Selanjutnya kita akan disambut oleh kuburan dan batu nisan yang bertuliskan nama Mayor Jenderal Kohler; panglima perang tertinggi Belanda. Setelah itu, kita akan disuguhkan oleh pemandangan ribuan simbol-simbol kuburan berbau Belanda, China, Kristen, dan Islam yang tersebar luas di dalam Kerkhof. Tak ayal, lebih dari 2.200 serdadu Belanda dikebumikan di Kerkhof.
Tentu saja, masih banyak hal lain yang dapat menggambarkan tentang Kerkhof. Jadi apabila suatu hari nanti Anda punya kesempatan untuk berkunjung ke Banda Aceh, cobalah datang ke Kerkhof, maka Anda akan mendapatkan gambaran seutuhnya tentang Kerkhof dan tidak terkecuali Pocut Meurah Pupok.
Kerkhof, meski telah dipercantik sedemikian rupa dan dimanjakan oleh pemandangan yang bagus, tetap saja Kerkhof sepi dan sunyi. Hal ini sangat kontras dengan Museum Tsunami Aceh, dimana setiap harinya para pengunjung membludak.
Padahal, Anda tahu, jarak antara Kerkhof dan Museum Tsunami hanya terpisah oleh beberapa meter saja, sangat berdekatan, dan bertetangga.Â
Bahkan Kerkhof juga bisa disaksikan dan dilihat langsung dari dalam Museum Tsunami. Oleh karena itu, jangan kaget kalau Museum Tsunami Aceh jauh lebih ramai ketimbang Kerkhof yang begitu sepi dan sunyi dari pengunjung.
Saya berasumsi bahwa hal ini barangkali disebabkan karena memori kolektif masyarakat Aceh lebih dekat dengan peristiwa mega musibah Aceh bernama gempa dan tsunami, daripada memori tentang Pocut Meurah Pupok dan Kerkhof.
Inilah yang saya katakan tempo dulu, bahwa Pemerintah Aceh harus mampu mengubah image (wajah atau citra) Aceh baik dari dalam maupun luar Aceh, terutama kepada mereka yang bersemayam di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan sebagainya.
Sebab selama ini mereka hanya mengenal Aceh lewat 4 hal; GAM, Syariat Islam, ganja, dan tsunami. Itulah citra dan image Aceh dimata masyarakat diluar sana, sekalipun hal ini dapat diperdebatkan kembali.
Lepas dari hal itu, tetapi saya setuju, bahwa tugas mengubah citra Aceh tentu tidak mutlak harus diemban oleh Pemerintah Aceh saja. Tetapi juga harus menjadi tugas bersama bagi seluruh rakyat Aceh, termasuk juga saya selaku mahasiswa Pendidikan Sejarah yang kelak akan memiliki tugas untuk membongkar dan menghadirkan memori-memori Aceh lainnya melalui kajian (riset) sejarah dan budaya.