Satu hal yang menjadi kebiasaan saya saat menulis adalah menulis sambil mengedit. Sejauh yang bisa saya ingat, kebiasaan ini mulai terbentuk sejak saya masih di Sekolah Menengah Pertama dan terus berlanjut sampai di tingkah selanjutnya. Padahal, menulis dan mengedit adalah dua hal yang mestinya dilakukan pada waktu yang berbeda, bukan setelah selesai menulis satu atau dua kalimat.
Saya tidak sedang bermaksud menyalahkan guru Bahasa Indonesia saya atas apa yang ia lakukan pada saya, pada teman-teman saya, atau pada para siswa yang berkesempatan mengikuti kelasnya. Tidak. Sama sekali tidak. Saya hanya menyayangkan mengapa beliau membiarkan para siswanya -- termasuk saya -- menulis sambil mengedit. Dan untuk semua kebingungan saya pada saat mengarang, misalnya mengarang cerita pendek, mengapa beliau tidak menyarankan agar saya melakukan freewriting alias menulis bebas?
Sekarang, ketika saya melihat ke belakang, saya pikir satu-satunya jawaban hanya ini: "Sebab beliau tidak suka membaca". Saya ingin jelaskan mengapa saya bisa sampai pada kesimpulan itu, tetapi saya merasa perlu menyampaikan yang ini; untuk setiap tugas mengarang, beliau hanya berpesan agar kami segera mengumpulkannya bila sudah selesai, atau sebelum lonceng tanda pergantian jam berbunyi -- mungkin juga lonceng pertanda istirahat.
Sebelum hari itu, saya dan teman-teman yang lain sama sekali tidak mengerti soal penulisan. Kami juga tidak suka membaca buku. Dan ketika guru Bahasa Indonesia meminta kami mengarang, kau tahu, yang paling mungkin kami lakukan adalah bertanya-tanya satu sama lain tentang apa yang harus ditulis.
Beliau juga tidak menjelaskan apa yang membuat sebuah karangan dianggap bagus dan layak diapresiasi, misalnya dengan sanjungan atau pujian. Apakah karena kesesuaian isi dengan tema? Apakah karena ia tidak mengandung unsur sara dan pornografi? Apakah karena cerita itu benar-benar terjadi yang membuatnya pantas mendapat predikat bagus? Ah, tentu tidak. Sebuah cerita tidak lantas dianggap bagus hanya karena penulisnya menuturkan apa yang benar-benar ia alami. Sebaliknya, cerita yang disampaikan secara bagus akan tetap dianggap bagus meskipun ia tidak sungguh-sungguh terjadi.
Yang tak kalah menarik, saya tidak ingin teman-teman saya membaca karangan saya. Mereka juga tidak ingin saya membaca tulisan mereka. Karena itu, pada saat mengumpulkan tugas, masing-masing dari kami selalu berusaha menyelipkan hasil karangan kami di antara buku-buku lain.
Saya tidak tahu apakah semua guru Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah lain di tempat saya juga melakukan hal yang sama pada para siswanya atau ada kemungkinan lain, misalnya mewajibkan para  siswa membaca sebuah karya dalam kurun waktu tertentu sebelum memberikan tugas, persis seperti yang dilakukan oleh seorang guru Bahasa Spanyol dalam Lecturas Obligatorias milik Alejandro Zambra, atau guru kocak dalam Madame Bovary. Saya tidak tahu.
Untuk merasionalkan keadaan ini, atau sebagai pembelaan terhadap guru Bahasa Indonesia yang meminta kami mengarang sebelum ia sendiri menjelaskan tentang cara mengarang, yang saya bisa sampaikan hanya ini; beliau menganggap bahwa kami tahu cara melakukannya, meskipun ia sendiri melihat bahwa kami menulis sambil mengedit.***
(Tulisan ini merupakan hasil freewriting selama kurang dari sepuluh menit)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H