Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Romantisme dan Koneksi Hebat Umar dan Dhien (Bagian ke- 2)

19 September 2017   20:08 Diperbarui: 19 September 2017   20:14 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Chaerol Riezal*

Memang, saya harus mengakui bahwa tidak ada kaitannya cerita Vincent Willem van Gogh dan Theo van Gogh dengan cerita Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Itu jelas sangat bertolak belakang. Tapi bukan itu yang ingin saya sampaikan. Anda tahu, terdapat satu hal yang cukup menarik dibalik dua cerita tersebut. Lantas apa?

Baca juga:

Jika kita mau memperhatikan kedua alur cerita tersebut, maka kita akan menemukan adanya satu kesamaan, yaitu Theo van Gogh mendukung dan melanjutkan perjuangan sang kakak (Van Gogh) dalam hal lukisan, sementara Cut Nyak Dhien juga mendukung dan melanjutkan perjuangan sang suami (Teuku Umar) dalam hal berperang dengan Belanda. Dengan kata lain, kedua cerita itu mengandung satu kesamaan yang sangat menarik, yaitu melanjutkan perjuangan orang yang dicintai. Tentu saja muncul satu pertanyaan, mengapa hal tersebut bisa terjadi?

Seorang pelukis akan terus menciptakan lukisan selama ia hidup. Sama halnya dengan seorang pejuang sejati, ia akan terus berjuang selama hayat di kandung badan. Keduanya akan berhenti ketika kaki dan tangannya tidak sanggup lagi untuk berbicara banyak, atau ketika atau raga dan jiwanya tidak mengizinkannya untuk berbuat banyak lagi. Tapi jangan lupa, pengaruhnya tidak akan pernah sirna.

Dalam hidupnya, seorang pelukis lazimnya akan cukup banyak menggantungkan hidupnya dari lukisan-lukisan yang ia buat, untuk kemudian dijual dengan banderol yang ditetapkan. Dengan kata lain, seorang pelukis bisa dibilang akan bekerja sambil berkarya, mencipta dan menghasilkan uang. Namun, dari sekian banyaknya lukisan yang dibuat oleh sang pelukis, kadang ada beberapa lukisan yang sama sekali tak laku dijual di pasaran.

Itulah yang terjadi dan dialami oleh Vincent William van Gogh, seorang pelukis pasca-impresionis asal dari Belanda. Ketika Van Gogh menghasilkan karya lukisan miliknya, tak ada orang yang mau membeli. Tapi sekarang apa yang terjadi? Dunia mengakui lukisan hebat Van Gogh, bahkan tak ada seorang pelukis yang meragukan hasil karya dari Van Gogh. Karya-karya yang ia buat, seperti The Starry Night ataupun The Potato Eaters, disebut oleh para pengamat seni sebagai karya yang melampaui zamannya.

Namun, ketika Van Gogh masih hidup, justru ia tidak menikmati jerih payah buah dari hasil-hasil lukisannya tersebut. Tercatat ada sekitar 2.100 lukisan yang ia ciptakan semasa hidupnya, tetapi hanya satu yang berhasil dijual oleh sang adik, Theo van Gogh. Theo van Gogh --seperti yang telah penulis singgung pada tulisan pertama-- adalah orang yang paling berjasa dan gigih dalam soal menjual lukisan sang kakak (Vincent Willem van Gogh) kepada khalayak, sebelum perjuangannya selesai dan akhirnya dilanjutkan oleh istri Theo van Gogh bernama Johanna Bonger.

Kisah dari Van Gogh yang serba miskin ketika hidupnya, bahkan pernah dirawat di sebuah Rumah Sakit Jiwa di Prancis, karena dianggap mengalami gangguan jiwa, merupakan cerminan bahwa seorang pelukis, sebagus apapun hasil lukisannya, tentu akan mengalami sebuah masa ketika lukisannya tidak laku dijual di pasaran. Kalau dalam sejarah lebih dikenal dengan sebutan masa kelahiran, masa perkembangan, masa kemuraman, masa kebangkitan dan masa keruntuhan.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pun hampir sama seperti seorang pelukis. Umar dan Dhien memang punya kemampuan menyusun taktik berperang, membakar semangat pasukannya, yang membuat pasukan Belanda kewalahan dihadapi. Pekikan semangatnya dan betapa heroiknya mereka dalam menentang kehadiran Belanda di bumi Serambi Mekkah pun, kadang menimbulkan decak kagum yang luar biasa bagi banyak orang yang mengetahui sejarah Umar dan Dhien. Serangan tak terduga yang di lancarkan oleh pasukan Aceh dibawah komando Umar dan Dhien, ataupun tendangan perang menggelegar dapat membuat berita yang menggemparkan bagi kolonial Belanda di Aceh.

Sumber: khabarpopuler.com
Sumber: khabarpopuler.com
Memang harus kita akui bahwa perang Belanda di Aceh sangat melelahkan bagi kedua belah pihak, yang nyaris hampir menghancurkan semua sendi kehidupan, baik yang fisik ataupun tidak. Namun, hampir sama seperti pelukis yang karya lukisannya kadang tidak laku dijual, kerapkali semua guratan hasil perjuangan Umar dan Dhien di medan pertempuran tak menghasilkan sesuatu yang diinginkan dikemudian hari dan sekaligus sebagai tanda pengakuan atas apa yang telah ditorehkan oleh mereka berdua.

Inilah yang terjadi pada sepasang suami-istri, Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Sosok mereka berdua yang semasa hidupnya terlibat dalam perang Belanda di Aceh, menyimpan cerita romantisme yang belakangan baru di ketahui oleh publik. Tetapi Anda tahu, kehebatan sang istri (seperti halnya sang suami) barulah terlihat ketika sang suami dinyatakan telah berpulang kepada Sang Penciptanya. Artinya, Dhien melanjutkan perjuangan Umar.

*

"No one remembers who came in second". Tak ada yang ingat siapa juara duanya, kata mendiang pegolf Amerika Walter Hagen. Ucapan itu benar untuk banyak kesempatan, tetapi tidak selalu. Terkadang, justru karena seseorang atau satu pasukan tidak menjadi juara atau menang, ia akan terpahat di ingatan, lekat di otak sebagai kenangan, memburai menjadi sekian khayalan. Seringkali sendu. Barangkali itulah yang dialami oleh pasukan Belanda di Aceh.

Bagi Anda yang beruntung pernah berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien akan mengerti. Bahwa romantisme, imajinatif, kreatif, visioner, heroik, tegas, keras, dan spontan adalah sedikit dari banyaknya yang menghiaskan kiprah Umar dan Dhien yang secara tidak bersamaan melawan pasukan Belanda di medan pertempuran.

Dengan modal itu, Umar dan Dhien bersama pasukan Aceh, mempersetankan rasionalitas taktik atau pendekatan militeristik milik pasukan Belanda yang mapan saat itu. Belanda yang sesungguhnya para intelektual yang disuguhi logistik perang, ternyata dalam berperang dengan pasukan Aceh justru memuja emosi dan kepekaan inderawi ketimbang akal sehat; menyerahkan diri kepada kepicikan nafsu kolonialisme dan taktik berperang yang kaku meskipun disuguhi alat perang modern; terbakar dalam keindahan misi yang teramat besar ketimbang disiplin untuk meraih kemenangan demi menaklukkan Aceh.

Ini terbukti bahwa pasukan Belanda pun kewalahan menghadapi taktik gerilya dan semangat jihad fisabilillah yang diusung oleh pasukan Aceh. Bahkan tak jarang pula, beberapa jurnalis Belanda yang sempat meliput perang di Aceh mengakui hal tersebut. Jurnalis Belanda tak segan-segan untuk mengakui dan memuja kehebatan pasukan Aceh, tak kecuali untuk Teuku Umar, Cut Nyak Dhien dan sejumlah perempuan Aceh lainnya yang tampil sangat heroik. Kehebatan pasukan Aceh itu kemudian dituliskan dan diterbitkan dalam sejumlah buku sejarah oleh para jurnalis dan oreientalis asal Belanda.

Tetapi perang Belanda di Aceh, seperti halnya perang yang pernah terjadi di dunia ini, itu adalah kejam. Hukum perang adalah soal kalah atau menang, damai atau tidak. Tetapi, ukuran satu-satunya untuk kemenangan dan kekalahan dalam perang hanyalah persoalan menaklulkan daerah itu, untuk kemudian dikuasai seluruhnya dan yang kalah akan tunduk patuh kepada yang menang. Tetapi, benar bahwa tidak ada jaminan semakin banyak logistik perang atau jumlah pasukan yang dimiliki, maka perang akan dimenangkan. Contohnya pun banyak berkeliaran dalam sejarah.

Itulah yang terjadi di Aceh dalam perang melawan pasukan Belanda. Meskipun Belanda mengandalkan kecanggihan alat perang modernnya, tetapi Belanda ternyata tidak mampu menaklukkan Aceh. Justru pasukan Aceh yang mampu menggemparkan pasukan Belanda. Bahkan Panglima Tertinggi Perang Belanda, Mayor Jenderal J.H.R Kohler tewas dalam ekspansi militer pertama Belanda ke Aceh di tahun 1873. Maka tidaklah berlebihan, jika sejarawan berkata bahwa perang Belanda di Aceh adalah perang yang sangat mencengangkan dan melelahkan yang pernah ditampilkan oleh Belanda dan Aceh.

Sumber: http://chaerolriezal.blogspot.co.id/2014/10/menguak-simbol-prasasti-makam-kohler.html
Sumber: http://chaerolriezal.blogspot.co.id/2014/10/menguak-simbol-prasasti-makam-kohler.html
Tetapi di lain kesempatan, sejarawan juga belum pernah mengungkapkan sisi perang lainnya. Fakta sejarah berkata bahwa sebelum perang Belanda di Aceh meletus, Belanda telah meraup keuntungan (uang) yang sangat besar dari hasil penerapan Culturstelsel. Namun, saat perang Belanda di Aceh resmi meletus, hampir sebagian besar keuntungan itu dicurahkan Belanda untuk menggempur Aceh.

Keberanian Belanda dalam menggelontorkan dana perang dengan Aceh, bak perjudian yang besar, dengan maksud, apabila Belanda berhasil menjajah Aceh, maka kerugian perang dapat dikembalikan bahkan bisa meraup keuntungan yang lebih besar dengan cara mengeksploitasi kekayaan alam Aceh. Tetapi yang terjadi justru Belanda malah kalah dalam perjudiannya, bahkan Belanda menelan kerugian yang teramat besar. Jadi, dengan kata lain para sejarawan belum mengungkap perputaran uang selama perang Belanda di Aceh berlangsung.

Bersambung.

Selasa, 19 September 2017.

= = = = = =

**Penulis merupakan Mahasiswa Program Pascasarjana Program Studi Magister Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, asal dari Aceh, Nagan Raya. Email: chaerolriezal@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun