Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Politik

MoU Helsinki dan Hilangnya Sebuah Kepastian Aceh

30 Juli 2017   19:01 Diperbarui: 30 Juli 2017   23:03 6960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Chaerol Riezal

Pagi itu (15 Agustus 2005), Rakyat Aceh bangun tidur dalam keadaan mewujudnya sebuah kebahagiaan yang dipadukan dengan rasa kekhawatiran dan kesedihan. Begitu mendapat kabar bahwa GAM dan RI telah berdamai, tentu sebagian Rakyat Aceh menyambut baik akan perdamaian itu. Betapa tidak, konflik bersenjata yang telah membara selama puluhan tahun itu, akhirnya dapat dipadamkan juga. Tetapi dibalik kabar perdamaian antara kedua belah pihak itu, ternyata menyisakan kekhawatiran yang tak dapat dihindarkan lagi.

Ada kesedihan, gelisah, galau, kelu dan bahkan mega musibah Aceh yang belum genap setahun kala itu, masih segar dalam ingatan Rakyat Aceh. Dari kesedihan itu juga dapat diturunkan beberapa indikatornya, seperti korban konflik, logistik perang, rehabilitas pasca konflik dan mega musibah Aceh, mendesain ulang wajah Aceh, bahkan sampai di koridor isi perjanjian GAM dan RI. Tetapi kabar tentang perdamaian itu, sebenarnya telah menurunkan sedikit tidaknya penderitaan Rakyat Aceh.

Benar bahwa tak ada letupun senjata atau moncong bedil yang menjadi tontonan sehari-hari semasa konflik itu. Memang, tetapi jangan lupa betapa stasiun radio bersama media cetak lainnya telah bertindak untuk mengabarkan berita, bahwa konflik bersenjata di Aceh telah berakhir diatas hitam dan putih. Perdamaian antara GAM dan RI itu menjadi berita utama sepanjang hari, tak hanya ditingkat lokal dan nasional saja tetapi juga dibeberapa negara internasional.

Dapatkah kita bayangkan, sekiranya era modern saat ini sudah berkembang pesat di tahun 2005 dengan berbagai alat kecanggihan teknologi informasi seperti saat ini, sungguh tak bisa kita bayangkan betapa riuhnya masyarakat dunia maya untuk membahas MoU Helsinki. Itu pasti. Hanya MoU Helsinki, GAM, RI, Hasan Tiro, dan bukan orang meninggal.

Barangkali sudah jadi kodratnya Aceh menjadi pusat perhatian ditingkat nasional dan internasional. Tetapi dibalik kodrat itu, Aceh selalu diganggu oleh negaranya sendiri dengan berbagai tipu daya dan juga percampuran tangan banga asing, utama soal Syariat Islam dan sumber daya alam di Aceh. Teruntuk Syariat Islam, saya sudah katakan berulang kali bahwa selain Aceh yang mempunyai hak istimewa khusus, rasanya sangat sulit bagi daerah lainnya untuk menjalankan Syariat Islam di Indonesia yang notabene negara republik.

Ada sejumput permakluman. Hasan Tiro suka atau tidak suka adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam tubuh GAM. Kesuksesan Hasan Tiro membangun kekuatan GAM baik di Aceh ataupun diluar negeri, percaya atau tidak sebenarnya banyak berutang budi pada DI/TII Aceh pimpinan Tengku Muhammad Daud Beureueh. Dan liputan yang berhasil direkam tentang keterlibatan serta peranan Hasan Tiro dalam peristiwa DI/TII Aceh itu, sedikit banyaknya sudah dibukukan oleh sejarawan.

Dari situlah sadar atau tidak Hasan Tiro telah banyak belajar dari DI/TII Aceh, mulai dari bagaimana meracik taktik perang, menyusun kekuatan pasukan, memobilisasi masa, mendeteksi kelemahan lawan, sampai lobi dunia internasional. Dan penyataan yang berlebihan ini adalah bagian dari master plan yang kemudian turut ia bangun dalam tubuh GAM. Selebihnya, Hasan Tiro dkk. juga banyak beruntang budi kepada orang-orang Aceh yang berada dibeberapa negara, tak kecuali masyakat Aceh sendiri.

