Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jalan Sunyi Pocut Meurah Pupok (Bagian Kedua - Selesai)

18 Mei 2020   05:20 Diperbarui: 18 Mei 2020   06:13 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pagar Menuju Makam Pocut Meurah Pupok

Oleh: Chaerol Riezal*

Tak ada yang peduli soal makam Pocut Meurah Pupok sampai akhirnya dipugar sedemikian rupa dan ditetapkan sebagai situs cagar budaya, seperti yang terlihat saat ini. Selain itu, dalam penulisan sejarah di Aceh, misalnya, cerita tentang Pocut nyaris tenggelam dan tidak mendapat tempat disana. Para sejarawan, mahasiswa sejarah, dan awak media sekalipun tak banyak memperhatikan Pocut.

Baca juga: Jalan Sunyi Pocut Meurah Pupok (Bagian Pertama)

Pun demikian juga dalam dunia pendidikan, khususnya dalam materi sejarah Aceh. Ketika sejarah Kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda dibahas secara detail, bab tentang Pocut Meurah Pupok seringkali diabaikan, dilewatkan dan disingkirkan begitu saja, dengan dalih bahwa dokumen historis tentang Pocut tidak cukup mendukung dihadapan ilmiah. Maka wajar saja, sejarah tentang tokoh yang satu ini banyak diselimuti oleh kesunyian dan keterasingan.

Ironisnya, Pocut justru mendapat perhatian dari kalangan pemerintah dan politisi. Sayangnya, perhatian itu hanya sekedar lontaran ucapan dan kata-kata saja dan tidak lebih dari itu. Dikatakan oleh mereka, sejarah Pocut menjadi bukti bahwa hukum harus benar-benar ditegakkan ke semua lapisan masyarakat, tak terkecuali kepada keluarga sendiri.

Pernyataan itu sebetulnya merujuk pada ucapan Sultan Iskandar Muda ketika mengeksekusi hukuman pancung kepada anaknya sendiri (Pocut Meurah Pupok) lantaran dianggap telah melanggar hukum, dan adat kerajaan. Atas alasan itulah, Pocut dijatuhi hukuman rajam. Kala itu berkatalah Sultan: “mate aneuk meupat jirat, gadoh adat pat tamita,” yang artinya adalah "hilang anak masih ada kuburan yang bisa diziarahi, tapi bila adat yang hilang hendak kemana dicari." Bagitulah para politisi kita mengeksploitasi sejarah Pocot Meurah Pupok dengan merujuk ucapan Sultan Iskandar Muda. Memang itu tidak salah, tapi hanya sebagai pengingat dan pembelajaran bagi generasi sekarang; tidak lebih dari itu, hanya sekedar ucapan semata.

Lukisan Sultan Iskandar Muda
Lukisan Sultan Iskandar Muda

Di tengah kesunyian dan minimnya perhatian untuk Pocut, Pemerintah perlahan-lahan mulai hadir. Bahkan Pemerintah pun ikut terlibat dalam mengangkat kembali cerita Pocut lewat program pemerintah sendiri. Dengan gelontoran dana pelestarian cagar budaya, makam Pocut pun ikut dipugar dan dijadikan sebagai cagar budaya. Tak hanya itu, disekitar makam Pocut pun didirikan pagar besi berwarna hitam yang akan menuntun para pengunjung menuju ke makam. Sampai disini, perhatian untuk Pocut mulai muncul.

Pagar Menuju Makam Pocut Meurah Pupok
Pagar Menuju Makam Pocut Meurah Pupok

Tetapi Anda tentu tahu, jauh sebelum pemerintah hadir, makam Pocut tak ubahnya seperti si miskin yang tinggal di komplek si kaya. Si miskin yang tak punya apa-apa, hanya bisa melihat kemegahan yang dimiliki si kaya. Ya benar saja, makam Pocut yang berada ditengah-tengah makam serdadu Belanda, seperti tak terurus, lesu, batu nisannya (tak ada keterangan) hanya diikat oleh sehelai kain putih sebagai penanda, dan terdapat sebatang pohon yang menemani tiga makam disana.

Kerkhoff dan Museum Tsunami Aceh
Kerkhoff dan Museum Tsunami Aceh

Pemandangan yang berbeda justru terlihat pada makam Belanda dan makam lainnya. Terlepas apakah Pemerintah Belanda mendanai atau tidak untuk merawat makam serdadu Belanda di Kerkhof, yang jelas makam Belanda (kecuali makam Pocut) selalu dirawat, dicat, diberi keterangan pada batu nisan, dan tampak berseri-seri. Singkatnya, makam Belanda diperhatikan, sementera makam Pocut seperti orang asing, sepi, dan sunyi. Padahal mereka bersemayam dalam komplek yang sama. Itulah yang terjadi sebelum akhirnya makam Pocut dipugar dan ditetapkan sebaga cagar budaya.

