Mohon tunggu...
Adzan Koeboe
Adzan Koeboe Mohon Tunggu... -

Alumni Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya), Jurusan Sastra Daerah Minangkabau, Universitas Andalas Padang. Berdomisili di Jambi. Menulis puisi dan telah dipublikasikan di beberapa media cetak.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pendekar dalam Reality Show

21 April 2011   20:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:32 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Oleh: C. H. Yurma

Malam hari di sebuah kota. Sebuah mobil berhenti. Dua orang –pembawa acara:laki-laki dan perempuan– masuk, kemudian menuju ke sebuah daerah pedesaan. Sampai di sana, dua orang itu berjalan menyusuri perkebunan.

Dari kejauhan, tampak dua rombongan berjalan tergesa, datang dari arah yang berlawanan dan akhirnya bertemu di satu tempat yang telah dipasang semacam papan peringatan. Dua orang tadi terkejut lalu memilih tempat aman untuk mengintip, menyaksikan peristiwa yang akan terjadi selanjutnya.

Kedua rombongan itu saling adu mulut sambil menunjuk-nunjuk ke papan yang terpancang, hingga akhirnya terjadi kontak fisik. Barangkali pertengkaran yang terjadi disebabkan oleh perebutan atau penyalahgunaan batas tanah.

Gerakan-gerakan masing-masing mereka memperlihatkan bahwa mereka adalah orang yang pandai bela diri (silat). Memasang kuda-kuda sebelum berkelahi dan mahir dalam melakukan serangan atau menghindari serangan lawan.

Pada bagian selanjutnya, dua orang itu mencari seorang tokoh silat dan salah seorang dari mereka (perempuan) berguru kepada tokoh silat tersebut. Pada malam harinya si perempuan bergabung dengan murid-murid lainnya untuk mempelajari gerak dasar silat, kemudian langsung mempraktekannya dengan cara bertarung melawan murid lainnya.

Keesokan harinya, di malam hari, perempuan tersebut mengantarkan kopi ke pos penjagaan sekolah, tempat sang guru mencari nafkah sebagai penjaga sekolah. Tiba-tiba si wanita melihat adanya bayangan.

Ia mencoba memastikan bahwa itu adalah gurunya. Ia berjalan mengikuti kemana arah bayangan tersebut bergerak sambil memanggil-manggil sang guru. Tapi yang ia temukan justru segerombolan orang-orang bertopeng. Kemudian wanita tersebut mengejarnya dan terjadilah pertarungan tak seimbang. Tak lama berselang, muncul sang guru dan menyelamatkan si wanita tersebut yang nyaris terbunuh saat salah seorang perampok menyerang dari belakang.

Peristiwa di atas adalah ilustrasi salah satu program acara ”Pendekar” yang ditayangkan TRANS 7 setiap Minggu malam, pada pukul 23:00 WIB.

Di saat televisi lebih banyak menayangkan sinetron dengan gaya hidup mewah kebanyakan tokohnya, informasi seputar kehidupan artis yang tak lebih dari sebuah cara untuk meraih popularitas lewat gosip, kuis tengah malam dengan pembawa acara yang menggoda serta menawarkan berbagai “keuntungan”, iklan-iklan yang mengarahkan penonton ke perilaku hidup konsumtif, atau film-film Hollywood yang secara tidak langsung mengusung gaya hidup barat, acara Pendekar ini menjadi sebuah suguhan yang menarik untuk mendekatkan kembali kekayaan seni tradisi (silat atau pencak silat) kepada masyarakat.

Tak pula dapat dipungkiri bahwa tayangan-tayangan kebanyakan, yang saat ini memenuhi siaran televisi akan menjadi penentu kebutuhan manusia. Kebutuhan yang ditentukan oleh iklan di televisi dengan iming-iming prestise, hadiah-hadiah, dan gaya hidup eksklusif. Membuat identitas diri bukanlah apa yang dibentuk melalui hati dan pikiran, tetapi menjadi apa yang didiktekan oleh televisi.