Tetapi Anda tahu, Hasan Tiro bagi pasukan GAM (termasuk juga sebagian Rakyat Aceh) bukan sekadar sang deklarator GAM saja, bukan juga sekadar Wali Negara Aceh saja, dan bukan pula sekadar penggugah sekaligus tiang pancang berdirinya GAM pada 4 Desember 1976 di Gunung Halimun. Lupakan itu semua. Bukan itu yang penting bagi mereka. Lantas apa?

Tengku Muhammad Hasan di Tiro, manusia yang satu ini dipuja karena dianggap mampu membangunkan Rakyat Aceh dari tidurnya yang panjang dan nyenyak. Dialah yang mengatakan bahwa Aceh adalah dulunya negara yang berdaulat dan punya sejarah gemilang. Dia pula yang menyuarakan perihal kekayaan alam Aceh telah dikerok habis-habisan oleh Pemerintah Pusat sehingga membuat Aceh menjadi miskin. Dengan kata lain, Hasan Tiro memperjuangkan harkat, martabat dan marwah Aceh yang telah dihina dan di injak-injak itu. Inilah yang saya yakini, meskipun tentu saja ada faktor lainnya, mengapa Hasan Tiro begitu dipuja menjadi sedemikian besar hingga mendekati layaknya pahlawan Aceh tanpa harus ada surat keputusan Presiden Indonesia.

Ia mewujudkan hal itu lewat pendekatan sejarah --disamping faktor lainnya-- yang kemudian ditransformasikan dalam tubuh GAM. Orang akan selalu mengingat betapa Aceh sangat hina di mata Pemerintah Pusat masa Orde Lama dan Orde Baru. Orang juga akan selalu ingat bagaimana liciknya Pemerintah Pusat yang tega menguras sumber kekayaan alam Aceh untuk kemudian dibawa pulang ke Jakarta, sementara Aceh hanya diberikan sisa-sia sampah dan dipaksa untuk menonton di daerahnya sendiri.

Kurun waktu 1976-2005 merupakan masa-masa dimana GAM dan aparat militer Indonesia (TNI dan Polri) terlibat perang di Aceh. Hampir setiap tahun itu kedua belah pihak selalu bertikai dalam konflik bersenjata di Aceh. Selama kurun waktu itu pula, berbagai upaya sudah pernah dilakukan untuk meredam dan mengakhiri konflik tersebut, namun kandas di tengah jalan. Tetapi kepastian berakhirnya konflik bersenjata di Aceh, datang ketika delegasi dari GAM dan RI yang di mediasi oleh Ketua CMI melakukan perundingan damai di Finlandia. Dan tepat pada tanggal 15 Agustus 2005, GAM dan RI sepakat untuk berdamai serta mengakhiri konflik dengan melahirkan beberapa poin kesepakatan bersama yang telah disusun dan ditandatangani oleh kedua delegasi dalam draft perjanjian damai atau apa yang disebut dengan MoU Helsinki.

c7b8364f1e2f223be08fb25909e4cd21-597db9e442bc3a56334cb2f2.jpg
c7b8364f1e2f223be08fb25909e4cd21-597db9e442bc3a56334cb2f2.jpg
Belakangan, MoU Helsinki pun melahirkan turunannya yang disebut sebagai Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) tahun 2006. UUPA ini digarap dan dibahas bersama oleh Pemerintah Pusat dan DPR RI. Dan Anda tahu, salah satu orang yang masih hidup dalam mendesain UUPA ini, yaitu Yusril Ihza Mahendra. Yusril, bersama dengan Menteri Dalam Negeri saat itu adalah salah satu orang yang membuat UUPA sebagai bentuk dan respons atas tercapainya MoU Helsinki, sehingga Pemerintah Pusat harus menggantikan Undang-Undang Nanggroe Aceh Darussalam menjadi Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) tahun 2006.

Ya, damainya GAM dan RI mencerabut kepastian kemerdekaan Aceh secara total. Itu yang dipertanyakan, ditangisi, digalaukan dan digelisahkan oleh sebagian besar Rakyat Aceh dan anggota GAM walau tidak dapat dikatakan seluruhnya. Gelombang protes terhadap MoU Helsinki juga datang dari orang Aceh yang ada diluar negeri, mulai dari mereka yang membantu GAM dari luar negeri, mahasiswa, LSM, bahkan MP-GAM sendiri. Tetapi jangan lupa, setelah terjebak dalam rutinitas perang di medan area antara GAM dan Aparat Militer Indonesia selama puluhan tahun, GAM kembali dihadapkan pada sebuah ketidakpastian, termasuk saya sebagai generasi muda Aceh.

Bagi anggota GAM yang sama-sama berjuang dengan panglima militernya, situasi pasca MoU Helsinki ini semakin jauh lebih sulit lagi. Selama ini mereka yang menikmati kejayaan adalah orang-orang yang dulunya bergelar panglima militer dan Menteri GAM atau orang yang dekat dengan gelar tersebut. Selebihnya, silahkan Anda simpulkan sendiri. 

Tahun 2006-2009 menjadi tahun dimana GAM berganti berperang dengan tidak lagi mengangkat senjata, melainkan berperang melalui jalur politik. Sebagian besar dari mereka jelas tidak mengerti bagaimana cara berperang lewat jalur politik, dan kotak suara. Akibatnya mereka merasakan betapa pahitnya masa setelah MoU Helsinki. Tak jarang sebagian dari mereka mengatakan ada pengkhianatan sehingga berakibat adanya konflik antar sesema mereka.

Hal ini terbukti dengan adanya gaduh dalam tubuh GAM pasca MoU Helsinki. Seolah GAM kehilangan sosok pemersatu yang dapat mempersatukan mereka semua dalam wadah yang baru, sebagaimana sebelumnya ketika mereka dipersatukan dalam tubuh GAM. Pemerintah Pusat juga seolah menutup mata atas permasalahan ini. Padahal kedua belah pihak dulu sama-sama sepakat untuk berdamai. Tak hanya sampai disitu, kehadiran generasi muda Aceh hari ini yang bersuara lantang di media massa dan sempat menyinggung MoU Helsinki, seakan-akan menjadi pelengkap atas ketidakpastian ini.

Maka tidak mengherankan kalau beberapa generasi muda Aceh mulai bersuara lantang di media massa sebagai bentuk kekhawatiran mereka terhadap tipu daya Pemerintah Pusat lewat MoU Helsinki. Bagi anak muda Aceh yang tahu tentang sejarah turun gunungnya Tengku Muhammad Daud Beureueh, maka MoU Helsinki itu tak ubahnya seperti Perjanjian Lamteh episode ke-II. Artinya, MoU Helsinki itu (utamanya soal implementasi di lapangan) adalah produk nyata dari Pemerintah Indonesia untuk kembali menipu Aceh, seperti halnya Soekarno menipu Daud Beureueh dan Rakyat Aceh. Sebab, MoU Helsinki bukanlah prodok hukum atau undang-undang yang setara dengan UUD 1945. Bukankah UUD 45 merupakan produk hukum tertinggi yang dianut oleh bangsa Indonesia? Jadi tidak ada satu pun produk UU atau peraturan lainnya yang memiliki kedudukan tinggi atau setara dengan UUD 45, termasuk MoU Helsinki atau Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA).

Memang ini hanya MoU Helsinki. Bukan seperti halnya UUD 1945. Tetapi jangan lupa, MoU Helsinki ini menjadi bagian terpenting dalam perjalanan konflik bersenjata di Aceh sehingga bisa tercapai kata sepakat untuk berdamai. Semestinya semua pihak pemegang kekuasaan di Aceh dan Pusat, baik yang terlibat langsung atau tidak dalam perundingan damai itu, harus menghargai MoU Helsinki. Jika tidak demikian, lantas apa gunanya usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak? Apa gunanya MoU Helsinki jika tidak dihargai satu sama lainnya? Apakah MoU Helsinki hanya dijadikan pajangan saja?

Sekarang seperti ada lobang dalam Aceh. Seperti ada anggota tubuh yang sakit. Celakanya, jika ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka sulit rasanya untuk beraktivitas layaknya orang sehat. Dan hasilnya pun sudah bisa ditebak, tidak akan maksimal, tidak akan membahagiakan, mengecewakan dan berujung dengan protes.

Sekalipun ada anggapan bahwa orang yang sehat pun belum tentu ada jaminan untuk bisa meraih hasil yang maksimal. Jika ada pertanyaan seperti ini, maka tanyakan balik padanya: Logika apa yang kau pakai sehingga bisa menyamakan antara orang yang sehat dengan orang yang sakit? Logikamu jelas tidak masuk akal, dan bukan pada tempatnya.

Hasan Tiro, seperti halnya tokoh besar lainnya, seringkali ia mampu memecah pendapat dan opini kebanyakan orang. Meskipun saya tidak pernah ketemu dengannya tetapi bertemu lewat media dan buku-buku sejarah, tetapi bagi saya Hasan Tiro adalah pribadi yang menarik dan kerapkali mengundang kontroversi. Tergantung cara orang memandangnya lewat sisi mana.

Sifat Ke-Aceh-annya yang keras dan tegas misalnya, bisa muncul seperti monster yang menakutkan. Hasan Tiro terkadang tak segan untuk mengeluarkan pernyataan yang membuat kuping panas bagi lawan, apalagi untuk Pemerintah Pusat.

Dalam salah satu pidatonya yang bisa diakes oleh publik dan tersebar di internet, Hasan Tiro dengan jelas mengatakan bahwa tantangan utamanya, selain ingin Aceh merdeka dari Indonesia, adalah untuk tidak tunduk dan patuh kepada Pemerintah di Jakarta.

Seorang Antropolog asal Australia, Antje Missbach, mengutip salah satu ucapan Hasan Tiro dalam salah satu karangan bukunya berjudul Politik Jarak Jauh Diaspora Aceh, yang ditafsir sebagai pernyataan perang atau yang mengidam-idamkan sebuah utopia (kemerdekaan) untuk Aceh. Dalam buku itu, berkatalah Hasan Tiro; "Indonesia adalah sekadar kelanjutan Hindia-Belanda seutuhnya secara politis, ekonomi, dan yuridis," ucap Hasan Tiro secara kasar ketika mencermainkan pandangannya tentang Indonesia. Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Hasan Tiro pada tahun 1985, dua puluh tahun sebelum MoU Helsinki ditandatangani.

Bagi saya pribadi, kepergian Hasan Tiro meninggalkan sebuah kenangan romantis. Tetapi bukan dalam perspektif jatuhnya korban konflik akibat perang, melainkan sebagai orang yang memperjuangkan harkat, martabat dan marwah Aceh. Berulang kali kita mendengar orang-orang Aceh mulai dari para akademisi, pengamat, dosen, mahasiswa, LSM dan masyarakat mengatakan bahwa pemangku kekuasaan di Pemerintah Aceh maupun di Pemerintah Pusat seringkali mengangkangi MoU Helsinki dan UUPA.

Itulah sebabnya kepergian Hasan Tiro menyisakan persoalan yang besar untuk Aceh,  untuk MoU Helsinki, untuk UUPA, dan untuk marwah Aceh. Kepergian Hasan Tiro juga meninggalkan persoalan lainnya, mulai dari sejarah GAM yang belum terkuak atau dokumen-dokumen penting yang disimpan oleh Hasan Tiro, kerjasama dengan luar negeri, sampai ke perjalanan tercapainya kesepakatan damai GAM dan RI. Karena itulah, mengapa Pemerintah Aceh butuh sosok yang atau mendekati seperti Hasan Tiro dkk. di periode pertama GAM.

Tujuannya jelas: agar perdamaian GAM dan RI yang telah berusia 1 dekade lebih ini dapat manjadi role model bagi wilayah lainnya untuk penyelesaian konflik. Namun, persoalannya tidak hanya sebatas disitu saja. Menjaga perdamaian iya disatu disi, tetapi disisi lain bagaimana mungkin perdamaian bisa dijaga jika MoU Helsinki sebagai hasil kesepakatan damai bersama, masih enggan dilaksanakan dan di implementasikan oleh kedua belah pihak.

Berjalan dari pascakonflik mulai tahun 2005 sampai 2017, kita bisa menemukan ada begitu banyak catatan-catatan yang tidak mengenakkan tentang butir-butir MoU Helsinki yang akan dilaksanakan tapi jalan ditempat, apalagi yang belum terealisasi. Begitu sampai tahun 2017 ini, ketika Panitia Khusus (Pansus) DPR RI membahas rancangan UU Pemilu 2017 yang berasal dari inisiatif Pemerintah Pusat, lalu ketika UU Pemilu di paripurnakan oleh DPR RI kemudian menjadi ramai diperdebatkan oleh orang saat ini, ternyata dalam UU Pemilu itu menghapuskan 2 Pasal UUPA yaitu Pasal 57 dan 60.

Sekali lagi, ini mengharuskan MoU Helsinki dengan UUPA sebagai turunanya dipaksa untuk tunduk dibawahnya dan bahkan harus tersingkir dalam UU Pemilu 2017. Lengkap sudah MoU Helsinki dan UUPA sebagai sebuah ketidakpastian. Tetapi, kita patut berterima kasih kepada Abdullah Saleh dan Azhari Cagee (Anggota DPRA) yang melayangkan protes keras kepada Pemerintah Pusat, DPR RI dan Forum Bersama (Forbes) yang terdiri dari anggota DPR dan DPD RI, untuk kemudian menyadarkan masyarakat Aceh bahwa 2 Pasal UUPA telah dihapus dalam UU Pemilu 2017. Sebenarnya protes itu lebih ditujukan kepada anggota DPR dan DPD RI selalu wakil Aceh di Parlemen Pusat, namun gagal menjaga kepentingan Aceh di Senanyan.

Adalah lucu bahwa selanjutnya Aceh yang telah memilih dan mengirimkan putra-putra terbaiknya untuk mengisi parlemen di DPR dan DPD RI sebagai wakil rakyat Aceh, ternyata tidak bisa mengurusi keberadaan UUPA dalam UU Pemilu, dan tidak bisa mengingat secara rinci apa yang kemudian terjadi. Ini jelas sangat lucu sekali. Yang menjadi lucu sekali adalah ketika Pansus DPR RI yang ditugaskan untun membahas rancangan UU Pemilu tersebut, diberbagai media massa anggota Pansus DPR RI mengatakan pembahasan UU Pemilu ini telah memakan waktu dan proses sangat panjang bahkan melelahkan, yaitu sekitar 9 bulan.

Sebaliknya, wakil rakyat Aceh yang ada di Senayan mengatakan bahwa diantara mereka tidak ada satupun anggota DPR RI asal Aceh yang terlibat dalam pansus pemilu sehingga mereka tidak tahu ada 2 Pasal UUPA sudah dihapus dalam UU Pemilu. Jadi, selama 9 bulan itu wakil rakyat Aceh di parlemen kemana saja? Kita tentu tidak terlalu bodoh, sekalipun wakil rakyat Aceh itu mengatakan bahwa mereka tidak terlibat dalam Pansus UU Pemilu, tetapi setidaknya mereka tahu bahwa di tahun 2019 Aceh adalah daerah yang masuk dalam pemilu. Kita juga tidak terlalu bodoh untuk bahwa draft rancangan UU Pemilu 2017 itu pasti tidak masuk ke setiap fraksi partai di DPR RI, sehingga anggota DPR RI asal Aceh tidak tahu ada 2 Pasal UUPA dihapus UU Pemilu tersebut.

Bahkan yang lebih memalukan lagi ketika Muslim Ayub dan Nasir Djamil selaku anggota DPR RI asal Aceh dari Fraksi Partai Demokrat dan PKS, meminta kepada Pemerintah Aceh dan DPRA agar memberikan pernyataan (sikap) resmi apakah dapat menerima pembatalan 2 Pasal UUPA tersebut setelah UU Pemilu 2017 di paripurnakan, sehingga bisa ditindaklanjuti dan bahkan akan di surati Presiden Jokowi untuk membatalkan pasal tersebut.

Pernyataan anggota DPR RI itu justru memantik reaksi dari berbagai kalangan masyarakat Aceh, tak kecuali bagi saya sendiri. Bagi saya pribadi, pernyataan tersebut sangat kontra dan sekaligus memperlihatkan betapa bodohnya kedua anggota DPR RI itu, padahal yang kita tahu mereka adalah orang yang duduk di Parlemen Senayan yang notabene orang-orang yang paham akan hukum dan politik. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Bahkan mereka pun tak mau mengakui kesalahan dan terkesan mencari alasan, apalagi meminta maaf atas keteledoran yang dilakukan.

Di sisi lain, anggota DPR RI asal Aceh rupanya cukup piawai membawa nama Pemerintah Aceh dan DPRA atas dihapusnya 2 Pasal UUPA dalam UU Pemilu tersebut akibat kesalahan mereka sendiri. Disinilah letak kepiawaian anggota DPR RI asal Aceh bahwa mereka enggan dijadikan pihak kesalahan atas dihapusnya 2 Pasa UUPA tersebut. Karena itulah, mereka mencoba berlindung dibalik nama Pemerintah Aceh dan DPRA. Tetapi keanehan ini justru menyadarkan kita semua bahwa Pemerintah Aceh dan DPRA bukanlah pihak Eksekutif dan Legislatif di tingkat Nasional yang mempunyai wewenang untuk membahas rancangan UU Pemilu 2017 di Gedung MPR/DPR/DPD RI Senayan-Jakarta.

Kelucuan ini memaksa kita untuk bertanya: Kepada siapakah sebenarnya wakil rakyat Aceh di DPR dan DPD RI bekerja? Kepada rakyat Aceh ataukah partai politik mereka? Saya sendiri? Jelas mengatakan bahwa mereka bekerja untuk partai politiknya, sebab yang dibahas dalam DPR RI adalah undang-undang pemilu. Cukuplah bagi saya sendiri untuk mengatakan bahwa tahun 2018 dan 2019 adalah tahunnya pemilu dimana mereka akan bekerja giat untuk partai politiknya masing-masing. 

Celakanya, Aceh menjadi korban daerah bagi mereka yang akan meraup keuntungan lewat kotak suara di tahun pemilu nanti, sementara mereka masih melakukan kesalahan untuk Aceh. Dihapusnya 2 Pasal UUPA dalam UU Pemilu 2017 adalah sebagai bentuk ketidakmampuan wakil rakyat Aceh di Senayan dalam menjaga kepentingan Aceh dan merawat perdamaian Aceh, sekaligus menunjukkan bahwa mereka memang orang yang malas membaca undang-undang sehingga 2 Pasal UUPA jadi dihapus sekalipun hal itu menguntungkan bagi Aceh.

Ya, seperti judul tulisan diatas ini, MoU Helsinki dan Hilangnya Sebuah Kepastian Aceh, ia adalah senyata-nyatanya produk perdamaian yang dihasilkan antara rasa setengah hati dan keengganan untuk merealisasikan seluruh butir-butir MoU Helsinki tersebut. Ya benar, seringkali apa yang kita ingin-inginkan malah meleset. Apa boleh buat.

Solo, 30 Juli 2017.

= = = = = = =

**Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo asal dari Aceh-Nagan Raya. Email: chaerolriezal@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun