"Kepada semua karyawan Serambi Indonesia, wartawan, koresponden, karyawan bisnis dan produksi segera melaporkan keberadaan dirinya ke Kantor Perwakilan Lhokseumawe via saudara Ismail M. Syah atau ke posko Serambi Indonesia di Lambaro telepon 70060 atau di Beurawe Shopping Center Banda Aceh, Jalan T. Iskandar No. 19-21 telepon 22995."
Kalimat di atas merupakan bunyi satu alinea dari pengumuman Pimpinan Harian Serambi Indonesia, H. Sjamsul Kahar kepada seluruh awak redaksi dan manajemen Serambi Indonesia yang selamat dari mega musibah Aceh. Pengumuman itu dimuat dalam format dua kolom di halaman depan Serambi edisi Sabtu 1 Januari 2005, yang merupakan edisi pertama terbit pascatsunami dan dimuat secara berkesinabungan sampai 7 Januari 2005 (Catatan Pribadi M. Nasir Nurdin, 2009: 91). Dari pengumuman itu juga, sudah cukup untuk mengatakan bahwa Serambi Indonesia telah bangkit dari keterpurukan.
Sejarah panjang dan kebesaran Harian Serambi Indonesia tak mungkin dilepaskan dari sebuah mega musibah Aceh bernama gempa dan tsunami, yang terjadi 13 tahun silam. Bahkan sulit membayangkan apa jadinya jika harian ini tanpa mega musibah Aceh.
Sebagaimana yang dikatahui bersama, tepat pada hari Minggu tanggal 26 Desember 2004, bumi Aceh diguncang oleh gempa berkekuatan 8.9 SR dan disusul gelombang tsunami. Mega musibah itu mengakibatkan sebagian besar infrastruktur di Aceh hancur. Kantor Pusat Harian Serambi Indonesia (terutama di lantai dasar) yang terletak di Jalan Laksamana Malahayati Desa Baet, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, ikut hancur diterjang gelombang tsunami.
Kerugian ini ditambah lagi dengan kehilangan sejumlah wartawan dan karyawan Serambi Indonesia sebanyak 53 orang, termasuk di antaranya Erwiyan Syafri selaku Redaktur Pelaksana, Muhammad Rokan reporter senior, dan wartawan Muharram M. Nur yang juga ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Aceh. Musibah tersebut juga turut menghancurkan bangunan percetakan dan mesin percetakan Serambi Indonesia bergeser 200 meter dari fondasinya. Semua barang yang terdapat di lantai bawah kantor pusat Serambi Indonesia hancur dan merusak semua ruang di sana, termasuk juga semua dokumen yang ada hilang diterjang oleh tsunami. Akibatnya Serambi Indonesia sempat tidak terbit selama lima hari.
Memang pada saat terjadinya tsunami, lantai dua kantor pusat Serambi Indonesia di Desa Baet sempat menjadi tempat pelarian bagi sebagian warga sekitar yang selamat dari musibah, tapi tidak dengan karyawan dan kantor pusatnya. Karyawan Serambi Indonesia yang bekerja pada hari minggu itu dinyatakan tidak selamat. Sementara kantor pusatnya luluh lantak dihantam mega prahara gelombang tsunami yang berkekuatan 500-800 Km/jam.
Kondisi kantor pusat yang porak poranda itu, khususnya mesin percetakan yang hancur dan melayang dari fondasinya membuat status kantor pusat Serambi Indonesia dialihkan dari Banda Aceh ke Lhokseumawe. Karena itu, mengingat kantor pusat dan mesin percetakan di Desa Baet tidak dapat dioperasikan lagi, maka para pimpinan redaksi Serambi Indonesia seperti Sjamsul Kahar, Mawardi Ibrahim dan Akmal Ibrahim (kini menjadi Bupati Abdya periode kedua) sepakat untuk membentuk dua posko sebagai kantor sementara Serambi.
Ahmad Sutrisno yang saat itu menjabat sebagai Manajer Percetakan PT Aceh Media Grafika, merelakan rumah toko (ruko) miliknya yang juga ditempatinya bersama keluarga, diberikan kepada Serambi Indonesia sebagai posko untuk koordinasi dan ruang redaksi darurat di Lambaro, Aceh Besar. Sementara itu, H. Agam Patra yang bersimpati kepada Serambi Indonesia, juga ikut memberikan dua unit ruko bergandengan miliknya di Beurawe Shopping Centre untuk ditempati oleh Serambi Indonesia. Dua posko itu dibentuk untuk mengkoordinir wartawan dan karyawan Serambi Indonesia yang masih tersisa dan selamat dari bencana, dan ditempati sampai setahun lebih sebagai kantor sementara.
Praktis, sejak Sjamsul Kahar dkk membuka dua posko tersebut, status kantor pusat Serambi Indonesia telah berubah menjadi Biro Banda Aceh. Posisi dan peran kantor pusat Serambi Indonesia di Banda Aceh, disadari atau tidak, telah beralih ke Lhokseumawe karena mesin percetakan sudah tidak dapat dioperasikan lagi. Semua wartawan dan karyawan yang tersisa dan selamat dari musibah tsunami Aceh, menghimpun dan memproduksi berita di Biro Banda Aceh untuk dikirim ke kantor pusat Serambi Indonesia di Lhokseumawe.
Mendapat bantuan KKG
Pada pekan pertama pascabencana, selain memaksimalkan liputan jurnalistik, Serambi Indonesia juga gencar membuka iklan tentang pencarian orang-orang yang hilang dan korban tsunami Aceh. Selain itu, liputan hari pertama pascatsunami benar-benar dirasakan berat oleh wartawan SI. Tak bisa dibayangkan seperti apa wartawan Serambi Indonesia bekerja dan meliput peristiwa di tengah-tengah mayat yang bergelimpang.Â
Menyadari akan hal ini, terhitung sejak pekan kedua pascatsunami, Serambi Indonesia mendapat bantuan dari sindikasi koran daerah di bawah Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Bantuan dari KKG itu berupa personil untuk keperluan wartawan dan layout. Hampir seluruh bantuan tenaga yang datang itu ditempatkan di Banda Aceh. Sementara untuk Redaktur ditugaskan di Kantor Pusat Lhokseumawe (Catatan Pribadi M. Nasir Nurdin, 2009: 96).
Mereka yang dikirim untuk mambantu Serambi Indonesia itu datang dari berbagai daerah, mulai dari Persda Network di Jakarta, Tribun Kaltim, Tribun Timur Makasar, Banjarmasin Post, Tribun Jabar, Tribun Batam dan Bangka Post. Dari 10 tenaga bantuan itu, termasuk enam wartawan yaitu Mursalim Djafar, Vovo, Chritiana Dwi, Hasanuddin Aco dan Sugi. Kemudian empat diantaranya ditugaskan ke Banda Aceh. Sedangkan tenaga lainnya bertugas di bidang jaringan, layout, dan administrasi (Catatan Pribadi Ismail M. Syah, 2009: 109-110).
Bantuan dari KKG itu tentu saja menambah darah segar dan tenaga tambahan bagi Serambi Indonesia. Buktinya, hampir sebagian besar pekerjaan keredaksian diambil alih oleh tenaga kerja tersebut. Hadirnya tenaga bantuan itu tentu berpengaruh besar terhadap kiprah Serambi Indonesia berikutnya. Kerena itu, tidaklah berlebihan jika penulis mengatakan bahwa kiriman bantuan dari Kompas merupakan salah satu faktor atas kebangkitan Serambi Indonesia pacsatsunami Aceh.
Tampilnya Lhokseumawe
Sekedar informasi bahwa sebelum terjadinya mega musibah Aceh dan mendapat kiriman bantuan dari KKG, pada tahun 2003 Manajemen Serambi Indonesia telah memutuskan untuk mambangun mesin percetakan jarak jauh di Lhokseumawe. Mesin itu baru bisa dioperasikan pada 16 Februari 2004. Di bangunnya mesin percetakan jarak jauh itu sebagai bentuk dan respons Serambi Indonesia atas panjangnya mata rantai distribusi dan meningkatkan ketibaan koran kepada pelanggan (Catatan Pribadi Mohd. Din, 2009: 124).
