Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Romantisme dan Koneksi Hebat Umar dan Dhien (Bagian ke- 2)

19 September 2017   20:08 Diperbarui: 19 September 2017   20:14 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://chaerolriezal.blogspot.co.id/2014/10/menguak-simbol-prasasti-makam-kohler.html

Inilah yang terjadi pada sepasang suami-istri, Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Sosok mereka berdua yang semasa hidupnya terlibat dalam perang Belanda di Aceh, menyimpan cerita romantisme yang belakangan baru di ketahui oleh publik. Tetapi Anda tahu, kehebatan sang istri (seperti halnya sang suami) barulah terlihat ketika sang suami dinyatakan telah berpulang kepada Sang Penciptanya. Artinya, Dhien melanjutkan perjuangan Umar.

*

"No one remembers who came in second". Tak ada yang ingat siapa juara duanya, kata mendiang pegolf Amerika Walter Hagen. Ucapan itu benar untuk banyak kesempatan, tetapi tidak selalu. Terkadang, justru karena seseorang atau satu pasukan tidak menjadi juara atau menang, ia akan terpahat di ingatan, lekat di otak sebagai kenangan, memburai menjadi sekian khayalan. Seringkali sendu. Barangkali itulah yang dialami oleh pasukan Belanda di Aceh.

Bagi Anda yang beruntung pernah berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien akan mengerti. Bahwa romantisme, imajinatif, kreatif, visioner, heroik, tegas, keras, dan spontan adalah sedikit dari banyaknya yang menghiaskan kiprah Umar dan Dhien yang secara tidak bersamaan melawan pasukan Belanda di medan pertempuran.

Dengan modal itu, Umar dan Dhien bersama pasukan Aceh, mempersetankan rasionalitas taktik atau pendekatan militeristik milik pasukan Belanda yang mapan saat itu. Belanda yang sesungguhnya para intelektual yang disuguhi logistik perang, ternyata dalam berperang dengan pasukan Aceh justru memuja emosi dan kepekaan inderawi ketimbang akal sehat; menyerahkan diri kepada kepicikan nafsu kolonialisme dan taktik berperang yang kaku meskipun disuguhi alat perang modern; terbakar dalam keindahan misi yang teramat besar ketimbang disiplin untuk meraih kemenangan demi menaklukkan Aceh.

Ini terbukti bahwa pasukan Belanda pun kewalahan menghadapi taktik gerilya dan semangat jihad fisabilillah yang diusung oleh pasukan Aceh. Bahkan tak jarang pula, beberapa jurnalis Belanda yang sempat meliput perang di Aceh mengakui hal tersebut. Jurnalis Belanda tak segan-segan untuk mengakui dan memuja kehebatan pasukan Aceh, tak kecuali untuk Teuku Umar, Cut Nyak Dhien dan sejumlah perempuan Aceh lainnya yang tampil sangat heroik. Kehebatan pasukan Aceh itu kemudian dituliskan dan diterbitkan dalam sejumlah buku sejarah oleh para jurnalis dan oreientalis asal Belanda.

Tetapi perang Belanda di Aceh, seperti halnya perang yang pernah terjadi di dunia ini, itu adalah kejam. Hukum perang adalah soal kalah atau menang, damai atau tidak. Tetapi, ukuran satu-satunya untuk kemenangan dan kekalahan dalam perang hanyalah persoalan menaklulkan daerah itu, untuk kemudian dikuasai seluruhnya dan yang kalah akan tunduk patuh kepada yang menang. Tetapi, benar bahwa tidak ada jaminan semakin banyak logistik perang atau jumlah pasukan yang dimiliki, maka perang akan dimenangkan. Contohnya pun banyak berkeliaran dalam sejarah.

Itulah yang terjadi di Aceh dalam perang melawan pasukan Belanda. Meskipun Belanda mengandalkan kecanggihan alat perang modernnya, tetapi Belanda ternyata tidak mampu menaklukkan Aceh. Justru pasukan Aceh yang mampu menggemparkan pasukan Belanda. Bahkan Panglima Tertinggi Perang Belanda, Mayor Jenderal J.H.R Kohler tewas dalam ekspansi militer pertama Belanda ke Aceh di tahun 1873. Maka tidaklah berlebihan, jika sejarawan berkata bahwa perang Belanda di Aceh adalah perang yang sangat mencengangkan dan melelahkan yang pernah ditampilkan oleh Belanda dan Aceh.

Sumber: http://chaerolriezal.blogspot.co.id/2014/10/menguak-simbol-prasasti-makam-kohler.html
Sumber: http://chaerolriezal.blogspot.co.id/2014/10/menguak-simbol-prasasti-makam-kohler.html
Tetapi di lain kesempatan, sejarawan juga belum pernah mengungkapkan sisi perang lainnya. Fakta sejarah berkata bahwa sebelum perang Belanda di Aceh meletus, Belanda telah meraup keuntungan (uang) yang sangat besar dari hasil penerapan Culturstelsel. Namun, saat perang Belanda di Aceh resmi meletus, hampir sebagian besar keuntungan itu dicurahkan Belanda untuk menggempur Aceh.

Keberanian Belanda dalam menggelontorkan dana perang dengan Aceh, bak perjudian yang besar, dengan maksud, apabila Belanda berhasil menjajah Aceh, maka kerugian perang dapat dikembalikan bahkan bisa meraup keuntungan yang lebih besar dengan cara mengeksploitasi kekayaan alam Aceh. Tetapi yang terjadi justru Belanda malah kalah dalam perjudiannya, bahkan Belanda menelan kerugian yang teramat besar. Jadi, dengan kata lain para sejarawan belum mengungkap perputaran uang selama perang Belanda di Aceh berlangsung.

Bersambung.

Selasa, 19 September 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun