioner? Kalau ada tukang daging di pasar mengamuk dan acung-acungkan dia punya golok, itu bukan revolusioner. Itu adalah orang kalap biasa yang kepalanya musti disiram air kulkas.

Apakah kita juga bisa menulis seperti itu? Saya tidak tahu. Agaknya hanya Mahbud Djunaidi yang mampu melakukannya. Jika kita ikut-ikutan menulis 'acung-acungkan dia punya golok,' atau 'air kulkas' (untuk menyebut air es), saya kira redaktur atau editor akan menganggap kita tidak bisa menulis.

Jangan Menulis Hal Yang Terlalu Luas

Beberapa waktu lalu saya membaca artikel mengenai "Sejarah Bahasa Indonesia" dan "Tanggapan Masyarakat Mengenai Penjualan Online". Untuk judul pertama, saya menyayangkan si penulis tidak memasukkan nama Raja Ali Haji, tidak di bagian awal, tidak di bagian tengah, tidak juga di bagian akhir artikelnya. Ia hanya membahas sedikit soal Sumpah Pemuda dan Undang-Undang Tentang Bahasa Nasional.

Saya sepenuhnya sadar bahwa si penulis mempunyai hak untuk menulis dengan cara seperti itu, sebuah cara yang meninggalkan kesan 'wow' pada bagian judul, kesan lebih 'wow' pada bagian isi, dan 'luar biasa' secara keseluruhan. Namun, menurut Stein, lebih baik penulis pemula menulis topik yang tidak terlalu luas tetapi kongkret.

Untuk judul kedua, saya tidak menemukan satu pun data yang menunjukkan bawah kesimpulannya bisa diterima: Masyarakat sangat puas dengan sistem penjualan online. Si penulis, menurut saya, hanya sibuk menunjukkan pandangannya sendiri soal penjualan online dan tidak menopang klaim-klaimnya dengan data yang valid.

Namun yang membuat saya kesal adalah fakta bahwa kedua tulisan itu mendapat tanggapan positif; sangat bermanfaat, luar biasa, mengesankan... (saya pikir pujian semacam itu hanya akan menjerumuskan si penulis).

"Jika ada kebakaran hutan," tulis Stein, "jangan dulu berpikir soal kehancuran lingkungan yang disebabkan oleh bencana tersebut. Tema itu garapan penulis editorial. Sebagai gantinya, Anda perlu mencari cerita menarik di balik kejadian itu untuk dijadikan bahan tulisan. Mungkin ada petugas yang mendapat penghargaan karena mati-matian memadamkan api".

Tulisan Nonfiksi Perlu Data Dan Fakta Yang Akurat

Jelas! Tapi biar lebih jelas lagi, izinkan saya mengulanginya; "Tulisan nonfiksi perlu data dan fakta yang akurat". Tanpa kedua hal itu, tulisan kita akan terasa mentah. Tidak kuat.

Stein punya nasihat bagus soal data dan fakta dalam tulisan; "Ketika Anda sudah menulis draft artikel, carilah titik-titik lemahnya. Jika ada kalimat dan bahasa puitis, gantilah dengan pemaparan fakta-fakta yang kuat. Jika masih ada fakta yang atau data yang kurang, datangilah narasumber Anda sekali lagi. Artikel-artikel nonfiksi tidak bisa melayang di atas gelembung imajinasi Anda".

***
Well, itu tadi beberapa nasihat dari Stein untuk siapa saja yang ingin menjadi penulis lepas. Saya membagikannya dengan pertimbangan bahwa ia berguna bagi kita, para penulis pemula di Kompasiana, atau siapa saja yang ingin menjadi penulis lepas. Dan bila itu mengharuskan kita bekerja ekstra, lakukan saja!

Yang terakhir; Karya nonfiksi harus ditulis dengan hidup dan jernih. Tidak kaku. Apalagi resmi.***

(From "Take Five: The Most Common Mistakes Among Beginning Freelancers_ M.L Stein, 1976)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun