(Tulisan ini merupakan bagian dari artikel "Raja Ali Haji; Pemersatu Bangsa Lewat Bahasa" yang saya ikut sertakan dalam Sayembara Penulisan Karya Tulis Ilmiah Populer yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Kepri 2022)
***
Hermann Theodoor Friedrich Karl Emil Wilhelm August Casimir Von de Wall. Itu nama yang mengingatkan kita pada tiga tokoh besar Eropa abad ke-18 dalam satu tarikan nafas; Friedrich Wilhelm Nietzche, Karl Mark, dan Auguste Comte.
Tetapi demi kenikmatan pembacaan, kita bisa bayangkan lelaki itu memiliki bentuk wajah seperti telur ayam dengan hidung mancung dan rahang yang sedikit lebar -- saya tidak mengatakan ia juga memiliki bintik-bintik hitam di wajahnya yang putih dan mulus, tetapi jika Anda bisa membayangkan hal itu secara jelas, saya kira itu akan memperkuat deskripsi tadi.
Von de Wall berusia 22 ketika tiba di Hindia Belanda pada akhir Februari 1829. Dan, tentu saja, ia tidak datang sebagai buruh tambang yang siap mati kapan saja oleh bongkahan batu, atau sebagai pemetik daun teh dengan bakul besar dan topi lebar. Von de Wall datang sebagai sersan pasukan berkuda dan memimpin satu pasukan di Cirebon pada tahun kedua.
Dari Cirebon, sersan pasukan berkuda ini dipindahkan ke Sukadana sebagai pemimpin sipil dan sekitar tahun 1855, dengan kemampuan berbahasa Melayu yang cukup baik, ditambah daftar kata yang ia susun, kata-kata yang belum dijelaskan dalam kamus manapun, ia diangkat menjadi pegawai bahasa dan menjabat sebagai asisten residen kelas satu dengan kontrak awal 600 gulden dan 1.200 gulden menjelang pensiun -- nominal itu belum ditambah bonus mengumpulkan naskah, menyalin naskah, dan sedikit pajak dari para penyalin naskah. Sebagai pegawai bahasa, Von de Wall bertugas menyusun tata bahasa dan kamus dwibahasa (Melayu-Belanda, Belanda-Melayu).
Pada masa itu, buku tata bahasa dan kamus diperlukan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bahan ajar bagi para pegawai, untuk memperbaiki terjemahan Injil, dan untuk mempelajari bahasa Melayu itu sendiri. Kecuali itu, sersan pasukan berkuda ini sebenarnya bukan orang pertama yang ditugaskan untuk melakukan tugas pembukuan tersebut, sebab pada 1830-an, Lenting dan Schaap sudah mengemban tugas tersebut, disusul oleh Rooda van Eysia pada 1840-an dengan hasil yang juga tidak memuaskan.
Von de Wall memulai karir baru ini (pemburu naskah) dengan mengunjungi tanah Jawa dan bertemu Raja Ali Haji di Riau pada tahun kedua atau pada 1857. Menjelang akhir 1850-an, Raja Ali Haji mulai membantu Von de Wall memeriksa naskah-naskah dan mengumpulkan kata-kata untuk kamus dwibahasanya.
Meskipun memeriksa naskah dan mengumpulkan kata-kata bukan perkara mudah, dan meskipun Von de Wall mendapat uang tambahan untuk pengumpulan dan penyalinan naskah, Raja Ali Haji tidak menerima bayaran apa-apa kecuali berupa hadiah. Ia baru menerima bayaran dalam bentuk uang tujuh tahun kemudian, dan uang tersebut ia gunakan untuk membayar juru tulis yang membantunya.
Von de Wall sendiri bukanlah orang pertama yang meminta bantuan kepada Raja Ali Haji. Pada pertengahan abad ke-18, Residen Willer (1853-1854) juga meminta bantuan Raja Ali Haji untuk menyusun silsilah keluarga istana Riau, melengkapi catatan Netscher yang sudah diterbitkan -- meskipun belum lengkap.
**