Suatu hari sahabat Jimmy Carter meninggal dunia, dan ia diminta berpidato pada upacara pemakan tersebut. Pidato Carter panjang sekali, sampai-sampai yang wafat pun ikut menguap.
Di Indonesia, kita tahu, Mahbud Djunaidi merupakan penulis yang kerap memasukkan humor -- termasuk satir -- ke dalam tulisan-tulisannya. Tentang syarat-syarat munculnya sebuah revolusi, misalnya, Mahbud menulis;
Apa itu revolusioner? Kalau ada tukang daging di pasar mengamuk dan acung-acungkan dia punya golok, itu bukan revolusioner. Itu adalah orang kalap biasa yang kepalanya musti disiram air kulkas.
Apakah kita juga bisa menulis seperti itu? Saya tidak tahu. Agaknya hanya Mahbud Djunaidi yang mampu melakukannya. Jika kita ikut-ikutan menulis 'acung-acungkan dia punya golok,' atau 'air kulkas' (untuk menyebut air es), saya kira redaktur atau editor akan menganggap kita tidak bisa menulis.
Jangan Menulis Hal Yang Terlalu Luas
Beberapa waktu lalu saya membaca artikel mengenai "Sejarah Bahasa Indonesia" dan "Tanggapan Masyarakat Mengenai Penjualan Online". Untuk judul pertama, saya menyayangkan si penulis tidak memasukkan nama Raja Ali Haji, tidak di bagian awal, tidak di bagian tengah, tidak juga di bagian akhir artikelnya. Ia hanya membahas sedikit soal Sumpah Pemuda dan Undang-Undang Tentang Bahasa Nasional.
Saya sepenuhnya sadar bahwa si penulis mempunyai hak untuk menulis dengan cara seperti itu, sebuah cara yang meninggalkan kesan 'wow' pada bagian judul, kesan lebih 'wow' pada bagian isi, dan 'luar biasa' secara keseluruhan. Namun, menurut Stein, lebih baik penulis pemula menulis topik yang tidak terlalu luas tetapi kongkret.
Untuk judul kedua, saya tidak menemukan satu pun data yang menunjukkan bawah kesimpulannya bisa diterima: Masyarakat sangat puas dengan sistem penjualan online. Si penulis, menurut saya, hanya sibuk menunjukkan pandangannya sendiri soal penjualan online dan tidak menopang klaim-klaimnya dengan data yang valid.
Namun yang membuat saya kesal adalah fakta bahwa kedua tulisan itu mendapat tanggapan positif; sangat bermanfaat, luar biasa, mengesankan... (saya pikir pujian semacam itu hanya akan menjerumuskan si penulis).
"Jika ada kebakaran hutan," tulis Stein, "jangan dulu berpikir soal kehancuran lingkungan yang disebabkan oleh bencana tersebut. Tema itu garapan penulis editorial. Sebagai gantinya, Anda perlu mencari cerita menarik di balik kejadian itu untuk dijadikan bahan tulisan. Mungkin ada petugas yang mendapat penghargaan karena mati-matian memadamkan api".
Tulisan Nonfiksi Perlu Data Dan Fakta Yang Akurat
Jelas! Tapi biar lebih jelas lagi, izinkan saya mengulanginya; "Tulisan nonfiksi perlu data dan fakta yang akurat". Tanpa kedua hal itu, tulisan kita akan terasa mentah. Tidak kuat.
Stein punya nasihat bagus soal data dan fakta dalam tulisan; "Ketika Anda sudah menulis draft artikel, carilah titik-titik lemahnya. Jika ada kalimat dan bahasa puitis, gantilah dengan pemaparan fakta-fakta yang kuat. Jika masih ada fakta yang atau data yang kurang, datangilah narasumber Anda sekali lagi. Artikel-artikel nonfiksi tidak bisa melayang di atas gelembung imajinasi Anda".