Ketika terjadinya tsunami, Lhokseumawe tampil untuk menggantikan posisi Banda Aceh sebagai kantor pusat Serambi Indonesia. Di sinilah letak pentingnya Lhokseumawe dengan adanya masin percetakan jarak jauh. Jika ditelusuri lebih jauh, Lhokseumawe adalah alasan sesungguhnya mengapa Serambi Indonesia dapat bangkit dari keterpurukan pascatsunami.Â
Lhokseumawe dan mesin percetakan jarak jauh adalah akar kebangkitan Serambi Indonesia pascatsunami. Memang ada banyak alasan lainnya. Tapi keberadaan mesin percetakan jarak jauh di Lhokseumawe, diakui atau tidak, bahwa Kota Petro Dollar telah berhasil menerbitkan kembali Serambi Indonesia setelah dinyatakan hilang dari peredaran selama lima hari.
Lebih dari itu, Lhokseumawe juga menjadi tempat transit dan titipan pesan dari Jakarta untuk Aceh (dalam hal ini Kompas Gramedia kepada Serambi). Karena itulah, keputusan untuk menerbitkan kembali Serambi Indonesia diserahkan oleh Jakarta kepada Lhokseumawe.
Serambi terbit kembali
Seperti yang telah disebutkan di atas, Serambi Indonesia sempat tidak bisa diterbitkan selama lima hari pascabencana. Hal ini dikarenakan selama musibah tersebut, mesin percetakan Serambi Indonesia di Desa Baet tidak bisa beroperasi lagi. Untuk alasan inilah, wartawan Serambi Indonesia di Banda Aceh dan Lhokseumawe sepakat bahwa koran harus terbit kembali. Mengenai isi dan rubrik koran, tidak begitu dipertimbangkan. Satu-satunya yang penting adalah bagaimana Serambi Indonesia harus terbit kembali di Lhokseumawe.
Memang, ide untuk menerbitkan kembali Serambi Indonesia sempat menuai pro dan kontra dari kalangan wartawan Serambi Indonesia itu sendiri. Mereka yang kontra beralasan bahwa seharusnya nasib wartawan dan karyawan yang belum menentu itu dipastikan dulu. Baru kemudian koran dipikirkan.
Namun, kritikan itu diabaikan oleh Ismail M. Syah yang saat itu menjabat sebagai Kepala Biro Serambi Indonesia di Lhokseumawe. Ismail M. Syah beralasan bahwa akan ada cukup banyak orang-orang yang memikirkan nasib para korban tsunami Aceh, ketimbang orang yang memikirkan keberlangsungan hidup Serambi Indonesia beserta karyawannya (Catatan Pribadi Ismail M. Syah, 2009: 107).
Setelah melakukan koordinasi ulang dengan Jakarta dan Banda Aceh, maka dipastikan bahwa Serambi Indonesia terbit lagi. Tak terhitung berapa kali wartawan di Lhokseumawe pergi ke Banda Aceh untuk menemui jajaran petinggi redaksi. Akhirnya, Sjamsul Kahar setuju akan rencana itu dan menyerahkan segala keputusan kepada pasukan di Lhokseumawe.
Malam tanggal 31 Desember 2004 menjadi malam paling bersejarah bagi wartawan Serambi Indonesia di Lhokseumawe. Sebab pada malam itu mesin percetakan jarak jauh di Lhokseumawe dihidupkan. Banyak wartawan yang tak percaya dan menitikkan air mata ketika mesin itu mencetak lembar per lembar koran Serambi Indonesia. Akhirnya Serambi Indonesia terbit.
Keesokan harinya sejarah itu berlanjut. Serambi Indonesia resmi diterbitkan kembali pada hari Sabtu tanggal 1 Januari 2005 dengan menggunakan mesin percetakan jarak jauh di Kota Lhokseumawe. Surat kabar itu dicetak dalam jumlah halaman yang terbatas dan dibagikan secara gratis hingga 7 Januari 2005. Serambi Indonesia pun mengunjungi pembacanya. Tepat pada pukul 10.00 WIB koran itu sampai ke markas sementara di Banda Aceh.