Satu hal yang sering terlupa dari perhatian bahwa pencak silat merupakan salah satu karya budaya bangsa dan melalui silat dapat ditemukan unsur-unsur yang membentuk suatu kebudayaan, yaitu hasil dari olah cipta, rasa dan karsa.

Silat bukan hanya sebagai alat untuk membela diri, akan tetapi “lahir silat mencari kawan, batin silat mencari Tuhan”. Silat untuk Silaturahmi. Silat juga tentang bagaimana seorang pesilat bisa menyelaraskan antara keahlian bersilat dengan kemampuan menjaga tata perilaku dalam hubungan sosial dan hubungan dengan Tuhannya.

Kaki dan tangan bukan untuk diadu, tetapi untuk melangkah menemukan kawan, kemudian berjabat-tangan sebagai tanda terjalinnya silaturahmi.

Pada tingkat individu, pencak silat dapat membina manusia karena terdapat unsur batiniah di dalamnya. Pada tingkatan koletif atau sosial pencak silat dapat merangkul antar individu dan mengikatnya dalam suatu hubungan sosial (silaturahmi).

Sesuai dengan judul program acaranya ”Pendekar”, sekilas tak terlihat adanya masalah pada ilustrasi. Karena pendekar adalah sebutan bagi orang yang ahli dalam ilmu bela diri (silat), maka yang diperlihatkan dalam tayangan itu adalah hal-hal yang berkaitan dengan silat, termasuk pendekar-pendekar yang sedang berkelahi atau bertarung.

Akan tetapi, ilustrasi dengan menampilkan adegan pertarungan sebagai pembuka tayangan acara seperti menyampaikan bahwa kegunaan silat adalah untuk bertarung dan melumpuhkan. Ditambah lagi pertarungan yang terjadi disebabkan oleh perkara tanah, seolah-olah pertarungan yang dilakukan oleh para pendekar tersebut adalah jalan untuk menyelesaikan sengketa. Dengan kata lain, kekerasan menjadi cara untuk menyelesaikan suatu perkara.

Melalui media televisi, sudah banyak kita saksikan tayangan-tayangan berisi tindak kekerasan yang dilakukan oleh golongan tertentu kepada golongan lainnya, antara pihak yang berkuasa terhadap rakyat kecil, antara mayoritas terhadap minoritas, antara pihak yang merasa paling benar terhadap pihak yang dipandang menyimpang, dan lain sebagainya.

Kemudian kampanye-kampanye anti-kekerasan pun mulai disuarakan. Namun, di saat masyarakat perlahan-lahan mulai menyadari dampak yang ditimbulkan dari tindak kekerasan, tayangan perkelahian yang ditampilkan dalam program acara ini dapat membuat masyarakat memberikan penilaian bahwa silat identik dengan kekerasan.

Selain itu, waktu yang digunakan oleh host perempuan tersebut untuk belajar silat sangat singkat. Mungkin dalam hitungan beberapa malam. Dengan waktu yang demikian singkat, silat terkesan amat mudah untuk dipelajari dan bisa langsung dipraktekan dalam pertarungan.

Ditambah lagi si perempuan tidak mengenakan pakaian silat lengkap. Ia hanya mengenakan celana silat dan baju kaos ketat. Membuktikan bahwa sesuatu yang instan adalah sesuatu yang menjual dan sesuatu yang menjual itu identik dengan yang “seksi”.

Betapa mencemaskan saat kapitalisme media beserta proyek industrinya mampu mengalahkan nilai-nilai yang dikandung dalam silat atau pencak silat.

Pada akhirnya, saya kembali merindukan program acara “Pencak Silat Menembus Dunia” yang juga pernah ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi di tahun 90-an. Di dalam acara tersebut, silat bukan hanya tentang pertahanan diri, tetapi juga bagaimana silat sangat mengandung nilai-nilai kehidupan dan seni.

Jambi, 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun