Beruntung tim pendukung navigator menyusul. Kebun pisang yang padat, di kiri kanan terlihat kebun penduduk dan sisa panen rambutan. ‘meu’ah beuh, kamoe cok boh rambot saboh’ (maaf ya, kami ambil rambutannya) pekik seorang pesepeda saat memetik beberapa rambutan. Suatu hari, bila melewati rute ini lagi, pesepeda berjanji akan minta maaf kepada pemilik kebun. Wajib lho!
Kegirangan berlanjut saat melewati jembatan gantung di desa Kruweng kecamatan Indrapuri, Aceh Besar, terlihat wajah bersahabat ibu-ibu sedang mencuci di bantaran sungai. Gigi putihnya selaksa pendamai hati, yang telah lama hilang akibat konflik berkepanjangan di bumi Rencong. Bening mata anak-anak yang ramah menitipkan pesan damai agar terus tumbuh untuk masa depannya.
‘Jak lom keunoe beuh!’ (datang ke sini lagi ya!), pinta Raimunah, ibu rumah tangga sambil menggendong balitanya. Sungguh hal luar biasa, pesepeda bisa menyatu dalam masyarakat pedalaman tersebut sekaligus mengampanyekan untuk bersepeda wujud kita hidup sehat dan pentingnya menjaga lingkungan demi kelangsungan hidup dunia yang mulai renta.
Setengah jam berlalu, perjalanan pulang dilanjutkan melintasi pohon asam jawa di sepanjang jalan Cot Kuta Glie, Keumireu. Seorang ibu berbaju ungu tampak gelisah di bawahnya, mungkin dia sedang menanti angkutan yang langka atau menunggu seseorang yang berjanji bertemu dengannya ditempat itu. Entahlah!
Cot Kuta Glie, punya catatan sejarah panjang. Di tanah tersebut pernah berdiri satu benteng muslimin yang gagah saat mempertaruhkan nyawanya melawan pemerintah kolonial Belanda. Ribuan syuhada syahid disana. Sungguh perjalanan mengagumkan, menjelajah rute ‘merah’ mampu meregangkan kepenatan karena kesibukan beraktifitas sekaligus mempererat tali silaturahmi yang terputus beberapa saat silam.
Keep Gowes! [inspiring by Aceh mountain biker]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H