Sebagai bukti romantisme sejarah, replikan koran Serambi Indonesia terbitan 1 Januari 2005 itu terpampang di tembok menuju ruang newsroom kantor pusat Serambi Indonesia di Desa Meunasah Manyang PA, Ingin Jaya, Aceh Besar. Koran itu memasang berita tentang Wabah Kolera Ancam Pengungsi, Awas Maling, SBY Kerja Keras Tangani Aceh, Tidak Ada Tanda Kehidupan di Mabes Serambi, Pengumuman Pimpinan Serambi, dan sebagainya.
Replika koran itu akan menajdi epos yang terus dikenang. Dan cukup dengan replika koran itu pula, awak redaksi dan manajemen Serambi Indonesia dapat menceritakan kepada anak cucu dan masyarakat luas dengan penuh emosional bagaimana kami menghidupkan kembali Harian Serambi Indonesia setelah dihantam mega musibah gempa dan tsunami Aceh.
***
Musibah itu memang menyisakan duka yang mendalam bagi Serambi Indonesia. Tapi dari situlah Serambi Indonesia belajar bagaimana melalui prahara yang sedang dihadapi. Serambi Indonesia pun berhasil bangkit untuk kesekian kalinya. Banyak yang memuji keberhasilan Serambi Indonesia dalam upaya menerbitkan kembali koran yang sempat hilang selama lima hari. Namun, tidak sedikit juga yang berpendapat bahwa keberhasilan Serambi Indonesia itu tidak terlepas dari bantuan Kompas yang mengirim tenaga kerja untuk menambah kekuatan Serambi Indonesia.
Namun mengatakan akar keberhasilan Serambi Indonesia hanya sebatas dari bantuan Kompas saja, khususnya di awal tahun 2005, ternyata tidak sepenuhnya benar. Dan bahkan kiriman bantuan Kompas itu bukanlah sebagai faktor utama atas keberhasilan Serambi Indonesia bangkit dari prahara tsunami Aceh. Karena sebenarnya, Serambi Indonesia sukses bangkit karena Serambi Indonesia mempunyai mesin percetakan jarak jauh di Lhokseumawe yang didirkan sebelum terjadinya gempa dan tsunami Aceh.
Ada peran penting Lhokseumawe dalam masa kebangkitan Serambi Indonesia pascatsunami. Serambi Indonesia juga berhasil menyelamatkan aset berharga di Desa Baet, memanfaatkan kekuatan yang tersisa dan tambahan tenaga dari KKG. Selain itu, kehadiran pimpinan Harian Serambi Indonesia seperti Sjamsul Kahar, Mawardi Ibrahim, Akmal Ibrahim dan sebagainya, juga dapat memacu etos kerja para wartawan dan manajemen Serambi Indonesia. Lebih jauh lagi, Sjamsul Kahar selaku Pemimpin Umum Serambi Indonesia memberi leluasa kepada para wartawan untuk membangkitkan kembali koran Serambi Indonesia di Lhokseumawe.
Singkatnya, Pimpinan Serambi Indonesia bersama para wartawannya dan KKG berhasil menerbitkan kembali surat kabar Harian Serambi Indonesia pada 1 Januari 2005, seperti yang di ucapakan oleh Pemimpin Umum Serambi Indonesia, "Meski kami kehilangan yang luar biasa, namun kami menguatkan hati untuk tetap menyambangi pembaca," kata Sjamsul Kahar, mengutip wawancaranya dengan berbagai media massa. Selanjutnya apa yang terjadi? Dan tercenganglah dunia.
Segala macam cerita, kisah sedih dan kesaksian mengenai tragedi kemanusiaan Aceh itu terus ditransmisikan kepada generasi bangsa setiap momen peristiwa itu tiba, dan dengan cara seperti itulah masing-masing dari kita diingatkan ke dalam narasi utuh tentang gempa dan tsunami Aceh lewat Harian Serambi Indonesia. Semoga!
Solo, 1 Januari 2018
= = = = =
Penulis, Chaerol Riezal, adalah Mahasiswa Magister Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, dan juga penulis skripsi "Perkembangan Surat Kabar Serambi Indonesia 1989-2015" di Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: chaerolriezal@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H