***

Pada saat Safiatuddin dinobatkan sebagai Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam dan berkuasa selama 34 tahun (1641-1675), sebetulnya makam Pocut sudah mulai diperhatikan jauh sebelum Pemerintah saat ini mencurahkan perhatiannya. Menurut catatan sejarah, Sultanah Safiatuddin yang merupakan adik dari Pocut Meurah Pupok, memberikan titah dan perintah kepada pihak istana Kerajaan Aceh untuk mengurusi makam kakaknya tersebut. Titah itu kemudian direspon dengan baik oleh pihak istina Aceh. Maka jadilah makam Meurah Pupok ditata menjadi lebih rapi dan diberikan penghormatan layaknya seorang pangeran kerajaan.

Lukisan Sultanah Safiatuddin
Lukisan Sultanah Safiatuddin

Setelah bertahun-tahun sempat tak diacuhkan oleh pemangku istana Aceh, Pocut Meurah Pupuk kembali menarik perhatian dan topik pembicaraan, meskipun Meurah Pupok sudah tak hidup lagi. Tentu saja, hal ini tidak terlepas dari upaya yang dilakukan oleh adiknya, Sultanah Safiatuddin. Tapi, setelah Sultanah Safiatuddin mangkat dari tampuk kekuasaannya, seperti yang telah diprediksi sebelumnya, bahwa Pocut Meurah Pupok kembali sunyi dan berlalu.

Makam Pocut Meurah Pupok diantara 3 Makam
Makam Pocut Meurah Pupok diantara 3 Makam

Di Aceh, yang kemudian dibicarakan adalah bagaimana cara membanggakan kebesaran sejarah Aceh melalui warung kopi, dunia perkuliahan dan pidato pejabat. Sementara untuk merawat ingatan sejarah Aceh, entah itu lewat replikasi, wisata, pertunjukkan, digitalisasi dan bahkan penelitian sejarah dengan tujuan agar sejarah Aceh tidak punah dimakan oleh waktu, nyaris tak tersentuh dan seringkali terabaikan. Ya, Aceh masih terjebak dalam tradisi lisan.

Menurut saya, justru perkara kebesaran sejarah Aceh itu akan tampak lebih megah apabila dapat direalisasikan sebagaimana yang saya sebutkan diatas. Sebagai contoh, Anda tahu kota Yogyakarta? Mengapa ia menjadi besar dan istimewa, karena kota Yogyakarta berhasil menghadirkan kebesaran sejarah di masa kini, sehingga orang-orang yang pernah singgah ke Yogyakarta atau sekedar berliburan saja, tahu betul megah dan istimewanya kota Yogyakarta lantaran mampu menyuguhkan kebesaran sejarah beserta adat dan istiadatnya kepada para pengunjung hingga membuat orang-orang rindu dan ingin kembali ke sana. Jadi, saya rasa warga di Yogyakarta itu, barangkali memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar untuk bergerak memajukan daerahnya sendiri. Mungkin saja.

Sementara di Aceh, rasa tanggung jawab itu mungkin terlalu banyak dioper-oper sana sini: dari satu individu ke individu yang lainnya, dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Termasuk dalam hal merawat dan membesarkan sejarah Aceh, meski tentu saja tak seluruhnya begitu. Tetapi ada semacam nuansa seperti, “Ah, masih ada orang yang lain yang bisa mengemban tugas mulia itu.” Bukannya berprasangka buruk, namun ada banyak pemandangan yang mencerminkan dugaan itu.

Kalau bicara sejarah, benar bahwa Aceh memiliki panggung sejarah yang besar, panjang dan selalu menarik untuk diperbincangkan. Tetapi, kalu bicara bagaimana merawat ingatan sejarah Aceh beserta peninggalannya itu, jelas sekali belum dapat dikatakan sudah dikelola dengan baik dan benar. Masih banyak sekali peninggalan sejarah Aceh yang tercecer, mati suri, tak terawat, dan bahkan ada yang tak tersentuh sama sekali. Ini belum termasuk tentang menjemput pulang peninggalan sejarah Aceh dibeberapa negara, memperbaiki (rekonstruksi) penulisan sejarah, bahkan soal anggaran penelitian sejarah pun tak jelas disediakan atau tidak, yang akhirnya justru dapat membuat stigma bahwa Aceh tak pernah menghargai sejarahnya.

Sebutlah saya orang yang negatif dan berburuk sangka, tapi pikiran negatif ini cukup mendasar, bahwa nyatanya agenda penanganan dan merawat ingatan sejarah Aceh lambat sekali pergerakannya kalau tidak bisa dikatakan berhenti. Baik dari segi merawat bukti ataupun penulisan sejarah. Memang harus saya akui bahwa ada begitu banyak faktor yang mempengaruhi hal tersbut. Tapi izinkanlah saya menaruh sebuah kecurigaan besar pada Pemerintah Aceh bahwa ada terlalu banyak pihak yang bermain-main dalam menangangi sejarah Aceh, dan sejarah Pocut Meurah Pupok menjadi salah satu buktinya.

Selesai.

Solo, 17 Mei 2020.

= = = = = = =

*Chaerol Riezal, merupakan Mahasiswa Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta asal dari Aceh, Nagan Raya. Email: chaerolriezal@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun